Sering Ku Salah

Kalam Insan
Chapter #5

Pasrah / Menyerah

Ada malam di saat Mia akhirnya memulai percakapan yang sudah lama kutunggu, tapi juga sangat aku takuti. Suara lembutnya terdengar ragu, namun ada kekuatan di balik setiap kata yang ia ucapkan. Aku menatapnya dalam keheningan, mencoba meresapi setiap kalimat yang terlontar. “Aku ingin kita memulai semuanya dari awal, Asra...” katanya pelan.

Aku mengangguk perlahan, meski di dalam hati, jantungku seolah berdentam lebih cepat. "Apa maksudmu?" tanyaku, padahal sebagian dari diriku sudah tahu ke mana arah percakapan ini.

“Aku ingin kita pindah rumah,” ucapnya sambil menatapku lurus. Mata itu, mata yang selama ini selalu penuh pengertian, kini tampak lelah. Ada beban yang jelas di balik keinginannya. "Aku ingin kita lebih dekat dengan keluargaku."

Aku terdiam. Permintaan itu tidaklah mengejutkan, mengingat kondisi pernikahan kami selama beberapa bulan terakhir. Namun, ada sesuatu yang terasa berat ketika memikirkan perubahan besar ini. Rumah kami saat ini, meski penuh dengan kenangan indah dan pahit, adalah tempat di mana segalanya dimulai. Di sini, aku berusaha memperbaiki kesalahan, merajut kembali apa yang kusobek sendiri.

“Kamu tidak keberatan, kan?” Mia bertanya lagi, kali ini suaranya terdengar lebih pelan, seakan menginginkan kepastian dari bibirku.

Aku menggeleng, meski di dalam hati, ada sesuatu yang tak bisa kuhindari. Aku tak menolak permintaannya, tapi juga belum benar-benar siap menerima kenyataan bahwa kami harus meninggalkan rumah ini. Rumah ini bagiku adalah cerminan dari semua perjalanan hidup kami, baik saat aku melukainya, maupun ketika aku mencoba memperbaikinya. Namun, aku sadar ini bukan hanya tentangku.

"Jika itu yang kamu inginkan, aku akan coba," jawabku, berusaha terdengar tegar. Tapi di balik kata-kata itu, ada keraguan yang sulit disembunyikan.

Mia tersenyum tipis, meski matanya tetap menyiratkan kelelahan. "Kita butuh awal yang baru, Asra. Tempat ini... terlalu banyak kenangan yang sulit dihapuskan."

Aku memahami alasannya, meski rasa bersalah terus menghantui setiap detik yang berlalu. Aku sudah membuatnya terluka begitu dalam, dan sekarang dia menawarkan kesempatan kedua. Namun, apakah aku benar-benar siap untuk menghapus segalanya dan memulai kembali dari nol? Berpisah dengan rumah ini terasa seperti merelakan bagian dari hidupku yang selama ini kutangisi.

"Kapan kita mulai mencari rumah baru?" tanyaku akhirnya, mencoba untuk fokus pada masa depan yang Mia inginkan.

"Soon," jawabnya. "Tapi tidak usah terburu-buru, aku tahu ini juga berat buat kamu."

Mendengar itu, aku merasa beban di dada sedikit terangkat, meskipun tidak sepenuhnya hilang.

Setelah malam itu, segalanya terasa sedikit lebih tenang. Aku berpikir mungkin kami telah mencapai titik di mana Mia mulai mau membuka hati lagi. Harapan itu membawaku melewati hari-hari berikutnya dengan perasaan yang campur aduk—antara takut dan lega, antara ragu dan yakin bahwa aku bisa memperbaiki semua ini. Namun, seperti angin yang tak bisa diprediksi, semuanya berubah begitu cepat.

“Aku butuh waktu,” Mia berkata di pagi harinya, suaranya terdengar datar, namun matanya berbicara lebih banyak daripada yang ia ucapkan.

Aku menatapnya, tak mengerti. “Apa maksudmu, Mia?”

Dia menghela napas panjang, jemarinya bermain-main dengan lipatan baju bayi di tangannya. "Aku ingin kita rehat... untuk sementara. Aku ingin kembali ke rumah orangtuaku."

Darahku terasa berhenti mengalir. Rehat? Kembali ke rumah orangtuanya? Sementara aku di sini, sendirian?

"Kenapa?" suaraku bergetar. Meskipun aku sudah tahu jawabannya, aku tak siap untuk mendengarnya dari bibirnya.

