Ada titik dalam hidup ketika seseorang berhenti berharap cahaya. Bukan karena ia membenci terang, tetapi karena ia akhirnya sadar bahwa beberapa tempat memang tidak diciptakan untuk menghadirkan cahaya. Ada ruang-ruang yang hanya dibuat untuk menahan manusia agar tetap berada dalam kegelapan—diam, lelah, dan perlahan kehilangan diri sendiri. Dan di ruangan seperti itulah aku berdiri. Bertahun-tahun. Tidak sadar bahwa aku telah berubah menjadi bayangan dari diriku sendiri.
Pada awalnya, aku selalu punya satu keyakinan sederhana: bahwa kerja adalah jalan menuju hidup yang lebih baik. Bahwa kantor adalah tempat untuk bertumbuh, untuk menjadi manusia yang lebih matang. Tapi lambat laun, keyakinan itu terkikis, digerogoti oleh pertemuan-pertemuan yang menguras mental, oleh permainan-permainan yang tidak pernah kuinginkan untuk ikut main, dan oleh orang-orang yang hidup dari merampas ketenangan orang lain. Kemarahan menjadi teman yang tidak pernah diminta tapi selalu hadir tanpa dipanggil. Ia ada di pagi hari.
Di jam 9 yang terasa seperti jam 5. Di jam 5 yang terasa seperti tengah malam. Dan di malam-malam ketika aku mencoba tidur namun pikiran seperti ruangan tanpa pintu keluar. Namun pada satu titik, aku mulai sadar bahwa kemarahan bukan lagi senjata—melainkan beban. Ia menempel seperti bayangan yang melekat pada punggung. Tidak terlihat, tapi terasa berat. Menarik tubuh ke bawah, membuat langkah menjadi lambat. Ada hari-hari ketika aku merasa seluruh kantor itu seperti hutan yang dikuasai makhluk-makhluk yang tidak pernah puas. Hutan yang penuh perangkap. Hutan yang setiap sudutnya mengintai siapa yang akan jatuh lebih dulu.
Di antara mereka, aku merasa seperti serigala yang tertahan dalam kandang yang bukan miliknya. Serigala tidak pernah membenci hutan. Ia hanya membenci rantai. Dan aku mulai menyadari bahwa rantai itu bukan berasal dari mereka. Rantai itu berasal dari diriku sendiri. Dari ketakutanku untuk berubah arah. Dari keinginanku untuk membuktikan bahwa aku bisa bertahan meski dunia di sekitarku membusuk. Lalu datanglah satu malam—malam yang panjang, gelap, dan terasa seperti tanda.
Malam yang tidak menakutkan, tapi menenangkan dengan cara yang aneh. Malam yang membuatku duduk lama, memikirkan apakah kehidupan memang seharusnya sesakit ini. Aku teringat wajah-wajah yang aku sapa setiap hari. Wajah-wajah yang tersenyum tetapi matanya kosong. Wajah-wajah yang menyapa tapi ingin saling menggigit. Wajah-wajah yang sudah lama kehilangan jiwa, namun masih memaksa diri mengaku “baik-baik saja” hanya karena itu cara termudah untuk bertahan hidup.
Dan aku bertanya lagi pada diriku:
“Inikah yang aku mau?”
Pertanyaan itu seperti pisau tipis yang tidak melukai kulit, tetapi memotong bagian dalam.