Serigala Rimba Beton

Davie Al-Fattah
Chapter #4

BAB 4 — Seni Menyerang tanpa harus Menjadi Serigala

Bagaimana aku belajar menetapkan batasan, menjaga integritas, dan tidak berubah menjadi seperti mereka. Tapi aku tetap dalam batasanku, bila mereka mengklaim diri sebagai ”Naga” bahkan ”Iblis” sekalipun, maka aku tetap ”Serigala”. Aku tidak pernah ingin menjadi bagian dari kegelapan yang membentuk mereka—orang-orang yang tumbuh dari luka, dendam, ketamakan, atau sekadar kebutuhan untuk merasa berkuasa. Namun di tempat ini, di hutan dengan hierarki yang tidak tertulis, aku harus menerima satu kenyataan pahit: kebaikan tidak lagi cukup, kepintaran saja tidak selalu selamat, dan loyalitas bisa berubah menjadi jerat yang mengimpit lehermu jika kau tidak berhati-hati.

Setiap pagi saat aku memasuki kantor, ada momen kecil yang selalu terasa sama: udara yang seolah merapat, menyempit, menjadi dinding tipis yang membangun jarak antara aku dan yang lainnya. Mereka tersenyum, mereka menyapa, mereka menanyakan kabar, tetapi mata mereka penuh hitung-hitungan yang tidak pernah bisa kuabaikan. Mereka tidak menyerangku dengan kata-kata, tidak menekan dengan tangan, tetapi ada bentuk kekerasan yang lebih tua, lebih halus, dan lebih mematikan: kekerasan yang dilakukan dengan tatapan, dengan isyarat, dengan bisik-bisik yang sengaja dibiarkan bocor. Dan aku belajar—bahwa seni bertahan hidup di tempat seperti ini bukan hanya soal tidak jatuh, tetapi soal tidak kehilangan dirimu sendiri.

Pimpinan kami adalah wujud paling jelas dari apa yang salah di tempat ini. Tidak perlu seseorang berteriak untuk menjadi tiran; cukup memiliki kuasa dan tidak pernah berkaca. Ia seperti naga yang tumbuh dari rasa kurang yang tidak pernah sembuh. Ia berbicara tentang integritas tetapi mempraktikkan manipulasi. Ia menuntut kesetiaan tetapi tidak memberi perlindungan. Ia ingin dihormati tetapi tidak paham bagaimana caranya dihormati tanpa rasa takut.

Di hadapannya, aku belajar seni baru: seni tidak gentar. Bukan karena aku tidak takut, tapi karena aku tidak ingin takut lagi. Ketika ia mencoba memotong kalimatku hanya karena merasa terancam oleh ketegasan, aku tersenyum. Ketika ia melemparkan tugas mendadak hanya untuk membuatku terpojok, aku menyelesaikannya tanpa memberi kesempatan baginya menikmati kekacauan. Ia ingin membuatku berlutut, tapi aku malah berdiri lebih tegak. Karena ada satu hal yang tidak ia paham: serigala tidak perlu melolong tajam untuk mempertahankan wilayahnya. Ia cukup berdiri, cukup ada, cukup menatap.

Serangan tidak selalu harus dilakukan dengan taring. Ada seni dalam diam yang tidak tunduk. Ada kekuatan dalam tenang yang tidak retak. Aku belajar menyerang bukan dengan balas dendam, tetapi dengan kualitas kerja yang terlalu rapi untuk dihancurkan, dengan integritas yang terlalu kuat untuk dipermainkan, dan dengan keteguhan yang membuat mereka bingung—karena orang yang damai di tengah badai adalah ancaman bagi mereka yang hidup dari kekacauan.

Lihat selengkapnya