Setiap hari yang berlalu, aku semakin menyadari betapa dalam aku telah tersesat. Kebodohanku—itulah satu-satunya kata yang terus berputar di kepalaku, seperti jarum jam yang tidak pernah berhenti berputar. Aku mengutuk diriku sendiri setiap kali teringat saat-saat di mana aku tidak bisa mengendalikan diriku. Mengapa aku melakukan ini? Mengapa aku menghancurkan apa yang telah kubangun selama bertahun-tahun bersama Mia?
Tanda-tanda kebohonganku mulai muncul di antara retakan kecil yang dulu tak pernah ada. Aku bisa merasakannya. Mia pun bisa merasakannya, meski dia belum mengucapkannya. Bukti-bukti kecil mulai tertinggal tanpa sengaja, seperti pecahan kaca yang terjatuh di lantai dan menunggu untuk ditemukan. Aku terlalu ceroboh. Sebuah pesan singkat dari Dara yang tidak kuhapus, sebuah tanda terima dari restoran tempat aku dan Dara pernah makan malam, atau aroma parfum yang berbeda dari milik Mia yang masih tercium samar di bajuku.
Mia bukan perempuan bodoh. Aku tahu itu. Dia terlalu pintar untuk mengabaikan hal-hal kecil yang perlahan menumpuk menjadi gunung kecurigaan. Tapi dia tetap memilih untuk diam, seolah berharap bahwa dengan diam, semua akan kembali seperti sediakala. Tapi, aku tahu tidak ada jalan kembali. Hubungan kami semakin dingin. Malam-malam yang dulu dipenuhi dengan percakapan hangat kini berubah menjadi keheningan yang menyakitkan. Keheningan yang memekakkan telinga.
Aku duduk di sofa, menatap layar televisi yang menyala tanpa benar-benar memperhatikan apa yang diputar. Pikiranku melayang jauh, kembali ke momen-momen di mana aku masih bisa jujur pada diriku sendiri. Ke masa ketika satu-satunya hal yang aku pedulikan hanyalah kebahagiaan Mia. Tapi sekarang, kebahagiaan itu terasa jauh, seperti memudar dalam kabut tebal yang aku ciptakan sendiri.
Mia keluar dari kamar, membawa cangkir teh di tangannya seperti biasanya. Dia melirik ke arahku, dan aku bisa merasakan tatapannya yang menyelidik, meski tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Aku mencoba tersenyum, tapi senyumku kaku, tidak seperti senyum yang biasa aku berikan padanya. Dia duduk di seberangku, menyesap tehnya perlahan, sambil tetap menatapku dengan mata yang menyimpan banyak tanya.
"Asra...," Mia akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar lembut namun tegang. "Aku menemukan ini di kantong jasmu."
Dia mengangkat sebuah tanda terima—bukti kecil yang kutinggalkan tanpa sadar. Mataku langsung tertuju pada kertas itu. Aku bisa merasakan jantungku berhenti sejenak, lalu berdetak lebih cepat. Aku tahu tanda terima itu berasal dari restoran tempat aku makan malam dengan Dara minggu lalu, saat aku mengatakan kepada Mia bahwa aku harus bekerja lembur.
“Oh... Itu…,” aku mencoba berkata sesuatu, mencari alasan yang masuk akal, tapi tidak ada kata yang keluar. Lidahku terasa kaku, dan pikiranku kacau.
Mia menatapku dalam, menunggu penjelasan. Tapi aku tahu, apa pun yang aku katakan sekarang hanya akan terdengar seperti kebohongan lain. Aku terlalu sering berbohong, dan sekarang semua itu mulai menumpuk. Aku bisa melihat kekecewaan di matanya, meski dia belum berkata apa pun. Dia tahu. Dia pasti sudah tahu, meski dia masih mencoba untuk menyangkal kenyataan pahit ini.
“Kamu mau cerita, Asra?” tanyanya lembut, tidak ada nada marah dalam suaranya. Itu yang membuat semuanya semakin menyakitkan. Jika saja dia marah, jika saja dia meledak dan menuduhku, mungkin semuanya akan lebih mudah. Tapi Mia memilih untuk bersabar, menunggu, memberi ruang bagiku untuk jujur. Dan itu membuatku semakin merasa bersalah.
