Sering Ku Salah

Kalam Insan
Chapter #6

Maafkan Maafku

Sudah sebulan berlalu sejak Mia pergi ke rumah orangtuanya, membawa serta bayi kami. Selama itu, aku hanya bisa berharap, berdoa, dan menunggu. Setiap hari rasanya sama, sepi. Teleponku menjadi benda yang paling sering kugenggam. Aku tahu, aku tidak bisa mengharapkan apa-apa, tapi tetap saja, setiap kali telepon itu bergetar, harapan kecil di hatiku selalu bangkit. Apakah ini Mia? Apakah ini saatnya? Namun, sebagian besar waktu, itu hanyalah pesan singkat atau panggilan kerja yang membuat hatiku semakin merosot dalam kesepian.

Malam itu, ketika aku sedang menyiapkan makan malam seadanya di dapur, teleponku berdering. Suara yang sudah lama kutunggu. Nomor yang sangat kukenal. Aku berhenti, bahkan sebelum mengangkatnya. Aku menarik napas dalam-dalam, jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya.

"Mia?"

Suara di seberang sana terdengar sedikit gemetar, namun jelas itu suara yang selama ini menghantui pikiranku. "Asra, aku... ingin bicara."

Kata-kata itu terdengar seperti sebuah jendela yang sedikit terbuka, memberi sinar harapan kecil yang selama ini hanya kulihat dari kejauhan. Aku berusaha tetap tenang, meskipun dada ini terasa sesak. "Tentu. Kapan kau ingin bicara? Aku bisa kapan saja."

Mia terdiam sejenak. Mungkin dia sedang menimbang kata-katanya. Aku menunggu dengan sabar, tak ingin mendesaknya. Dalam satu bulan ini, aku belajar bahwa segalanya membutuhkan ruang—waktu yang cukup untuk bernafas. Akhirnya, Mia menjawab dengan nada yang lebih tegas. "Besok sore. Kita bisa bertemu di tempat biasa."

Tempat biasa? Aku tahu persis yang dia maksud. Sebuah kafe kecil di dekat taman yang sering kami kunjungi di awal pernikahan kami. Di sanalah kami dulu sering duduk bersama, berbicara tentang impian-impian kami, tentang masa depan yang akan kami bangun bersama. Tempat itu penuh kenangan, dan sekarang, Mia memilih tempat itu untuk pertemuan ini. Apakah ini pertanda baik? Atau justru ini adalah pertemuan terakhir kami? Pikiran-pikiran itu berputar di kepalaku, tapi aku tidak berani bertanya. Aku hanya mengangguk, meski dia tidak bisa melihatnya, lalu menjawab pelan, "Baik. Aku akan ada di sana."

Setelah Mia menutup telepon, aku terdiam, merenungkan setiap kata yang baru saja dia ucapkan. Pertemuan ini bisa menjadi awal dari segalanya, atau bisa menjadi akhir yang menutup semua harapan yang tersisa. Tapi apapun itu, aku harus siap.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku berbaring di tempat tidur kami yang kini terasa jauh lebih luas dan dingin tanpa kehadirannya. Aku membayangkan pertemuan besok—apa yang akan dia katakan, bagaimana aku harus menjawabnya. Mungkinkah ini waktunya Mia kembali? Atau mungkinkah dia hanya ingin mengucapkan selamat tinggal secara resmi?

Kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan, sementara hati ini berusaha bersiap menghadapi segala kemungkinan. Besok adalah hari yang sangat penting, mungkin yang terpenting dalam hidupku sejauh ini. Jika Mia memutuskan untuk kembali, aku bersumpah akan melakukan apapun untuk memperbaiki hubungan ini, untuk mencintainya lebih baik daripada sebelumnya. Namun, jika dia memutuskan untuk tetap pergi, aku harus siap untuk melepaskannya, meskipun itu terasa seperti menghancurkan sisa-sisa hidupku yang tersisa.

Paginya, aku bangun dengan perasaan yang campur aduk. Bagian dari diriku ingin percaya bahwa ini adalah langkah awal untuk memperbaiki semuanya, tapi aku juga sadar bahwa kenyataan tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Sepanjang hari, aku hampir tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan. Segala yang kulakukan terasa seperti otomatis, tanpa pikiran, tanpa jiwa. Hanya menunggu jam berlalu, menunggu saatnya untuk pergi dan bertemu Mia.

