Sering Ku Salah

Kalam Insan
Chapter #2

Indahnya Bersama

Pernikahan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi megah. Tidak ada balon-balon berwarna emas yang berterbangan di langit, tidak ada aula besar yang penuh dengan tamu-tamu berpakaian mewah. Kami tidak butuh itu. Mia dan aku sepakat dari awal bahwa yang terpenting dari pernikahan bukanlah pesta yang gemerlap atau deretan tamu penting, melainkan janji di hadapan Sang Penguasa untuk saling mencintai, mendukung, dan menjaga satu sama lain. Kami sepakat menggelar pernikahan kami di sebuah taman pinggir laut terbuka dengan dekor sederhana untuk momen sakral kami.

Hari akad nikah dimulai dengan khidmat. Mia hadir di dalam suatu ruangan yang tidak kutahu di mana, pasti sedang menungguku dengan sabar sambil didampingi keluarganya. Aku, duduk di hadapan penghulu dan para saksi, merasakan jantungku berdegup kencang. Bukan karena keraguan, tetapi karena tanggung jawab besar yang akan segera aku emban sebagai seorang suami. Taman itu dipenuhi dengan kehangatan dari keluarga dan sahabat-sahabat terdekat. Kami memilih untuk tidak mengundang banyak orang, hanya mereka yang benar-benar mengenal dan mendoakan kebahagiaan kami.

Saat ijab kabul dimulai, suara penghulu terdengar tenang namun penuh wibawa, membacakan tuntunan nikah secara Islami. “Asra, apakah engkau siap menerima Mia sebagai istrimu, dengan mahar yang telah disepakati?”

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu dengan mantap aku ucapkan, “Saya terima nikahnya Mia binti…” suaraku terasa bergetar, tetapi yakin, “…dengan mahar yang telah disepakati, tunai.”

Semua tamu undangan hening sejenak, sebelum kemudian gema "Sah!" terdengar dari para saksi. Aku merasa seperti beban besar terangkat dari pundakku, dan pada saat yang sama, sebuah tanggung jawab baru mengisi hatiku. Tangan kami dipersatukan dalam doa, aku menunduk sambil mengucapkan syukur kepada Allah karena telah memberi kesempatan untuk memulai kehidupan baru bersama Mia.

Setelah akad selesai, aku beranjak menuju ruangan di mana Mia berada. Saat pertama kali aku melihatnya, perasaanku bercampur aduk—antara kebahagiaan, haru, dan sedikit gugup. Mia tampak begitu cantik dalam balutan gaun putih sederhana, wajahnya tertutup kerudung tipis yang membuatnya semakin anggun. Tatapan matanya yang teduh membuatku merasa tenang, seolah memberi isyarat bahwa apapun yang akan kami hadapi di masa depan, kami akan melewatinya bersama.

Aku mendekatinya, lalu dengan hati-hati mengangkat renda yang menutup wajahnya. Mata kami bertemu, dan aku tersenyum. Mia membalas senyumku dengan lembut, dan di saat itu, aku tahu dia adalah anugerah terindah yang Allah kirimkan kepadaku. Aku kemudian membimbingnya untuk melakukan sujud syukur bersama, sebagai ungkapan terima kasih atas kelancaran prosesi pernikahan kami.

Setelah itu, kami melanjutkan dengan doa bersama, meminta agar pernikahan ini selalu diridhoi Tuhan dan diberkahi dengan ketenangan, kasih sayang, serta kebahagiaan yang tak berkesudahan. Keluarga dan sahabat mengelilingi kami, mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan dalam setiap langkah yang akan kami tempuh.

Tidak ada pesta besar, tidak ada kembang api atau tari-tarian yang meriah. Kami merayakan dengan makan malam bersama keluarga dan teman-teman, di bawah sinar lampu-lampu kecil yang menggantung di pepohonan. Ada tawa, ada cerita yang mengalir, tapi semuanya terasa hangat, intim, penuh cinta. Aku memegang tangan Mia sepanjang malam itu, tidak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Di setiap sudut ruangan, ada senyum yang tersebar, namun yang paling berharga adalah senyum Mia—satu senyum yang selalu berhasil membuatku merasa menjadi pria paling beruntung di dunia.

