Kadang—di suatu titik yang tidak pernah bisa kita tentukan sendiri—jiwa berhenti percaya bahwa tempat ini bisa diselamatkan. Bukan karena tidak mencoba, bukan karena tidak memberi kesempatan, tapi karena terlalu sering dikhianati harapan kecil yang disimpan rapat-rapat. Setiap hari rasanya sama: pagi datang seperti pintu penjara yang kembali terbuka, dan langkah-langkah menuju kantor terasa seperti ritual hukuman yang sudah lama tidak masuk akal lagi.
Aku mulai sadar sesuatu yang sulit diterima: aku tidak lagi marah. Tidak lagi berteriak dalam hati. Tidak lagi mencoba mengerti kenapa mereka begini atau kenapa suasana kerja seperti rawa beracun yang menarik siapa pun yang terlalu lama diam di atasnya. Yang tersisa hanya sunyi yang tebal—sunyi yang datang ketika seseorang sudah melewati fase bertarung dan memasuki fase menerima. Dan justru sunyi itu yang paling menakutkan. Karena dari sunyi itulah muncul bisikan-bisikan yang tidak pernah inginku dengar:
"Kalau kamu tetap di sini, kamu akan selesai sebelum waktumu."
"Kalau kamu menunggu mereka berubah, kamu akan membusuk pelan-pelan."
"Kalau kamu tidak pergi, kamu akan kehilangan dirimu sendiri."
Aku tidak menjawab bisikan itu. Aku hanya menunduk… dan bisikan itu menguat, seolah tahu bahwa aku sebenarnya sudah percaya. Setiap hari kuamati diriku bekerja seperti mesin yang kehabisan oli. Mataku kosong di depan layar. Bahuku berat tanpa alasan. Nafasku pendek. Setiap rapat terasa seperti jam tambahan di neraka kecil. Setiap percakapan dengan orang-orang yang penuh kepura-puraan, manipulasi halus, dan drama tidak penting membuatku merasa seperti sedang menelan pasir. Yang paling menyakitkan: aku sadar betapa dalamnya aku terluka.