Aku memalingkan wajah, tidak bisa menatapnya lebih lama lagi. “Itu… Cuma makan malam dengan klien,” kataku akhirnya, kebohongan lain yang entah dari mana muncul. “Kami membahas proyek di luar kantor.”
Mia terdiam, menatap tanda terima di tangannya sebelum meletakkannya di atas meja. Dia tidak berkata apa-apa lagi, tapi aku bisa merasakan bahwa sesuatu di antara kami telah berubah. Sesuatu yang tak kasat mata, tapi jelas ada. Sebuah jarak yang tak terelakkan mulai tercipta, dan aku tidak tahu bagaimana mengembalikan semuanya seperti semula.
Aku kembali mengutuk diriku sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku begitu bodoh? Mengapa aku terus terjerumus lebih dalam ke dalam lubang yang aku gali sendiri? Setiap kali aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku bisa berhenti, kenyataannya berkata lain. Dara dan aku, hubungan itu tidak pernah seharusnya terjadi. Tapi sekarang, aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi ini tanpa melukai Mia lebih dalam lagi.
Hubungan kami yang dulu terasa hangat dan penuh cinta, kini dingin dan rapuh. Aku mulai mempertanyakan semua pilihanku. Apakah aku masih mencintai Mia? Ataukah perasaan bersalahku terlalu dalam sehingga menutupi semua yang ada di antara kami? Dan Dara… Apakah aku benar-benar mencintainya, ataukah ini hanya pelarian dari tekanan yang kurasakan?
Aku tidak punya jawaban. Yang kutahu hanyalah aku terjebak dalam kebingungan yang semakin hari semakin menyiksa. Duduk di samping Mia, aku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri, di kehidupan yang dulu aku bangun dengan penuh cinta.
---
Hari itu, aku pulang lebih awal dari biasanya. Aku berusaha untuk tidak menarik perhatian Mia, mencoba menghindari percakapan panjang. Aku tahu kebohongan yang terus kutenun semakin kusut, dan setiap malam saat berbaring di sebelah Mia, rasa bersalahku semakin besar. Tapi kali ini, begitu aku membuka pintu, ada yang berbeda. Suasana rumah terasa aneh—sunyi dan tegang. Mia tidak ada di ruang tamu seperti biasanya.
Aku memanggilnya pelan, “Mia?”
Tidak ada jawaban. Aku berjalan ke kamar, berharap menemukan dia sedang beristirahat. Pintu kamar sedikit terbuka, dan saat aku masuk, Mia sedang duduk di tepi ranjang, wajahnya pucat, matanya terlihat lelah. Ia menatapku sejenak, tetapi tidak seperti biasanya, senyum yang lembut dan menenangkan tidak muncul di wajahnya. Ada sesuatu yang salah.
"Mia, kamu kenapa?" tanyaku dengan suara setengah khawatir. Jantungku berdegup kencang.
Dia tidak langsung menjawab, hanya mengambil napas panjang seakan mengumpulkan kekuatan. "Aku baru pulang dari dokter," katanya pelan. Kata-katanya bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Aku mendekatinya, duduk di sampingnya, tapi tanganku terasa kaku untuk meraih tangannya. Pikiran buruk mulai berkecamuk di kepalaku.
"Apa yang dokter bilang?" suaraku terdengar serak, nyaris tidak keluar dari tenggorokan yang tiba-tiba kering.
Mia menunduk, kedua tangannya meremas ujung bajunya dengan erat. "Kehamilanku… ada komplikasi," ucapnya akhirnya, suaranya bergetar. "Dokter bilang aku harus lebih banyak istirahat. Kondisinya cukup serius."
Aku merasa seperti ada sesuatu yang menekan dadaku, menghancurkanku dari dalam. Mia yang begitu bersemangat tentang kehamilan ini, sekarang harus menghadapi komplikasi. Dan aku? Aku di sini, penuh dengan rasa bersalah karena perselingkuhan yang terus-menerus kusimpan. Aku seharusnya berada di sisinya, mendukungnya, tapi aku malah menjadi sosok pengecut yang menjauh darinya ketika ia paling membutuhkanku.
"Apa yang bisa kulakukan?" tanyaku, meski aku tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu. Semua kata-kata terasa hampa, sementara pikiranku dipenuhi bayangan-bayangan hitam. Aku menatap Mia, yang tampak lebih rapuh dari biasanya, dan merasa seperti pria paling tidak berguna di dunia.