"Aku lelah, Asra," jawabnya pelan, matanya tak berani menatapku langsung. "Semua ini... kita, rumah ini, keadaan kita—terlalu berat. Aku merasa... aku butuh ruang untuk bernapas, untuk berpikir. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri."

Aku bisa merasakan dinding di sekelilingku runtuh. "Mia, kita bisa memperbaikinya di sini, bersama. Jangan pergi. Aku mohon..." Aku meraih tangannya, namun dia menariknya perlahan. Sentuhan yang dingin, berbeda dari apa yang biasa dia berikan.

“Aku tidak meninggalkanmu, Asra. Aku hanya... aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri. Untuk kami.” Dia melirik bayi kami yang terlelap di tempat tidur kecilnya. "Aku akan membawa dia bersamaku. Dia butuh keluargaku, butuh lingkungan yang lebih stabil."

Kata-katanya menusuk. Seolah-olah ia mengatakan bahwa aku adalah sumber ketidakstabilan itu. Bahwa aku, ayah dari bayi kami, tak mampu memberikan rasa aman yang ia butuhkan. Dan aku tahu, meskipun Mia tak menyebutnya secara langsung, ini semua karena kesalahanku.

“Aku mohon, Mia... jangan pergi.” Aku merasa semakin putus asa. “Kita bisa bicara. Kita bisa... kita bisa mencari cara lain. Tolong... tetap di sini. Tetap bersamaku.”

Mia menggeleng pelan, air matanya mulai menggenang. "Aku sudah memikirkan ini, Asra. Aku tidak bisa tinggal di sini untuk sementara waktu. Aku butuh jarak. Aku perlu ruang untuk sembuh. Kita... kita berdua perlu."

Suaranya pecah di akhir kalimat itu, dan aku tahu betapa sulitnya keputusan ini untuknya. Tapi ketakutan di hatiku lebih besar dari rasa empati. Bagaimana jika dia tak pernah kembali? Bagaimana jika jarak ini justru menjauhkan kami lebih dalam?

"Berapa lama, Mia? Berapa lama kamu akan pergi?" tanyaku, meski aku tak yakin ingin mendengar jawabannya.

Dia menggelengkan kepalanya lagi. “Aku tidak tahu. Sampai aku merasa... siap untuk kembali.”

Kata-kata itu menghantamku seperti palu godam. Tidak ada kepastian, tidak ada janji. Hanya ruang kosong yang semakin membesar di antara kami. Dan bayi kami... akan pergi bersamanya. Kehilangan keduanya sekaligus terasa seperti lubang besar yang tak mungkin kututup dengan apa pun.

Aku mencoba bicara, memohon, bahkan memeluknya untuk terakhir kalinya, tetapi dia tak bergeming. Keputusannya sudah bulat. Dan pada akhirnya, aku hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan Mia mengemas barang-barang kecil bayi kami ke dalam tas, tanpa mampu menghentikannya.

Ketika pintu tertutup di belakang mereka, keheningan terasa menyesakkan. Aku berdiri di ruang tamu, mendengarkan bunyi langkah kakinya menjauh dari rumah kami. Meninggalkan aku sendirian dengan semua penyesalan, kesalahan, dan ketidakmampuanku untuk memperbaiki apa yang telah kuhancurkan.

Aku ingin mengejarnya. Aku ingin mengatakan lagi bahwa aku mencintainya, bahwa aku akan melakukan apa saja untuk membuatnya tetap tinggal. Tapi yang kulakukan hanya berdiri di sana, terpaku, sementara jantungku berdebar kencang, seolah tubuhku sendiri sudah tak mampu bergerak sesuai keinginanku.

Dan di dalam keheningan itu, aku tahu, meskipun ia berkata hanya sementara, ketidakpastian itu bisa menjadi lebih panjang dari yang aku bisa bayangkan.

---

Sejak Mia dan bayi kami pergi, rumah ini terasa seperti gua yang tak berpenghuni, meski segala perabot masih ada di tempatnya. Dindingnya masih dihiasi foto-foto kami yang pernah tersenyum bahagia. Tapi sekarang, setiap sudutnya hanya memantulkan bayanganku sendiri yang terasing. Setiap ruangan yang aku masuki terasa begitu kosong, seolah-olah semua kenangan bahagia tersapu pergi bersama mereka.

Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap televisi yang menyala tanpa suara. Tayangan yang bergerak di layar tampak tak berarti. Suara latar yang monoton membuat pikiranku melayang ke mana-mana, meskipun tubuhku terasa kaku, tak bisa bergerak. Keheningan yang menyelimuti rumah ini bukan sekadar sunyi yang biasa. Ini adalah jenis sunyi yang menusuk tulang, yang membuat seluruh tubuhku merasakan hampa yang nyaris tak tertahankan.

Kesepian ini terasa asing. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali merasa begitu sendiri. Ada masa sebelum Mia hadir dalam hidupku, tentu saja, masa ketika aku hidup sendirian, tetapi kesendirian itu tidak pernah terasa seperti ini. Kala itu, aku menjalani hidup dengan ritme yang sama, tanpa peduli siapa yang menemaniku. Sekarang, kesendirian ini terasa lebih nyata, lebih berat. Kesunyian ini bukan hanya tentang tidak adanya suara di sekitarku, tapi tentang tidak adanya sosok Mia dan bayi kami di sini. Kehadiran mereka yang dulu selalu mengisi ruang-ruang kecil dalam hidupku kini lenyap, meninggalkan kekosongan yang seolah tak berujung.

Aku merindukan tawa kecil bayi kami yang memenuhi rumah. Aku merindukan suara Mia memanggilku dari dapur, dengan nada lembut yang khas. Merindukan bagaimana kehadiran mereka membuat segalanya terasa hidup. Namun, sekarang aku harus terbiasa dengan rumah yang kosong ini, dengan rutinitas yang tak lagi sama. Ada malam-malam ketika aku terbangun, mendengar tangisan bayi dalam benakku, hanya untuk menyadari bahwa kamar sebelah kosong. Tidak ada lagi tubuh kecil yang meringkuk dalam selimut, tidak ada lagi suara kecil yang butuh ditenangkan di tengah malam.

Terkadang aku terjebak dalam kebiasaan lama—mengambil dua cangkir kopi di pagi hari, padahal Mia tak lagi di sini untuk meminumnya. Atau menyiapkan dua piring untuk makan malam, padahal tak ada yang duduk di kursi sebelahku. Setiap tindakan kecil ini, yang dulu terasa begitu natural, kini hanya memperparah rasa sepi yang semakin menggerogoti.

Aku mulai sadar bahwa ini adalah keputusan terbaik. Meskipun berat, mungkin ini memang yang harus terjadi. Mia butuh ruang, dan mungkin, begitu pula aku. Ada banyak hal yang harus aku pahami, banyak kesalahan yang harus kutanggung. Jarak ini, meskipun menyakitkan, memberiku kesempatan untuk merenung, untuk melihat lebih jelas apa yang telah kuperbuat. Mia tak mungkin sembuh dari luka yang kubuat tanpa jarak ini, dan begitu pula aku.

Tetapi, meski demikian, memahami bahwa ini yang terbaik tidak membuat semuanya lebih mudah. Jauh di lubuk hatiku, aku masih berperang dengan rasa takut. Takut bahwa jarak ini akan semakin meluas, bahwa pada akhirnya, Mia tak akan pernah kembali. Takut bahwa meskipun aku berusaha keras memperbaiki segalanya, luka yang kubuat terlalu dalam untuk bisa sembuh sepenuhnya. Dan pada malam-malam ketika kesunyian terlalu berat untuk ditanggung, rasa takut itu berubah menjadi ketakutan yang tak terungkapkan—ketakutan akan kehilangan.

Aku mencoba mengisi hari-hariku dengan pekerjaan. Mengalihkan pikiranku pada hal-hal lain, seolah-olah jika aku cukup sibuk, aku tak akan merasakan kehampaan ini. Tapi setiap kali aku pulang, kesepian itu kembali menyergap. Dinding-dinding ini seperti berbicara dalam bisikan lirih, mengingatkan aku bahwa aku sendirian di sini, dan mereka yang kucintai tidak ada di sini bersamaku. Setiap langkahku di lantai kayu terdengar terlalu keras, menggemakan betapa kosongnya ruang ini tanpa mereka.

Aku mulai meragukan diriku sendiri. Apakah aku bisa menjadi suami yang lebih baik? Apakah aku bisa menjadi ayah yang layak untuk anak kami? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, membuatku sulit tidur di malam hari. Setiap kali aku memejamkan mata, wajah Mia dan bayi kami hadir dalam benakku. Aku merindukan mereka, sangat merindukan mereka, tapi aku juga tahu, untuk saat ini, aku harus belajar untuk merelakan.

Dan meskipun berat, perlahan-lahan aku mulai menerima bahwa kesepian ini adalah bagian dari konsekuensi yang harus kutanggung. Bahwa mungkin, melalui kesepian ini, aku bisa menemukan jalan untuk memperbaiki segalanya. Aku harus percaya bahwa ini adalah jalan terbaik, meskipun jalannya panjang dan penuh dengan ketidakpastian.

Namun, di balik semua pemikiran itu, ada harapan kecil yang terus hidup—bahwa suatu hari nanti, Mia akan kembali, dan kami bisa memulai semuanya dari awal, dengan cinta yang lebih kuat dari sebelumnya.

---

Aku tenggelam dalam pekerjaan. Sejak Mia pindah ke rumah orang tuanya bersama bayi kami, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan di rumah. Jadi aku mulai tiba lebih pagi di kantor, pulang lebih malam, dan mengambil setiap tugas tambahan yang ditawarkan. Setiap presentasi, setiap proyek, setiap rapat—semua kuambil tanpa ragu. Terkadang aku sampai lupa makan siang, atau bahkan melewatkan istirahat, hanya untuk memastikan otakku terus sibuk, tak memberi ruang sedikit pun untuk memikirkan hal-hal lain.

Kantor menjadi pelarian terbaikku. Ruangan yang penuh dengan suara-suara, panggilan telepon yang tak pernah berhenti berdering, email yang datang bertubi-tubi. Semua itu menawarkan distraksi yang begitu sempurna. Aku bisa mengalihkan perasaanku yang berkecamuk dengan daftar panjang tugas-tugas yang harus kuselesaikan. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari sesuatu: semakin aku fokus pada pekerjaanku, semakin terasa bahwa aku kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting—arah hidupku.

Sebelumnya, karierku memang penting, tapi bukan segalanya. Selalu ada batas antara pekerjaan dan rumah. Aku selalu bisa pulang, disambut dengan senyum Mia dan dekapan hangat bayi kami. Ada keseimbangan di sana, meskipun kadang aku merusaknya dengan kesalahan bodoh yang kulakukan. Namun, sejak Mia pergi, semuanya terasa miring. Aku mencoba mencari keseimbangan di antara tumpukan pekerjaan, tapi setiap kali pulang, aku kembali tersesat dalam kesepian yang mencekam.

Di kantor, orang-orang melihatku sebagai seseorang yang penuh dedikasi. Mereka mungkin menganggapku ambisius, bertekad untuk mencapai puncak karier. Bosku bahkan sempat memujiku dalam rapat tim, mengatakan bahwa aku telah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Beberapa rekan kerja mulai memandangku dengan respek yang lebih tinggi, bertanya bagaimana caranya aku bisa menjaga konsistensi dan produktivitas yang begitu tinggi. Tapi mereka tidak tahu, semua ini hanyalah upayaku untuk melarikan diri dari kenyataan.

Kadang-kadang, aku merasa seperti robot. Bangun, bekerja, tidur, dan mengulanginya lagi keesokan harinya. Emosiku seolah tertahan di bawah permukaan. Aku tidak tahu lagi bagaimana merasakannya dengan sepenuh hati. Jika dulu setiap langkah ke kantor terasa seperti bagian dari tujuan yang lebih besar, kini semuanya terasa kosong, tak bermakna. Semua upaya yang kulakukan di kantor hanya menutupi kenyataan bahwa aku kehilangan arah.

Malam-malam sepulang kerja adalah saat-saat terberat. Ketika aku kembali ke rumah yang kosong, duduk sendirian di sofa tanpa suara yang menemani, perasaan kehilangan itu datang menghantam seperti ombak yang tak terhindarkan. Tidak peduli seberapa keras aku bekerja di siang hari, malam tetap mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang lebih dari sekadar Mia dan anak kami yang tak lagi di sini. Yang hilang adalah diriku sendiri.

Aku kehilangan arah. Segala tujuan yang dulu kugenggam terasa menguap begitu saja. Apa yang kukejar selama ini? Pekerjaan? Jabatan? Semua itu tak berarti jika akhirnya aku tetap sendirian di rumah ini, tanpa kehadiran orang-orang yang kucintai. Kesuksesan di kantor hanya memberikan kebanggaan sesaat, yang langsung memudar begitu aku meninggalkan gedung dan kembali ke kehidupanku yang sepi.

Kadang-kadang aku berpikir, apakah mungkin ini harga yang harus kubayar? Bahwa dengan kesalahan yang kulakukan, Tuhan tengah memberiku pelajaran yang paling menyakitkan? Bahwa semua yang kucapai, semua dedikasi yang kuberikan di kantor, tak akan bisa menggantikan kehampaan yang terasa begitu mendalam di dalam diriku. Bahkan saat aku mencapai prestasi tertinggi sekalipun, rasanya tetap hampa. Seolah-olah tidak ada yang benar-benar penting lagi.

Semakin hari, semakin sulit untuk berpura-pura bahwa semua ini normal. Aku mulai merasa terasing, bahkan dari diriku sendiri. Aku mencoba bertahan dengan keyakinan bahwa bekerja lebih keras akan memperbaiki segalanya, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Setiap pencapaian yang kuraih hanya menambah rasa hampa di hatiku.

Ada hari-hari di mana aku terbangun dengan perasaan bingung. Aku duduk di tempat tidur, memandang sekeliling kamar yang sunyi, dan bertanya-tanya: apa yang sedang kulakukan? Untuk apa semua ini? Pekerjaanku, penghargaan yang kuterima, pujian dari rekan kerja—semua itu mulai kehilangan makna. Tak ada lagi semangat dalam setiap langkahku. Aku merasa seperti terjebak dalam rutinitas tanpa akhir yang tak memberiku apa-apa selain kebingungan.

Dan meskipun aku terus berusaha memfokuskan diri pada pekerjaan, aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Setiap malam yang kulewati tanpa Mia dan anak kami di sisiku semakin menyadarkanku bahwa ada hal-hal yang lebih penting dari semua ini. Kehidupan yang telah kubangun bersama mereka—kehidupan yang pernah kuabaikan demi kesenangan sementara—itu yang sebenarnya berarti. Dan kini, setelah semuanya nyaris hancur, aku tak tahu lagi bagaimana cara mendapatkannya kembali.

Rasanya setiap hari adalah pengulangan dari hari sebelumnya—pekerjaan, pulang ke rumah yang sepi, dan dinding-dinding kosong yang menantiku. Kesunyian itu memakan perlahan, tanpa aku sadari. Tak ada suara tawa Mia, tak ada tangisan bayi kami. Aku mencoba sibuk dengan proyek-proyek baru di kantor, tetapi begitu aku melewati pintu rumah, semua kembali terasa tak ada gunanya. Dalam diam, pikiranku berlari, terus-menerus menimbang apa yang telah kulakukan, apa yang mungkin bisa kulakukan. Makin lama, makin kusadari, aku butuh sesuatu untuk menghilangkan tekanan ini.

Aku mulai kembali merokok. Aku tahu, Mia membencinya—dulu, dia bahkan yang pertama kali membuatku berhenti. Tapi sekarang, tanpa ada dia di sini, siapa yang peduli? Aku menyalakan rokok pertama di balkon rumah pada suatu malam setelah seharian bekerja. Angin malam yang dingin bertiup perlahan, tetapi aku bahkan tidak merasakannya. Hanya asap yang kuhisap dalam-dalam, berharap setiap tarikan napas bisa sedikit menenangkan pikiranku yang kacau.

Awalnya hanya satu batang, lalu dua, dan tanpa kusadari, menjadi kebiasaan lagi. Rokok menjadi peneman di setiap waktu senggangku—di pagi hari sebelum berangkat kerja, di sela-sela rapat, dan tentu saja saat aku pulang ke rumah. Asap itu seperti perisai, melindungiku dari rasa kesepian yang menusuk. Setiap tarikan mengingatkanku bahwa setidaknya ada sesuatu yang bisa kumiliki, sesuatu yang memberiku kendali di tengah semua yang kacau ini.

Namun, lama-kelamaan rokok saja tak cukup. Rasa hampa yang menggerogoti pikiranku semakin besar, semakin gelap. Hingga pada suatu malam, aku memutuskan untuk membeli sebotol minuman keras. Aku berdiri di depan rak-rak minuman itu cukup lama, menimbang apakah aku benar-benar membutuhkan ini. Tapi godaan terlalu kuat. Aku butuh sesuatu yang lebih dari sekadar asap rokok untuk mengatasi semua ini. Aku butuh pelarian, dan alkohol terasa seperti jawaban paling mudah.

Botol pertama kukeluarkan dari lemari dapur setelah makan malam yang sepi. Aku duduk di meja makan, membuka tutup botolnya, dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Cairan bening itu berputar-putar saat kugerakkan gelas di tanganku. Aku ragu sejenak, memikirkan apa yang mungkin terjadi setelah ini. Tapi seperti biasa, rasa bersalah dan kekacauan dalam benakku lebih kuat dari logika.

Setelah tegukan pertama, aku merasa hangat. Tidak hanya di tenggorokanku, tetapi juga di pikiranku. Ketegangan yang selama ini kubawa seakan mereda, walaupun hanya sesaat. Seolah-olah semua masalah yang menghantuiku selama ini hilang begitu saja. Aku minum lagi, dan lagi, sampai aku tidak peduli lagi berapa banyak yang sudah kutenggak.

Lihat selengkapnya