Sore harinya, aku tiba lebih awal di kafe yang kami sepakati. Tempat itu masih sama seperti terakhir kali kami ke sini—meja-meja kayu kecil yang dikelilingi kursi sederhana, jendela besar yang menghadap ke taman, dan aroma kopi yang samar memenuhi udara. Aku duduk di sudut yang dulu sering kami tempati, dan setiap detik terasa seperti penantian yang tak berujung. Tanganku berkeringat, meskipun udara di luar cukup sejuk. Jantungku berdebar kencang, sementara pikiranku melayang ke segala arah.

Ketika pintu kafe akhirnya terbuka, dan aku melihat Mia melangkah masuk, waktu seolah berhenti. Dia tampak berbeda, lebih tenang, tapi juga lebih jauh. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku ragu apakah ini akan menjadi pertemuan yang kuharapkan. Aku berdiri dan menyapanya, tapi suaraku terasa tersangkut di tenggorokan. Mia hanya mengangguk singkat sebelum duduk di hadapanku.

Kami duduk dalam diam sejenak, sebelum akhirnya dia berbicara. "Asra, aku pikir... mungkin sudah waktunya kita bicara serius."

Kata-katanya tajam, tapi tidak berlebihan. Dia tampak tenang, seolah sudah memikirkan ini sejak lama. Aku hanya bisa menatapnya, menunggu dia melanjutkan. Dan dalam hati, aku bersiap untuk mendengar apapun yang akan dia katakan.

Mia duduk di depanku, masih dengan ekspresi yang tenang. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang sulit kutebak. Pikiranku terus berputar, menebak-nebak apa yang akan dia katakan. Apakah ini akhirnya? Ataukah ini sebuah kesempatan baru? Aku merasakan jantungku berdetak begitu keras hingga rasanya bisa terdengar oleh siapa pun yang duduk di dekat kami.

“Mia...” aku mulai, suaraku bergetar, tak kuasa menahan rasa tegang yang menguasai tubuhku. “Aku tahu... aku sudah melakukan banyak kesalahan. Aku menyakitimu, aku menghancurkan kepercayaanmu. Tapi aku bersumpah, aku akan memperbaiki semuanya. Apa pun yang kamu mau, aku akan lakukan.”

Dia menatapku. Tatapan yang dulu dipenuhi cinta kini terlihat penuh kebingungan, seolah dia sendiri tidak yakin dengan apa yang akan dia katakan. Aku tahu aku telah menunggu momen ini selama berbulan-bulan, tapi di saat yang sama, aku merasa takut mendengarnya. Apa pun yang dia katakan akan menentukan masa depan kami.

"Asra..." dia mulai pelan, suaranya lembut namun tegas. "Aku sudah banyak berpikir selama ini, tentang kita, tentang apa yang terjadi. Aku sudah berusaha keras untuk memahami apa yang kamu lakukan, dan aku tahu kamu juga sedang berusaha memperbaiki diri."

Aku menahan napas, menunggu kata-kata berikutnya. Setiap detik terasa seperti selamanya.

“Aku sudah memaafkanmu,” katanya akhirnya, tanpa basa-basi.

Kalimat itu seharusnya membuatku merasa lega, namun kenyataannya, justru membuat dadaku semakin sesak. Memaafkanku? Apakah ini berarti kami akan kembali bersama? Aku menatapnya penuh harapan, mencoba menangkap tanda-tanda baik dari ekspresinya. Namun, wajah Mia tetap tenang, terlalu tenang.

“Tapi,” dia melanjutkan, dan hatiku langsung jatuh. Aku tahu kalimat berikutnya tidak akan mudah didengar. “Aku... aku tidak lagi mencintaimu, Asra.”

Dunia terasa runtuh saat itu juga. Kata-katanya menghantamku lebih keras dari yang pernah kubayangkan. Tidak mencintaiku? Dia sudah memaafkanku, tapi dia tidak lagi mencintaiku? Itu bahkan lebih buruk daripada kemarahan atau kebencian. Aku lebih siap mendengar dia marah atau berteriak, tapi ketenangan dan kepastian dalam suaranya membuatku semakin tak berdaya.