"Kamu hanya perlu ada di sini," jawab Mia, suaranya lembut tapi terdengar seperti permohonan. “Menemaniku... menjaga bayi kita.”
Aku menelan ludah, menahan desakan air mata yang tiba-tiba ingin keluar. Aku sudah mengecewakannya—mungkin lebih dari yang dia tahu. Dan sekarang, aku harus berdiri di sini, berpura-pura menjadi suami yang peduli, padahal di dalam diriku, kebohongan-kebohongan yang telah kubangun semakin membakar hati dan pikiranku. Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku menyerahkan diriku pada Dara ketika Mia sedang melalui hal yang paling penting dalam hidup kami?
Aku menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan kata-kata. “Aku di sini, Mia. Aku janji, aku akan ada di sini untukmu,” kataku, berusaha terdengar meyakinkan. Tapi bahkan aku sendiri tidak yakin dengan kata-kata itu. Di dalam diriku, aku tahu, rasa bersalah ini semakin memakan habis diriku. Dan komplikasi kehamilan ini hanya membuat segalanya semakin buruk.
Mia mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di belakangnya. Dia tidak tahu pengkhianatan yang kubawa pulang setiap hari, meski tubuhku tetap ada di rumah bersamanya. Dan sekarang, ketika dia menghadapi ketakutan terbesar dalam hidupnya—kemungkinan kehilangan bayi kami—aku di sini, terjebak dalam kebohongan dan rasa bersalah yang aku ciptakan sendiri.
Aku meraih tangannya, meremasnya lembut. “Kita akan melewati ini bersama,” kataku, mencoba memberikan kekuatan yang bahkan aku sendiri tidak yakin masih kumiliki.
Namun, di dalam diriku, aku tahu. Semakin hari, semakin sulit bagiku untuk menjaga kebohongan ini tetap tersembunyi. Mia mengalami komplikasi, dan di saat yang sama, aku terjebak dalam komplikasi hidup yang lebih besar dari yang pernah kubayangkan.
---
Aku pulang malam seperti biasanya, mencoba menata ekspresi dan mengatur napas sebelum masuk ke dalam rumah. Hari ini terasa lebih berat dari sebelumnya—seperti ada awan hitam menggantung di atas kepalaku. Perselingkuhan dengan Dara semakin menekan batinku, dan setiap kali aku pulang, beban rasa bersalah itu semakin tak tertahankan.
Begitu pintu rumah kubuka, aku bisa langsung merasakan atmosfer yang berbeda. Mia duduk di ruang tamu, tapi kali ini dia tidak sedang tersenyum lembut atau memintaku untuk duduk dan makan malam bersama. Tidak ada kehangatan seperti biasanya. Hanya ada dingin, seperti ada jurang yang tak kasat mata antara kami berdua. Wajahnya tampak tegang, dan matanya tak lepas menatapku—tajam, penuh dengan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Asra, kita perlu bicara," ucapnya dengan nada yang tidak biasa. Suaranya terdengar begitu datar, tanpa emosi, dan itu membuatku semakin gelisah.
Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang salah. Aku bisa merasakannya, tapi aku tidak siap mendengar apa yang akan dia katakan. Langkahku terasa berat saat aku mendekatinya, duduk di sofa di depannya. Mia tidak bergeming. Tatapannya tak berpindah sedikitpun dari mataku.
"Ada apa, Mia?" Aku mencoba bertanya dengan nada tenang, meski di dalam kepalaku, ribuan pikiran buruk mulai menghantam.
Dia menghela napas panjang, tangannya mengepal di atas pangkuan. "Aku tahu, Asra."
Kata-katanya membuat jantungku serasa berhenti. Aku hanya bisa menatapnya, mencoba menebak ke mana arah percakapan ini. "Tahu apa?" tanyaku, meski di dalam hatiku, aku sudah tahu ke mana ini akan berakhir. Aku hanya berharap bisa menunda akhir ini sedikit lebih lama.
Mia menatapku tajam, matanya berkaca-kaca. "Tentang Dara."
Seolah-olah dunia berhenti berputar pada saat itu. Semua alasan yang sudah kusiapkan sebelumnya, semua kebohongan yang telah kurangkai dengan hati-hati, tiba-tiba menguap begitu saja. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Tidak ada gunanya berbohong lagi. Rasa bersalah yang selama ini kupendam kini menenggelamkanku sepenuhnya.