Di akhir malam, saat tamu-tamu mulai berpamitan dan suasana mulai sepi, kami berdua duduk di bangku taman, hanya menikmati kebersamaan kami dalam hening. Mia menyandarkan kepalanya di pundakku, dan kami memandang langit malam yang mulai ditaburi bintang. Angin lembut mengelus kulit kami, dan di saat itu, tidak ada yang lebih kami butuhkan selain satu sama lain.

Pernikahan kami mungkin sederhana di mata orang lain, tapi bagi kami, itu adalah kebahagiaan yang tak tergantikan. Bukan kemewahan yang membuat hari itu spesial, melainkan cinta yang melingkupi setiap momen, setiap tatapan, dan setiap janji yang kami ucapkan. Kebahagiaan itu nyata, terasa dalam keheningan malam yang hanya kami bagi berdua. Dan dalam pelukan sederhana di bawah langit malam itu, aku tahu bahwa aku telah membuat keputusan terbaik dalam hidupku—menikahi Mia.

---

Kehidupan awal pernikahan kami adalah bab penuh tawa, kebahagiaan, dan kegembiraan yang mengalir begitu alami. Setiap hari terasa seperti petualangan baru yang kami jalani bersama, dan tidak ada hari yang berlalu tanpa tawa yang memenuhi rumah kecil kami. Segala sesuatu yang kami lakukan bersama, sekecil apa pun itu, selalu terasa istimewa.

Kami tinggal di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota—tempat di mana kebisingan kota besar tak terdengar, digantikan oleh kicauan burung dan suara angin yang menyapu pepohonan di sekitar. Rumah itu tidak besar, hanya dua kamar dan dapur kecil, tapi bagi kami, rumah itu adalah segalanya. Itu adalah tempat kami merajut mimpi, merancang masa depan, dan tentu saja, tempat di mana tawa kami bergema di setiap sudutnya.

Pagi-pagi kami selalu dimulai dengan canda. Mia adalah orang yang selalu bangun lebih awal, sementara aku biasanya lebih suka menarik selimut kembali setelah alarm berbunyi. Dia akan menggoda dengan mencium lembut pipiku atau menarik selimut, sambil berkata, “Hei, suami malas, bangun! Dunia sedang menunggumu!” Aku hanya bisa tertawa, meski setengah mengantuk, dan menariknya kembali ke tempat tidur untuk beberapa menit tambahan dalam pelukan.

Saat sarapan, Mia selalu punya cara untuk membuat momen biasa jadi luar biasa. Dia sering bermain-main dengan makanannya, menggambar wajah-wajah lucu di atas roti panggang dengan selai, atau terkadang malah menghidangkan sesuatu yang dia klaim sebagai “menu spesial” yang tak pernah benar-benar berhasil terlihat enak, tapi selalu membuat kami tertawa sampai perut kami sakit. “Aku memang bukan chef profesional,” katanya sambil tersenyum, “tapi setidaknya aku membuatmu tersenyum setiap hari, kan?” Dan itu memang benar.

Setelah sarapan, kami sering pergi bekerja bersama. Meski pekerjaan kami berbeda—aku bekerja sebagai desainer interior, sedangkan Mia seorang guru—kami selalu menemukan cara untuk membuat perjalanan menuju tempat kerja menjadi momen yang menyenangkan. Di dalam mobil, Mia selalu memutar lagu-lagu favorit kami, dan kami akan bernyanyi sekuat tenaga, tanpa peduli apakah suara kami pas atau tidak. Setiap lagu punya cerita, setiap nada punya kenangan. Kami sering bercanda tentang bagaimana suatu hari nanti, mungkin anak-anak kami akan mewarisi bakat musik yang buruk dari kami, tapi setidaknya mereka akan tahu bagaimana menikmati hidup.