“Apa maksudmu, Mia?” tanyaku pelan, nyaris berbisik. “Kamu sudah memaafkanku, tapi kamu... tidak lagi mencintaiku? Aku tidak mengerti.”

Mia menunduk sejenak, seolah sedang mencari cara yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. Dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Asra, aku tahu kamu berusaha. Aku melihat perubahanmu, dan aku menghargai itu. Tapi... ada sesuatu yang sudah hilang. Sesuatu yang tidak bisa kembali begitu saja.”

“Aku...” Aku mencoba berkata sesuatu, tapi suara itu tersangkut di tenggorokan. Apa yang bisa kukatakan? Aku merasa tersesat, hancur. Selama ini aku berpikir, jika dia memaafkanku, kami bisa memperbaiki semuanya. Kami bisa memulai dari awal. Tapi kenyataannya, tidak sesederhana itu.

“Aku mencintaimu, Mia,” ucapku dengan suara serak. “Aku selalu mencintaimu. Aku tahu aku membuat banyak kesalahan, tapi cinta itu tidak pernah hilang. Aku hanya... tersesat. Tolong, beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi suami yang kamu cintai lagi.”

Mia menatapku dengan mata yang penuh kesedihan. "Asra, cinta itu berubah. Aku tidak bisa memaksakan perasaan yang tidak ada lagi. Aku ingin mencintaimu seperti dulu, aku benar-benar ingin. Tapi setiap kali aku melihatmu, yang kulihat adalah bayangan dari orang yang dulu kusayangi. Kamu bukan orang yang sama lagi. Dan aku pun berubah."

Kata-katanya mengiris hatiku lebih dalam daripada yang bisa kubayangkan. Aku ingin berteriak, memohon padanya untuk tidak meninggalkanku, untuk mencintaiku lagi seperti dulu. Tapi di saat yang sama, aku tahu ada kebenaran di balik kata-katanya. Aku bukan orang yang sama lagi, dan begitu juga Mia. Kami telah melewati terlalu banyak hal, dan hal-hal itu telah merenggut sesuatu yang penting dalam hubungan kami—sesuatu yang tidak bisa dikembalikan begitu saja.

Mia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan, “Aku tidak ingin berbohong padamu, Asra. Aku menghormatimu terlalu banyak untuk melakukan itu. Jadi aku akan jujur. Aku mungkin bisa kembali padamu, kita bisa hidup bersama lagi, tapi cinta yang dulu... mungkin sudah tidak ada. Aku tidak ingin kamu berharap untuk sesuatu yang aku tidak yakin bisa kuberikan lagi.”

Aku terdiam, tak mampu merespons. Hanya suara detak jantungku yang semakin kencang dan perasaan hampa yang memenuhi tubuhku. Selama ini, aku berpikir bahwa usaha keras akan membawanya kembali, bahwa cinta bisa diperbaiki. Namun, kini aku dihadapkan dengan kenyataan pahit: tidak semua cinta bisa diselamatkan.

Aku menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. "Jadi... ini akhirnya?" tanyaku pelan, meskipun aku tahu jawabannya.

Mia menatapku dengan tatapan penuh kepedihan, tapi juga kejujuran yang tidak bisa dipungkiri. "Aku tidak tahu, Asra. Tapi untuk sekarang, aku butuh waktu. Kita berdua butuh waktu untuk menyadari siapa kita yang sebenarnya."

Kata-kata itu menggantung di udara, menyisakan keheningan yang lebih menyakitkan daripada kata-kata apa pun.

Aku menatap Mia, perasaan campur aduk berkecamuk dalam dada. Setelah kata-kata tajam yang dia lontarkan barusan—tentang bagaimana dia sudah memaafkanku tapi tidak lagi mencintaiku—aku merasa tersesat. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, tidak tahu apakah masih ada harapan untuk kami. Tapi kemudian, sesuatu dalam sorot matanya berubah. Tatapan dingin yang sebelumnya menghiasi wajahnya sedikit melunak.

“Asra...” Mia mulai berbicara lagi, kali ini suaranya lebih lembut, seperti ada sedikit kehangatan di sana. Aku menegakkan punggung, berusaha menghirup napas dalam-dalam, berharap ada sesuatu yang baik yang akan dia katakan. “Aku tahu semua ini tidak mudah. Tidak untuk kamu, tidak untuk aku. Tapi aku juga tidak ingin terus-menerus hidup dalam bayang-bayang masa lalu kita.”