Aku mencoba membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, apa saja, tapi kata-kata itu tak keluar. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara napas kami yang berat.
"Aku sudah curiga sejak lama, Asra," lanjutnya, suaranya mulai bergetar. "Tapi aku ingin percaya padamu. Aku ingin percaya bahwa suamiku, pria yang kucintai, tidak akan mengkhianatiku. Tapi semuanya... semuanya semakin jelas. Pulang larut malam, sikapmu yang berubah, dan kebohongan yang tidak lagi bisa kau tutupi." Dia berhenti sejenak, matanya penuh dengan kekecewaan. "Aku menemukan bukti itu, Asra. Pesan-pesanmu dengan Dara."
Aku merasa lemas. Bagaimana aku bisa sebodoh ini? Pesan-pesan itu... seharusnya sudah kuhapus. Tapi sekarang semuanya terbongkar, dan tidak ada lagi tempat untukku bersembunyi.
“Mia, aku...”
“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan?” Mia memotong ucapanku. “Bukan hanya karena kamu berselingkuh. Tapi karena kamu memilih untuk berbohong kepadaku, memilih untuk terus membiarkanku percaya bahwa kita masih baik-baik saja, sementara di belakangku, kamu menghancurkan segala hal yang kita bangun bersama.”
Aku tertunduk, tak mampu menatapnya lagi. Kata-katanya menghantamku seperti palu. Aku sudah menyakiti wanita yang paling mencintaiku, yang paling kuharapkan untuk selalu bersamaku. Dan sekarang, semuanya berantakan.
"Mia, aku... aku tidak tahu harus berkata apa." Suaraku terdengar lemah. “Aku salah. Aku sangat menyesal.”
Mia menggeleng pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kamu bilang menyesal, Asra, tapi kamu terus melakukannya. Aku mencoba mengerti, mencoba memahami alasanmu. Tapi kenyataannya, kamu sudah menghancurkan kepercayaan yang kuberikan sepenuhnya padamu."
Aku merasakan berat di dadaku semakin menghimpit. "Mia, aku sungguh menyesal. Aku... aku tidak ingin kehilanganmu."
Mia tertawa pelan, tawa yang terdengar pahit dan penuh luka. "Kamu bilang tidak ingin kehilangan aku, tapi kamu sudah menghancurkan pernikahan ini jauh sebelum kita sampai pada titik ini."
Aku tak bisa membantahnya. Kata-katanya benar. Aku telah menghancurkan semuanya. Aku yang seharusnya menjaga Mia, menjaga pernikahan kami, tapi malah menghancurkan segalanya dengan kebodohanku sendiri.
"Jadi, sekarang apa yang kamu inginkan, Asra?" Mia menatapku dengan penuh luka. "Apakah kamu masih ingin mempertahankan pernikahan ini? Atau kamu lebih memilih Dara?"
Pertanyaannya menghantamku seperti pukulan terakhir. Aku tahu jawabannya. Aku selalu tahu, tapi kebodohanku membawa kami ke titik ini. Aku tak pernah benar-benar ingin meninggalkan Mia. Dara hanya... pelarian dari tekanan yang kualami. Tapi itu tak pernah seharusnya menjadi alasan untuk mengkhianati istriku.
“Mia, aku memilih kamu,” kataku akhirnya, suaraku terdengar putus asa. "Aku tidak ingin Dara. Aku hanya ingin kamu. Aku akan memperbaiki semuanya."
Tapi di dalam diriku, aku tahu. Kata-kata itu mungkin sudah terlambat. Mia sudah terluka terlalu dalam, dan aku tidak yakin apakah ada cara untuk memperbaiki semua ini.
Malam itu terasa seperti keabadian. Setelah Mia mengungkapkan semua yang ada di hatinya, ruangan kami tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan. Aku duduk di sana, menatapnya dengan perasaan yang bercampur aduk antara rasa bersalah, takut, dan harapan yang samar. Namun di balik air mata yang mengalir di pipinya, aku bisa melihat sesuatu yang lain — keraguan.
“Mia... aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku akan melakukan apa pun,” suaraku terdengar putus asa, hampir seperti sebuah permohonan. Aku tahu aku telah mengecewakan dan menghancurkannya, tapi jauh di dalam hatiku, aku berharap dia masih bisa memberi kesempatan.