Sore hari setelah pulang kerja, rumah kembali dipenuhi dengan kegembiraan kecil. Mia selalu punya energi yang luar biasa, meski hari-harinya di sekolah mungkin melelahkan. Dia akan menceritakan setiap detail lucu tentang murid-muridnya—bagaimana ada anak yang tiba-tiba mengajukan pertanyaan konyol, atau bagaimana dia harus menahan tawa saat ada anak yang mengaku bahwa kucingnya yang “makan PR”. Ceritanya selalu membuatku tertawa, dan pada giliranku, aku akan berbagi tentang klien-klienku yang terkadang memiliki permintaan desain yang aneh atau lucu. Malam-malam kami diisi dengan obrolan ringan seperti ini, yang entah bagaimana selalu terasa begitu menyenangkan.

Di akhir pekan, kami sering menghabiskan waktu hanya dengan berdua, berjalan-jalan di taman atau berbelanja ke pasar lokal untuk bahan makanan. Ada suatu kegembiraan tersendiri dalam melakukan hal-hal kecil bersama Mia. Kami sering bercanda bahwa kami adalah “tim tak terkalahkan” dalam urusan menemukan bahan makanan murah dan segar, atau dalam memilih film terbaik untuk ditonton di malam hari. Kami tidak butuh rencana besar atau acara spesial untuk merasa bahagia; hanya dengan berada di dekatnya, semua terasa sempurna.

Mia selalu tahu bagaimana membuat hidup lebih berwarna. Dia punya selera humor yang unik—sedikit sarkastik, tapi juga penuh kelembutan. Kami sering menonton komedi bersama dan tertawa sampai air mata keluar. Di antara tawa-tawa itu, ada momen-momen di mana kami saling menatap, tersenyum tanpa kata, seolah tahu bahwa kami benar-benar beruntung menemukan satu sama lain.

Ada kalanya aku duduk di sofa sembari merokok setelah hari yang panjang, memandangi Mia yang sibuk di dapur, atau sedang menulis di meja kecilnya. Saat-saat seperti itu membuatku sadar betapa bahagianya hidup kami. Aku sering berpikir, inilah definisi dari kebahagiaan sejati—bukan dalam hal-hal besar, tetapi dalam momen-momen kecil yang kami jalani bersama setiap hari.

Terkadang, di malam hari sebelum tidur, kami akan berbaring bersama dan membicarakan rencana masa depan. Mia berbicara tentang anak-anak kita nanti, Aku membahas tentang rumah yang lebih besar, dan tentang mimpi-mimpi lain kami yang belum tercapai. Tapi tak peduli seberapa jauh impian kami, ada satu hal yang selalu pasti—kami berdua akan saling mendukung, apa pun yang terjadi. Kami tertawa membayangkan bagaimana nanti jika kami menjadi orang tua yang kelelahan, tapi bahagia, atau bagaimana kami akan tetap menjadi pasangan yang saling menggoda meskipun usia bertambah.

---

Rasanya seperti cinta kami tumbuh setiap hari, tawa yang tidak pernah berhenti, dan kebersamaan yang selalu kami syukuri. Mia dan aku, dalam segala kesederhanaan, menemukan kebahagiaan yang lebih dari cukup di dalam rumah kecil kami. Tidak ada masalah besar, mungkin ada beberapa tantangan, tapi selalu bisa kami hadapi dengan mudah.

Seperti beberapa bulan setelah pernikahan kami, aku mulai memperhatikan satu hal yang terus menggangguku: Mia sering terlihat lelah. Setiap hari, dia pulang dari sekolah dengan wajah lesu, meskipun selalu berusaha tersenyum ketika bertemu denganku. Sebagai seorang guru, pekerjaannya tak pernah berhenti hanya di sekolah. Sering kali, aku melihatnya duduk di ruang tamu setelah makan malam, mengoreksi tumpukan tugas murid-muridnya atau menyiapkan materi untuk keesokan harinya.

Aku menghargai dedikasi Mia sebagai seorang guru, tapi di sisi lain, hatiku tak tenang melihatnya harus bekerja sekeras itu. Aku tahu aku bisa menafkahi keluarga kami tanpa dia harus bekerja terlalu keras, dan aku tidak ingin istriku kelelahan. Mungkin sudah waktunya untuk bicara soal ini.

Satu malam, setelah makan malam, kami duduk berdua di sofa. Aku merasa ini saat yang tepat untuk membicarakannya.

"Mia, aku mau ngomong sesuatu," aku memulai dengan nada hati-hati, memastikan dia tahu ini bukan kritik, tapi lebih ke saran yang tulus.

Dia menoleh, tatapan lembutnya seperti biasa membuatku merasa nyaman. "Ada apa, Sayang?"

Aku mengusap wajahku sejenak, merangkai kata-kata dalam pikiranku sebelum mengutarakannya. "Aku tahu kamu suka mengajar, dan aku tahu kamu baik banget sama murid-muridmu. Tapi aku mulai khawatir kamu terlalu capek. Aku bisa lihat akhir-akhir ini kamu sering bawa pekerjaan ke rumah, dan itu pasti bikin kamu makin lelah."

Mia terdiam, mendengarku dengan seksama. "Maksud kamu, aku harus berhenti kerja?"

Aku mengangguk pelan, tapi dengan perasaan yang campur aduk. "Iya, aku pikir... mungkin kamu bisa berhenti. Aku sudah cukup untuk menafkahi kita, dan aku nggak mau lihat kamu terlalu capek terus-terusan. Lagipula, kalau kita punya lebih banyak waktu di rumah, kita bisa lebih fokus buat jaga rumah, dan... siapa tahu, kalau kita nanti dikasih anak, kamu bisa lebih siap juga."

Dia tidak langsung menjawab. Mia menunduk, sepertinya sedang memikirkan kata-kataku. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah, apalagi untuknya yang sudah mengajar sejak sebelum kami menikah.

Setelah beberapa saat, dia menarik napas panjang dan tersenyum lembut padaku. "Aku memang suka mengajar, Asra. Tapi kamu benar, belakangan ini aku sering merasa kelelahan, dan mungkin lebih baik kalau aku fokus di rumah dulu." Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih pelan, “Aku juga berpikir, mungkin ini jalan yang baik buat kita, apalagi kalau suatu saat nanti kita punya anak. Aku mau fokus di rumah dan memastikan semuanya siap.”

Aku merasakan kelegaan yang besar mendengar jawabannya. "Aku cuma ingin yang terbaik buat kamu, Mia. Aku nggak mau kamu kelelahan. Rumah kita juga bakal lebih terawat kalau kamu nggak terlalu sibuk, dan kita bisa lebih sering menikmati waktu berdua."

Dia tersenyum, matanya sedikit berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang. Kamu selalu peduli sama aku." Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku akan bicara dengan kepala sekolah minggu depan. Mungkin aku bisa selesaikan semester ini dulu sebelum benar-benar berhenti."

Aku mengangguk, merasa bersyukur atas pengertian Mia. “Kamu nggak perlu buru-buru, ya. Lakukan dengan cara yang kamu rasa paling nyaman.”

Malam itu, kami duduk berdua di sofa, dalam keheningan yang nyaman. Meski Mia akan berhenti dari pekerjaan yang dia cintai, kami sama-sama tahu bahwa keputusan ini bukan hanya soal melepaskan tanggung jawabnya sebagai guru. Ini adalah langkah besar dalam pernikahan kami—membangun rumah yang lebih tenang, dan mungkin, persiapan untuk sesuatu yang lebih besar lagi di masa depan.

---

Rutinitas kami ikut berubah ketika Mia benar-benar berhenti bekerja. Setiap pagi di rumah kami akan dimulai dengan cara yang berbeda—rutinitas kecil yang mungkin terlihat sepele bagi orang lain, tapi bagi kami, itu adalah momen yang lebih manis dibanding keseharian di awal pernikahan kami.

Mia menjadi selalu lebih pagi bangun dibandingkan aku. Dia suka menikmati keheningan sebelum hari benar-benar dimulai, sementara aku sering tertidur lebih lama, membiarkan embusan angin pagi yang masuk melalui jendela menyelimuti tubuhku di balik selimut. Tapi begitu aku mencium aroma kopi yang mulai menguar dari dapur, aku tahu Mia sudah mulai mempersiapkan sarapan. Itu adalah isyarat halus bahwa waktuku untuk bermalas-malasan telah berakhir.

Aku biasanya bangun dengan malas, membuka mata dan mendengar suara peralatan dapur yang bersahut-sahutan, bercampur dengan lagu lembut dari radio yang selalu Mia nyalakan. Dia suka memutar musik jazz ringan di pagi hari—katanya, itu membuatnya merasa damai. Aku setuju, meskipun yang paling membuatku merasa damai adalah mendengar langkah kaki Mia di sekitar dapur, bekerja dengan lincah namun tanpa tergesa-gesa. Suara itu—suara kehidupan yang sedang bergerak di sekelilingku—memberiku perasaan hangat yang sulit dijelaskan.

Ketika aku akhirnya menyeret diri dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur, Mia selalu menyambutku dengan senyum. Bukan senyum besar yang terlihat mewah, tapi senyum lembut yang biasa, yang cukup untuk membuatku merasa lebih segar daripada secangkir kopi terkuat sekalipun. Rambutnya seringkali masih setengah basah setelah mandi pagi, dan dia mengenakan apron sederhana yang dia beli dari pasar lokal beberapa tahun lalu, sudah sedikit usang, tapi tetap menjadi favoritnya. “Kau bangun juga akhirnya,” dia selalu menggoda, menyodorkan secangkir kopi hitam yang sudah disiapkan di atas meja.

Sarapan bersama, duduk di meja kayu yang telah menjadi saksi bisu kebersamaan kami, selalu menjadi ritual yang tidak pernah kami lewatkan. Pagi hari di rumah kami tidak pernah terasa terburu-buru atau penuh tekanan; itu adalah waktu di mana kami saling menghargai kehadiran satu sama lain, bahkan dalam kesederhanaan.

Di meja makan, kami duduk berseberangan. Aku, dengan cangkir kopi yang masih mengepul, dan dia, dengan segelas teh hangat serta sarapan sederhana yang selalu dia buat dengan penuh cinta. Tidak pernah ada makanan mewah—biasanya hanya roti panggang, telur mata sapi, atau kadang-kadang, semangkuk oatmeal yang dihiasi potongan buah. Tapi entah kenapa, semuanya terasa lebih istimewa ketika kami duduk bersama dan menikmati sarapan itu dalam keheningan yang nyaman.

Aku selalu menghargai keheningan ini—keheningan yang penuh makna. Kami tidak selalu berbicara banyak saat sarapan. Kadang-kadang, aku hanya memandang ke luar jendela, melihat sinar matahari perlahan-lahan masuk dan menghangatkan ruangan. Mia, di sisi lain, mungkin membaca sesuatu dari ponselnya atau sekadar menyeruput tehnya sambil mengamati aku yang masih setengah mengantuk. Tapi meskipun tidak ada percakapan panjang, aku selalu merasa terhubung dengannya. Di antara gigitan roti atau tegukan kopi, kami saling tersenyum kecil, seolah memberi tahu satu sama lain bahwa ini—rutinitas kecil ini—adalah bagian dari kebahagiaan yang kami ciptakan bersama.

Ada satu hal yang selalu Mia lakukan yang membuatku tertawa setiap pagi—dia suka mencoret-coret dengan saus atau selai di atas roti panggangku. Kadang dia menggambar wajah tersenyum, kadang hanya bentuk hati yang sederhana. “Agar harimu lebih manis,” katanya sambil tertawa. Dan meskipun aku sering menggoda balik, mengatakan bahwa selainya terlalu berlebihan, aku selalu menyukai apa yang dia lakukan. Itu adalah bagian dari caranya menunjukkan perhatian, caranya membuat rutinitas kami tidak pernah terasa membosankan.

