Bukan lagi soal waktu tertentu dalam hidup, tetapi titik ketika seseorang berhenti berpura-pura damai. Ketika wajah yang setiap hari ia tunjukkan ke dunia hanyalah topeng tipis yang retaknya semakin terlihat. Aku berada tepat di titik itu—titik di mana tidak ada lagi ketenangan yang tersisa, bahkan sisa-sisanya pun telah lama dicuri oleh lingkungan yang memaksaku menjadi manusia yang tidak pernah benar-benar aku. Setiap pagi aku bangun bukan dengan semangat, tapi dengan pertanyaan yang mulai mengikis kewarasanku: “Hari ini, apa lagi yang harus aku tahan?” Dan setiap malam sebelum tidur, ada gema lirih yang memantul di dalam dadaku: “Kenapa aku masih di sini?” Pertanyaan itu tidak pernah kujawab. Mungkin karena aku tahu, jawabannya pahit. Atau mungkin karena aku terlalu pengecut untuk mendengarnya.
Di hutan beton ini, aku tidak lagi merasa menjadi bagian dari apa pun. Tidak ada ruang untuk ketenangan. Tidak ada tempat untuk bernapas tanpa rasa curiga. Aku pernah mencoba menjadi “manusia baik”. Aku pernah mencoba ikut aturan, menahan marah, membungkam instingku. Tapi ternyata, dunia seperti ini tidak pernah memberi tempat untuk orang yang berusaha tetap waras. Aku menahan semuanya terlalu lama—sampai suatu hari aku berhenti merasakan apa pun. Tidak marah. Tidak sedih. Tidak kecewa. Hanya hampa. Dan rasa hampa itu jauh lebih mematikan daripada rasa marah mana pun. Aku mulai melihat pantulanku sendiri bukan sebagai manusia, tapi sebagai bayangan panjang yang dipaksa berdiri tegak meskipun sudah remuk di dalam. Wujudku bukan lagi manusia yang mencoba bertahan. Wujudku adalah serigala yang terlalu lama dikurung dalam kandang yang tidak dibuat untuknya—dikurung sampai ia lupa bagaimana rasanya berlari.
Kadang aku bertanya dalam hati, “Apakah wajar seekor serigala dipaksa hidup seperti ini?”
Jawabannya selalu sama: tidak. Aku lelah memakai topeng manusia. Aku lelah berpura-pura mengerti aturan yang tidak pernah kuterima. Aku lelah mencoba bersikap baik kepada mereka yang bahkan tidak tahu cara membedakan ketulusan dari kepura-puraan. Dan yang paling menyakitkan dari semuanya adalah kenyataan bahwa aku harus mengorbankan diriku sendiri hanya untuk membuat mereka merasa nyaman. Aneh, ya? Di hutan yang penuh monster ini, aku justru dianggap berbahaya hanya karena aku tidak ikut menjadi monster.
Hari-hari terakhirku di tempat ini tidak lagi penuh kemarahan. Justru sebaliknya: terlalu tenang. Dan di dalam ketenangan itu, aku merasa… kalah. Kalah bukan karena aku tidak kuat, tapi karena aku memaksakan diri terlalu lama pada sesuatu yang sebenarnya tidak pernah mau menerima keberadaanku. Ada satu percakapan yang selalu berputar di kepalaku, seperti suara samar dari dalam gua gelap: “Apa yang kau pertahankan di sini?”
Jawabannya tidak pernah berubah: “Entah.”
Dan “entah” itu adalah tanda paling jelas bahwa aku sudah tidak lagi hidup di tempat yang seharusnya.
Aku mulai menyadari sesuatu yang lebih pahit dari semua luka yang pernah kutelan: