Seperti malam-malam sebelumnya, aku dan Mia duduk di teras kecil rumah kami. Udara malam menyelimuti kami dengan lembut, membawa aroma khas embun yang mulai mengendap di dedaunan. Di tengah keheningan kota yang mulai tertidur, hanya ada kami berdua, duduk bersisian di kursi rotan favorit, berbagi kehangatan secangkir teh hangat yang masih mengepul di antara jemari.
Cangkirnya tak besar, tetapi cukup untuk kami nikmati bersama. Mia selalu menuangkan tehnya lebih dulu, menyesap sedikit sebelum menyerahkannya padaku, dengan senyum lembut yang tak pernah luput dari wajahnya. Aku pun mengambil cangkir itu, menyesap perlahan, merasakan kehangatan teh yang menyebar di tubuhku, seolah sejalan dengan kehangatan yang selalu Mia bawa ke dalam hidupku.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Mia pelan, memecah keheningan. Suaranya serak namun hangat, seperti senja yang tak pernah pergi sepenuhnya.
Aku menoleh, menatapnya sejenak. Wajahnya diterangi sinar bulan yang redup, membuatnya tampak bersinar dengan cara yang sederhana. Rambutnya tergerai, sedikit berantakan oleh angin malam, namun itu tidak mengurangi kecantikannya sedikit pun. Mata cokelatnya menatapku dengan penuh perhatian, seolah ingin menyelami pikiranku, seperti yang biasa ia lakukan.
“Banyak hal,” jawabku akhirnya, sambil meletakkan cangkir di meja kecil di antara kami. “Tentang kita... tentang masa depan.”
Mia tersenyum, senyum yang selalu membuatku merasa tenang. “Masa depan kita, ya?” Dia menyandarkan kepalanya ke bahuku, menggenggam tanganku dengan erat. “Kamu khawatir?”
Aku menggeleng pelan. “Bukan khawatir, lebih pada... bersemangat. Aku merasa ada banyak hal baik yang menunggu di depan sana.”
Aku memandang wajah Mia yang kini begitu dekat. Setiap garis halus di wajahnya, setiap gerakan kecil bibirnya ketika dia tersenyum, semuanya terasa begitu akrab. Dalam momen sederhana seperti ini, aku menyadari betapa Mia selalu membuat segalanya terasa lebih istimewa. Tidak perlu ada kata-kata besar, tidak perlu ada kejutan mewah. Hanya momen kecil seperti ini, duduk bersama di bawah langit malam, berbagi secangkir teh hangat, sudah cukup untuk membuatku merasa bahwa hidup kami berjalan di jalur yang tepat.
Harapan akan anak pertama kami membuat segalanya terasa semakin dalam. Kami sering berbicara tentang itu, tentang bagaimana nantinya rumah ini akan dipenuhi suara tawa kecil, tentang bagaimana kami akan menjalani hari-hari penuh kebahagiaan dengan kehadiran seorang anak. Mia selalu tampak bersemangat saat membicarakannya, matanya berkilau setiap kali menyebut nama-nama yang mungkin akan kami berikan.
“Kamu tahu,” Mia mulai lagi, suaranya pelan namun jelas. “Aku selalu membayangkan anak kita nanti seperti apa. Apakah dia akan memiliki mata sepertimu, atau mungkin senyummu?”
Aku tersenyum kecil, merasakan kehangatan yang menjalar di dadaku. “Aku berharap dia mewarisi kebaikanmu, Mia. Kamu adalah yang terbaik dari kita.”
Dia tertawa kecil, suara yang menggema pelan di antara tiupan angin. “Kita berdua akan menjadi orang tua yang baik, Asra. Aku yakin itu.”
Setiap kali kami berbicara tentang itu, Mia selalu tampak lebih hidup. Matanya berbinar, senyumnya lebih lebar, dan aku tahu bahwa di dalam hatinya, dia sudah siap menyambut babak baru dalam hidup kami. Teh di dalam cangkir sudah mendingin, tetapi kehangatan di antara kami tetap ada, lebih dari cukup untuk menghangatkan malam yang sepi.
“Kamu sudah memikirkan warna untuk kamar bayi?” tanyaku, mencoba menghidupkan obrolan yang sudah beberapa menit tenggelam dalam hening.
“Pastinya,” jawab Mia dengan nada penuh antusiasme. “Aku ingin yang netral, seperti krem atau putih. Biar lembut dan tenang.”
“Tidak mau warna yang lebih cerah?”
Mia menggeleng sambil tersenyum. “Anak kita harus tumbuh di lingkungan yang tenang, Asra. Aku ingin dia merasa nyaman, seperti saat aku bersamamu.”
Kalimat itu membuat hatiku bergetar. Tidak ada yang lebih indah dari harapan akan keluarga kecil yang akan segera kami miliki. Aku tahu, di setiap percakapan tentang masa depan, Mia selalu menyisipkan cintanya dengan cara yang tidak biasa. Cara yang sederhana namun begitu mengena. Dia membuat segala rencana kami terasa lebih berarti, lebih nyata.
Malam itu terasa panjang, tetapi bukan karena waktu berjalan lambat. Justru, kebersamaan kami terasa tak terbatas. Aku memandang ke arah bintang-bintang yang bersinar di atas sana, sambil menggenggam erat tangan Mia. Dalam hati, aku merasa sangat beruntung. Tidak hanya karena kami sedang menantikan sesuatu yang luar biasa, tetapi juga karena setiap momen kecil bersamanya selalu penuh makna. Meskipun hanya dengan secangkir teh dan langit malam, aku tahu, Mia adalah segalanya yang kubutuhkan.
Dan harapan kami akan anak pertama membuat hubungan ini semakin erat, semakin dalam. Kami bukan lagi hanya sepasang suami istri yang saling mencintai, tapi kami sedang bersiap menjadi orang tua—sebuah perjalanan baru yang akan membawa kami ke arah yang belum pernah kami tapaki sebelumnya. Namun, dengan Mia di sisiku, aku tahu kami akan baik-baik saja. Kami akan menghadapi segalanya bersama, dengan cinta yang terus tumbuh di antara secangkir teh hangat dan malam-malam penuh harapan seperti ini.
---
Hari-hari di kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Rutinitas yang awalnya terasa ringan kini berubah menjadi beban yang terus menekan. Proyek-proyek besar datang bertubi-tubi, menuntut perhatian penuh dari setiap sudut. Deadline yang semakin menipis, ekspektasi klien yang semakin tinggi, serta tekanan untuk selalu tampil sempurna—semua itu seperti tumpukan batu yang kian memberatkan pundakku.
Sebelumnya, aku selalu bisa menghadapinya dengan tenang. Pulang ke rumah, menghabiskan waktu bersama Mia, adalah satu-satunya penawar dari segala stres yang menumpuk di tempat kerja. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini, beban pekerjaan itu terasa semakin sulit untuk dilepaskan. Bahkan ketika aku melangkahkan kaki ke dalam rumah, kehangatan yang biasanya kutemukan di dalamnya tidak lagi cukup untuk meredakan pikiranku yang selalu dipenuhi oleh angka-angka, rapat-rapat, dan tuntutan pekerjaan.
Aku mulai pulang lebih larut dari biasanya. Setiap kali sampai di rumah, Mia selalu menyambutku dengan senyuman lembutnya, tetapi aku tahu senyum itu mulai menyimpan kecemasan yang tak terucapkan. Aku merasakannya. Seringkali, dia sudah menyiapkan makan malam, tetapi aku terlalu lelah untuk sekadar duduk dan menikmatinya bersamanya.
"Bagaimana harimu?" Mia bertanya suatu malam, ketika aku baru saja masuk ke dalam rumah, meletakkan tas kerjaku di sofa dengan napas berat. Dia berdiri di dapur, masih mengenakan apron, tangan mungilnya sibuk merapikan meja makan yang sudah dia atur dengan rapi. Aroma makanan yang baru saja dimasaknya menguar di udara, namun entah mengapa, aku tidak merasa lapar.
"Lagi capek banget," jawabku, tanpa menoleh. Aku menuju ke kamar mandi, merasakan betapa beratnya langkah kakiku.
Mia tidak menanggapi, tapi aku bisa merasakan tatapannya yang penuh pertanyaan. Biasanya, kami akan menghabiskan waktu berbincang panjang tentang hari kami, tentang hal-hal kecil yang terjadi di tempat kerja atau di rumah. Aku biasanya akan duduk di meja makan, dan Mia akan menceritakan apa saja yang terjadi sepanjang hari, terkadang diiringi tawa atau lelucon yang selalu berhasil membuatku tersenyum, tak peduli seberat apapun hariku. Tapi kali ini, aku hanya ingin tenggelam dalam kesunyian.
Di balik pintu kamar mandi, aku menatap cermin. Wajahku tampak lelah, jauh lebih lelah dari biasanya. Mata yang sedikit cekung, alis yang mengerut seolah tak pernah bisa benar-benar santai. Aku mulai merasakan bagaimana tekanan di kantor perlahan-lahan mengambil alih seluruh hidupku. Dan itu bukan hanya menggerogoti tubuhku, tapi juga pikiranku. Aku merasa sesak.
Setiap kali aku selesai bekerja, pikiranku tetap tidak bisa benar-benar lepas dari beban kantor. Di meja makan, aku mendengar suara Mia, tapi di kepalaku hanya ada pikiran tentang rapat esok hari, tenggat waktu yang mendekat, dan pekerjaan yang belum selesai. Aku tahu Mia bisa merasakan perubahan itu. Aku bisa melihatnya dalam tatapan matanya yang penuh tanya, namun ia tidak pernah mendesakku.
"Kalau kamu ingin cerita, aku selalu di sini, Asra," katanya suatu malam dengan suara pelan, namun penuh kelembutan yang selama ini membuatku merasa aman. Tapi kali itu, aku hanya mengangguk tanpa banyak bicara, kemudian kembali tenggelam dalam layar ponselku yang penuh dengan email pekerjaan.
Dan begitulah, hari-hari mulai terasa berbeda. Jarak di antara kami mulai terbentuk, bukan karena kurangnya cinta, tapi karena pikiranku yang terlalu dipenuhi oleh hal-hal lain. Aku mulai jarang tertawa bersama Mia, jarang duduk bersama untuk sekadar berbincang seperti dulu. Momen-momen kecil yang biasanya penuh canda tawa kini berubah menjadi sunyi yang terasa asing.
Aku masih mencintai Mia, tentu saja. Tidak ada yang berubah tentang perasaanku terhadapnya. Tetapi aku mulai merasa jauh, seolah ada dinding tak terlihat yang perlahan-lahan memisahkan kami. Setiap malam, aku pulang dengan pikiran yang berat, dan setiap pagi aku pergi dengan beban yang belum terlepas.
"Apa kamu baik-baik saja?" Mia bertanya lagi suatu malam, suaranya terdengar lebih khawatir dari biasanya.
"Ya, aku baik-baik saja," jawabku cepat, mungkin terlalu cepat. Tapi dalam hatiku, aku tahu aku tidak sepenuhnya jujur. Ada sesuatu yang salah, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Bagaimana mungkin aku menjelaskan pada Mia bahwa semua ini bukan tentang dia, bahwa ini tentang diriku sendiri—tentang stres dan tekanan yang perlahan-lahan menghancurkanku dari dalam?
Mia hanya diam, kemudian mengangguk pelan. Dia tidak memaksa, seperti biasa. Dia selalu memberiku ruang, dan mungkin itulah yang membuatku merasa bersalah. Mia begitu pengertian, begitu penuh kasih, tetapi aku malah menarik diri.
Saat duduk di sofa malam itu, aku memperhatikannya dari kejauhan. Mia sibuk merapikan dapur, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di raut wajahnya. Dia terlihat sedikit lelah, mungkin lebih dari biasanya. Aku tahu, di balik senyumnya yang hangat, dia menyimpan kekhawatiran yang tidak pernah dia utarakan.
Aku menghela napas panjang, merasakan sesak di dadaku. Aku tahu aku harus berbicara, harus memberitahunya apa yang terjadi, tapi kata-kata seolah tertahan di tenggorokanku. Mungkin karena aku tidak ingin membebaninya dengan semua masalahku, atau mungkin karena aku takut terlihat lemah di hadapannya.
Mia menoleh sejenak, matanya menatapku lembut. "Kalau kamu butuh waktu sendiri, tidak apa-apa," katanya dengan suara pelan, kemudian kembali ke dapur.
Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, merasa semakin terasing di rumah yang biasanya menjadi tempatku melarikan diri dari dunia. Aku tahu, jarak ini bukan salah Mia. Ini adalah diriku, yang tidak tahu bagaimana cara menyeimbangkan hidup. Dan perlahan, aku merasakan bahwa jarak yang tumbuh ini semakin dalam, semakin jauh dari yang pernah kubayangkan.
---
Pagi itu, Mia berdiri di depan cermin, satu tangannya mengelus perut yang baru saja mulai membesar. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit digambarkan, seolah-olah dia membawa seluruh dunia di dalam dirinya. Aku berdiri di dekat pintu kamar, memperhatikannya dalam diam, melihat bagaimana setiap gerakan kecilnya mencerminkan cinta yang begitu dalam terhadap kehidupan yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.
“Akhirnya, Asra,” katanya pelan, suaranya terdengar seperti mimpi yang baru saja terwujud. “Aku hamil.”
Mendengar itu seharusnya membuatku meluap dengan sukacita. Sejak awal, kami telah membicarakan tentang anak pertama kami—tentang betapa bahagianya kami akan menjadi orang tua, tentang rencana masa depan yang penuh dengan suara tawa kecil di rumah kami. Tapi anehnya, ketika kenyataan itu benar-benar tiba, aku justru merasa berat di dada. Bukan karena aku tidak senang. Aku bahagia, tentu saja. Tapi bersama dengan kebahagiaan itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak pernah kuperkirakan.
Aku merasa tertekan.
Tanggung jawab yang tiba-tiba menghantamku seperti gelombang besar, membawa serta semua kekhawatiran dan kecemasan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Pikiran tentang bagaimana aku harus lebih bekerja keras, bagaimana aku harus menjadi pilar bagi keluarga ini—semua itu membuat dadaku sesak. Aku harus memastikan Mia dan anak kami akan hidup nyaman. Aku harus menjadi ayah yang baik, suami yang baik, pencari nafkah yang tak pernah goyah. Dan semua beban itu menekan lebih kuat daripada yang pernah kubayangkan.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Mia, membuyarkan lamunanku. Dia menoleh padaku dengan mata yang berkilau, penuh harapan. Senyum di wajahnya seolah tak pernah pudar sejak tadi malam saat dia pertama kali memberitahuku tentang kehamilannya.
“Ini luar biasa,” jawabku sambil mencoba tersenyum. Tapi senyum itu terasa hambar, seperti topeng yang kugunakan untuk menutupi semua kekhawatiranku. Aku tidak ingin Mia tahu bahwa di balik kegembiraan ini, aku merasa tercekik oleh beban yang perlahan-lahan merayap naik.
Mia mendekat, tangan lembutnya menggenggam tanganku. “Kita akan menjadi orang tua, Asra. Ini adalah anugerah terbesar.”
Aku mengangguk, meskipun di dalam diriku ada pergulatan yang tidak mampu kuungkapkan. “Ya, anugerah,” gumamku, lebih pada diriku sendiri.
Setiap kali aku melihat Mia, senyumnya selalu berhasil mengusir sebagian dari kekhawatiranku. Dia begitu bersemangat, begitu penuh cinta terhadap kehidupan yang sedang tumbuh di dalam tubuhnya. Tetapi bagi setiap rasa bahagia yang Mia tunjukkan, aku justru merasa semakin terperangkap dalam tuntutan dan ekspektasi yang mulai mengisi pikiranku. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi semua ini.
Malam-malam berikutnya, ketika Mia sudah tertidur lelap, aku sering terjaga di sisi ranjang, menatap langit-langit kamar yang gelap. Di kepalaku, pikiran tentang masa depan berputar tanpa henti. Bagaimana aku bisa memastikan kehidupan yang baik untuk anak kami? Bagaimana aku bisa memenuhi setiap kebutuhan mereka? Tekanan dari pekerjaan semakin berat, dan kini dengan kehamilan Mia, aku tahu bahwa tanggung jawabku akan berlipat ganda. Aku harus menjadi lebih dari sekadar suami. Aku harus menjadi ayah.
Di tempat kerja, stres itu semakin jelas. Deadline yang terus mendesak, rapat yang tiada henti, ekspektasi yang semakin tinggi—semuanya menumpuk seperti gunung yang siap runtuh. Dan sekarang, dengan kabar kehamilan Mia, gunung itu terasa semakin besar dan mengancam. Aku mulai sering pulang terlambat, lebih lama dari sebelumnya. Ketika sampai di rumah, Mia sudah terlelap, dan aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan, merasa semakin jauh dari kebahagiaan yang dulu selalu kami rasakan bersama.
Suatu malam, aku pulang lebih larut dari biasanya. Mia sudah tertidur di sofa, masih dengan senyuman kecil di wajahnya, mungkin bermimpi tentang bayi kami. Aku berdiri di sana, memandangnya dalam diam. Ada perasaan bersalah yang tumbuh dalam diriku, seolah-olah aku tidak cukup hadir dalam momen-momen penting ini. Mia begitu bersemangat tentang kehamilannya, tentang menjadi ibu, sementara aku hanya bisa merasa tertekan oleh kenyataan yang datang begitu cepat.
Aku duduk di sampingnya, mencoba meredakan pikiran yang tak henti-hentinya menghantui. Aku ingin membicarakannya dengan Mia, ingin memberitahunya bahwa aku merasa takut—bahwa aku takut tidak akan mampu menjadi ayah yang baik, takut tidak bisa menanggung semua beban ini sendirian. Tetapi setiap kali aku membuka mulut, kata-kata itu tidak pernah keluar. Aku tidak ingin Mia tahu betapa rapuhnya aku di dalam. Dia sudah cukup memiliki beban sendiri dengan kehamilannya, aku tidak ingin menambahnya.
Aku menghela napas panjang, merasakan beban yang tak kunjung hilang dari dada. Di hadapanku, Mia tetap tertidur dengan damai, tangan kecilnya masih mengelus perutnya dengan penuh kasih. Aku tahu aku seharusnya ada di sana untuknya, mendukungnya seperti yang selalu dia lakukan untukku. Tapi untuk saat ini, aku merasa kehilangan arah. Aku hanya bisa berharap bahwa ketika waktunya tiba, aku akan menemukan kekuatan yang aku butuhkan—untuk Mia, untuk anak kami, dan untuk diriku sendiri.
---
Saat malam, rumah terasa sunyi meskipun kami masih hidup di bawah atap yang sama. Mia duduk di sudut ruang tamu, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan film kesukaannya. Namun, aku tahu dia tidak benar-benar memperhatikannya. Setiap gerakan kecilnya menunjukkan kegelisahan—tangan yang terus-menerus mengelus perutnya, seringai samar yang lebih sering muncul daripada senyuman. Sementara itu, aku duduk di meja makan, ponsel di tanganku, tapi pikiran jauh melayang entah ke mana.
Kami hidup berdampingan, tetapi hati kami terasa berjauhan. Semakin hari, semakin sulit bagiku untuk terlibat dalam percakapan atau mengungkapkan perasaan. Setiap kali Mia mencoba berbicara, aku hanya menjawab dengan anggukan atau kata-kata singkat yang tidak memiliki emosi. Rasanya aneh, karena aku mencintainya—aku tahu itu. Namun, di antara cinta itu, ada jarak yang tak terlihat, perlahan-lahan mengakar di antara kami.
"Besok kita punya jadwal pemeriksaan dokter," ucap Mia lembut, memecah keheningan yang membungkus ruang. Suaranya terdengar penuh harapan, seolah-olah dia berusaha meraih percakapan yang dulu kami jalani tanpa henti.
"Oke, besok," jawabku, tanpa mengangkat pandanganku dari layar ponsel.
Mia diam beberapa detik, mungkin berharap ada respons lebih dari sekadar jawaban singkat. Aku bisa merasakan matanya menatapku, tapi aku tidak sanggup menatap balik. Ada sesuatu dalam diri Mia—sesuatu yang lembut, tulus, penuh cinta, yang seharusnya membuatku merasa tenang. Tapi justru hal itu membuatku semakin merasa kecil. Semakin jauh.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Asra?" tanya Mia akhirnya, suaranya masih lembut, tapi kali ini ada sedikit nada kekhawatiran di dalamnya.
Aku menghela napas panjang, mencoba mencari jawaban yang tepat. Namun, ketika aku membuka mulut, yang keluar hanya kebohongan yang sama seperti sebelumnya. "Tidak ada. Aku hanya lelah."
"Kalau begitu, ayo tidur lebih awal malam ini," tawar Mia dengan senyum yang dipaksakan. Dia bangkit dari sofa, mendekatiku, tangannya menyentuh bahuku dengan lembut. "Kamu butuh istirahat."
Aku mengangguk pelan, meskipun tahu bahwa tidur lebih awal tidak akan memperbaiki apa pun. Ada yang salah di antara kami, dan aku mulai merasa bahwa masalah ini semakin besar dari sekadar lelah atau stres. Setiap kali Mia berbicara, setiap kali dia menyentuhku, aku merasakan ketidaknyamanan yang tak bisa kujelaskan. Bukannya aku tidak mencintainya, tetapi ada sesuatu yang menghalangi kami—sebuah tembok tak terlihat yang terus tumbuh di antara kami setiap hari.
Ketika kami berbaring di tempat tidur malam itu, punggungku menghadap ke Mia, aku bisa merasakan kehadirannya di belakangku. Dulu, kehangatan tubuhnya yang mendekat selalu menjadi pelipur lara. Tapi sekarang, aku merasa beban dari pekerjaan, tanggung jawab, dan tekanan yang menumpuk membuatku semakin tenggelam dalam pikiranku sendiri. Kami masih berbagi ranjang yang sama, tapi hati kami semakin jauh, seolah-olah ruang di antara kami dipenuhi oleh sesuatu yang tak terucapkan.
Mia meletakkan tangannya di punggungku, sebuah gerakan yang sederhana namun penuh kasih. "Asra," panggilnya pelan. "Aku merasa... kamu semakin jauh."