Mia juga punya kebiasaan aneh lainnya—dia selalu makan telur dengan cara yang sama. Setiap kali dia memasak telur mata sapi, dia akan memotong bagian kuningnya terlebih dahulu, membiarkan kuning telur mengalir pelan di piring sebelum menyantapnya. Aku sering menertawakannya karena cara itu tampak seperti ritual yang terencana dengan cermat, dan dia akan membalas dengan tertawa, mengatakan bahwa itu adalah “cara yang benar” untuk makan telur. Kami tertawa karena hal-hal kecil seperti ini, yang mungkin tampak tidak penting bagi orang lain, tapi bagi kami, itulah bagian dari cinta—menikmati perbedaan dan kebiasaan unik satu sama lain tanpa menghakimi.

Setelah sarapan selesai, kami biasanya duduk sebentar, menghabiskan sisa kopi atau teh kami sambil berbicara tentang rencana hari itu. “Apa yang akan kau lakukan hari ini?” Mia sering bertanya, matanya penuh perhatian. Dan aku akan menjawab, menjelaskan pekerjaanku, mungkin ada proyek baru, atau sekadar urusan-urusan kecil yang perlu diselesaikan. Sebaliknya, aku akan bertanya tentang harinya di sekolah, bagaimana dia merencanakan pelajaran, atau apakah ada murid yang membuatnya tertawa hari itu.

Sarapan bersama ini menjadi lebih dari sekadar mengisi perut. Itu adalah momen di mana kami menyiapkan diri untuk menghadapi dunia di luar sana, tapi melakukannya bersama-sama. Dalam setiap rutinitas pagi, ada perasaan bahwa apa pun yang terjadi di luar, di tempat kerja, atau dalam hidup kami, kami selalu memiliki satu sama lain di meja makan itu.

Dan setiap kali aku berdiri dari kursiku, siap untuk memulai hari, Mia akan selalu mengakhiri sarapan kami dengan kalimat yang sama, “Semoga harimu menyenangkan.” Itu bukan ucapan yang megah, tapi dalam kalimat sederhana itu, aku tahu ada cinta yang mendalam. Lalu, dia akan memberiku ciuman kecil di pipi sebelum kami berpisah untuk menjalani hari masing-masing. Dan dengan itu, aku pergi dengan senyuman di wajahku, merasa bahwa tidak peduli seberapa berat hariku nanti, aku akan selalu memiliki sesuatu yang indah untuk dinantikan.

Begitupun malam-malam kami yang selalu dipenuhi dengan keintiman yang sederhana, namun bermakna. Salah satu momen yang paling kutunggu-tunggu adalah saat kami duduk bersama di ruang tamu, bersiap untuk menonton film. Aku tidak pernah menyangka bahwa aktivitas sesederhana itu bisa menjadi momen paling romantis dalam kehidupan kami. Ada sesuatu yang ajaib dalam cara kami saling berbagi keheningan, tawa, dan kehangatan, hanya dengan menonton layar kaca.

Mia selalu punya caranya sendiri untuk membuat momen-momen itu terasa istimewa. Dia akan menyiapkan selimut lembut yang kami beli beberapa bulan setelah menikah, biasanya berwarna biru muda—warna favoritnya—dan menyelimutkan di tubuh kami berdua saat kami duduk berdekatan di sofa. Aku selalu merasa nyaman dengan sentuhannya yang ringan, dan entah bagaimana, setiap kali Mia menarik selimut itu ke tubuhku, aku merasa seolah-olah dia sedang melindungiku dari dinginnya dunia luar.

Sebelum film dimulai, Mia akan selalu memastikan ada cukup cemilan untuk kami. Popcorn dengan sedikit garam dan mentega, atau kadang-kadang keripik kentang dengan rasa asin yang lembut di lidah. Dia akan duduk di sampingku dengan semangat yang selalu sama, senyum di bibirnya saat dia menunggu film dimulai, matanya berbinar seperti anak kecil yang menunggu kejutan.