Mia tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju ke lantai, seolah-olah dia sedang mencari jawaban di sana. Wajahnya tampak lelah, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, harapan itu masih ada. Harapan yang begitu tipis, namun cukup untuk aku raih.
“Aku tidak tahu, Asra...” Mia akhirnya berbisik, suaranya hampir tidak terdengar. “Kamu sudah menghancurkan begitu banyak hal. Semua kepercayaan yang aku berikan... rasanya hilang begitu saja.”
Perkataannya membuat dadaku terasa sesak, namun aku tetap mendengarkan. Aku tahu aku harus memberinya ruang untuk mengungkapkan perasaannya. Mia berhak mendapatkan itu.
“Tapi...” lanjutnya pelan, suaranya bergetar, seolah dia sedang berjuang dengan pikirannya sendiri, “Bagian dari diriku masih ingin percaya... bahwa kita bisa memperbaiki ini. Aku hanya... aku tidak tahu bagaimana caranya.”
Kata-katanya seperti secercah cahaya di tengah kegelapan yang telah menyelimutiku selama ini. Mia—meskipun telah terluka begitu dalam—masih berpikir untuk memberiku kesempatan. Kesempatan yang mungkin terakhir bagiku untuk menebus semua kesalahan.
"Mia, aku... terima kasih," suaraku serak saat aku berusaha menahan air mata. “Aku tahu ini semua salahku, dan aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa memperbaiki semua ini. Tapi aku akan mencoba. Aku akan berjuang untuk kita... untuk pernikahan kita.”
Mia masih terdiam, menunduk dalam kebisuan. Aku tak tahu apakah kata-kataku mampu memberikan harapan untuknya, atau justru menambah beban di hatinya. Namun yang kutahu, aku harus mulai dari sini. Dari rasa bersalah ini, dari pengakuan bahwa aku telah merusak sesuatu yang paling berharga dalam hidupku.
“Aku akan memberi kamu waktu, Asra,” katanya akhirnya, suaranya terdengar penuh dengan kepedihan. “Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa melupakan semua ini.”
Kata-kata Mia seperti pisau yang menancap di dadaku, tapi aku tahu dia berkata jujur. Dia tak berbohong, tak mencoba menyembunyikan perasaannya. Itu yang selalu aku kagumi dari Mia, keterusterangannya. Dan meskipun perasaan ini menyakitkan, setidaknya aku tahu dia masih di sini. Masih ada kesempatan, meski kecil.
“Aku akan menunggu, Mia. Aku akan menunggu sampai kamu merasa siap. Dan selama itu, aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi suami yang lebih baik. Aku janji.”
Mia menatapku untuk pertama kalinya sejak awal percakapan kami. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun juga ada kelelahan. Kelelahan karena rasa sakit yang aku timbulkan, tapi juga karena cinta yang dia berusaha untuk pertahankan.
“Baiklah, Asra. Tapi ingat, ini bukan jaminan.”
Setelah malam yang panjang dengan Mia, aku tahu hanya ada satu jalan yang harus aku ambil. Pagi itu, ketika aku berangkat ke kantor, jantungku berdebar keras. Tanganku gemetar di kemudi, sementara pikiranku terus memutar skenario-skenario percakapan yang akan terjadi. Dara. Aku harus segera menyelesaikan ini—sebelum semuanya benar-benar hancur.
Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruangan Dara. Belum ada orang lain di sana. Waktu masih terlalu pagi, tapi aku tahu aku harus melakukannya sekarang, sebelum aku kehilangan keberanian. Begitu aku mengetuk pintu dan melangkah masuk, Dara mengangkat wajahnya dari layar komputer, tersenyum seperti biasa.
"Hei, pagi, Asra," sapanya ringan, seolah-olah tidak ada beban di antara kami. Seolah-olah hubungan ini tidak pernah terjadi.
Aku menelan ludah, mencoba menata pikiranku. "Dara, kita perlu bicara."
Nada suaraku yang tegang langsung mengubah ekspresi wajahnya. Senyum di bibirnya memudar, dan dia memandangku dengan tatapan waspada. Aku melihat bayangan kekecewaan di matanya, seakan dia sudah tahu apa yang akan aku katakan.