Kami sering memilih film bersama, namun Mia lebih sering membiarkan aku yang memutuskan. Meski begitu, aku tahu bahwa Mia lebih menyukai film-film romantis atau drama yang penuh dengan perasaan, sedangkan aku kadang-kadang memilih film komedi atau aksi. Tapi Mia, dengan segala pengertiannya, tak pernah protes. Dia akan menonton apa pun pilihanku dengan penuh antusiasme, bahkan jika film itu bukan seleranya.

Malam itu, seperti malam-malam lainnya, kami sedang duduk di sofa, bersiap untuk menonton film yang baru saja kami pilih bersama. Mia bersandar di bahuku, tubuhnya terasa hangat dan nyaman di sampingku. Tangannya perlahan meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut seperti kebiasaannya saat kami menonton film. Aku merasakan sentuhan hangat jari-jarinya di kulitku, perasaan yang selalu membuat hatiku tenang.

Film mulai diputar di layar, namun aku lebih sering memperhatikan Mia daripada film itu sendiri. Aku suka melihat bagaimana wajahnya berubah sesuai dengan adegan yang ditampilkan di layar. Kadang-kadang dia tertawa kecil saat ada dialog lucu, kadang dia menggigit bibirnya saat adegan mulai menegangkan, dan sesekali dia akan menoleh padaku dengan mata berbinar, seolah mencari reaksiku atas adegan yang baru saja dia lihat.

Ada saat-saat di mana film membuatnya begitu larut dalam cerita hingga dia tak sadar mengeratkan genggamannya pada tanganku. Sentuhan itu, meski sederhana, selalu memberiku perasaan damai. Seolah-olah, dalam genggaman tangannya, kami berbagi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar menonton bersama. Momen itu bukan lagi tentang film yang kami tonton, tetapi tentang kebersamaan kami—tentang bagaimana kehadirannya di sisiku membuat segalanya terasa lebih baik.

Ketika film mencapai adegan-adegan yang mengharukan, aku bisa merasakan Mia sedikit terisak, meski dia berusaha menyembunyikannya. Dia tidak pernah suka menangis di depanku, tetapi aku tahu, film-film dengan cerita emosional sering kali menyentuh hatinya. Aku akan meraih bahunya, merengkuhnya lebih dekat, memberinya rasa aman yang dia butuhkan. Saat itulah aku merasa bahwa cinta kami begitu erat, bahkan tanpa perlu kata-kata.

Film mungkin hanyalah pelarian sementara dari kenyataan, tapi bagi kami, itu lebih dari itu. Itu adalah cara kami menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita yang tak terucap, hanya melalui tatapan dan sentuhan ringan. Film-film yang kami tonton menjadi bagian dari kenangan kami—setiap judul membawa ingatan tentang malam-malam yang kami habiskan bersama, tertawa, berbicara, atau hanya diam dalam pelukan satu sama lain.

Di malam-malam seperti itu, keintiman kami terasa semakin kuat. Tidak ada hal besar yang kami lakukan, tidak ada rencana ambisius yang kami bahas. Kami hanya ada untuk satu sama lain, menikmati momen sederhana yang membuat kami merasa semakin dekat.

Aku ingat saat Mia pernah berkata dengan suara pelan, di tengah-tengah sebuah film romantis yang sangat menyentuh hatinya, “Aku merasa sangat beruntung bisa menghabiskan waktu denganmu seperti ini, Asra.”

Aku menoleh padanya, menatap wajahnya yang tampak begitu lembut dalam cahaya redup ruangan. “Aku juga, Mia. Aku merasa beruntung setiap hari.”

Dan itu benar. Setiap hari yang kuhabiskan bersamanya adalah anugerah. Momen-momen kecil seperti menonton film bersama menjadi pengingat bahwa kebahagiaan tidak harus datang dari hal-hal besar. Kebahagiaan bisa datang dari detik-detik sederhana, seperti ketika kami duduk bersama di sofa, berbagi selimut, dan menonton cerita yang bergulir di layar.

Lihat selengkapnya