Kata-katanya menggantung di udara, membiarkan keheningan yang panjang sebelum dia melanjutkan. Aku bisa merasakan rasa takut dan harapanku bertarung di dalam hati. Mia menatap jauh ke depan, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Lalu... apa maksudmu?” tanyaku perlahan, mencoba memahami ke mana arah pembicaraan ini.

Mia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan berat. “Aku berpikir... mungkin kita bisa mencoba untuk memulai dari awal. Membangun ulang semua yang rusak. Tapi...” Dia terdiam lagi, seakan berusaha mencari kata yang tepat.

“Tapi apa, Mia?” tanyaku tak sabar, jantungku kembali berdetak kencang.

Dia menatapku dengan tatapan penuh pertimbangan, lalu berkata, “Tapi kita harus melakukannya dengan cara yang berbeda. Tidak bisa kembali seperti dulu, karena aku rasa kita berdua sudah terlalu banyak berubah.”

Aku merasa sedikit lega dengan kata-katanya. "Memulai dari awal" adalah ide yang sudah lama kutunggu-tunggu, sesuatu yang selalu kubayangkan dalam benakku. Namun, rasa lega itu bercampur dengan ketidakpastian, karena aku tahu bahwa Mia tidak sepenuhnya yakin akan ini. Aku bisa melihat keraguan dalam tatapannya.

“Kalau itu yang kamu inginkan, aku akan melakukan apa saja,” kataku cepat, mungkin terlalu cepat. Aku tidak ingin membuang kesempatan ini, meskipun itu berarti kami harus mulai dari awal lagi. “Kita bisa melakukannya, Mia. Aku yakin kita bisa.”

Mia tersenyum tipis, senyum yang nyaris tak terlihat. “Asra, aku tidak ingin kamu berpikir bahwa ini akan mudah. Karena tidak akan. Kita berdua harus bekerja keras, lebih keras dari sebelumnya. Dan kita harus mulai dari dasar.”

“Aku mengerti,” jawabku cepat, penuh antusiasme. "Aku siap untuk itu."

Mia menggeleng perlahan, seakan meredam semangatku yang tiba-tiba. “Kamu tidak sepenuhnya mengerti, Asra. Ini bukan hanya soal kamu yang berubah. Aku juga perlu waktu untuk menemukan diriku sendiri lagi, untuk memahami apakah cinta itu masih ada atau tidak. Dan... aku belum siap untuk langsung kembali ke rumah kita.”

Hatiku langsung terasa seperti jatuh ke jurang. Belum siap kembali? Jadi, meskipun kami akan mencoba lagi, Mia masih belum mau pulang bersamaku?

“Maksudmu... kamu tidak akan pulang sekarang?” tanyaku, mencoba memahami apa yang dia maksud.

Mia menatapku dengan penuh kejujuran. “Tidak sekarang, Asra. Aku butuh waktu. Kita butuh waktu untuk benar-benar memahami apa yang kita inginkan. Aku tidak mau terburu-buru dan kemudian mengulang kesalahan yang sama.”

“Tapi kita bisa mulai dari sekarang, kan?” Aku mencoba mencari celah, mencari cara untuk membawa Mia kembali, meskipun hatiku sudah memahami jawabannya. “Kamu bisa pulang, dan kita bisa memulai dari sana. Aku berjanji akan bersabar. Aku tidak akan memaksakan apa pun.”

Mia tersenyum pahit. “Asra, aku tahu kamu ingin itu. Aku juga ingin kita berhasil. Tapi untuk sekarang, aku rasa aku perlu waktu sendiri. Aku harus berada di tempat di mana aku merasa aman, bersama keluarga. Setidaknya sampai aku benar-benar siap untuk kembali.”

Aku menatapnya dengan perasaan hancur. Mia benar-benar tidak ingin pulang bersamaku. Namun, aku tahu bahwa memaksa dia hanya akan memperburuk keadaan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku.

“Aku mengerti,” kataku akhirnya, meskipun hati ini menolak sepenuhnya menerima. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku siap kapan pun kamu merasa siap untuk pulang.”

Mia mengangguk pelan. “Aku tahu, Asra. Dan aku menghargai itu.” Dia meremas tanganku sebentar, lalu melepaskannya. “Ini semua butuh waktu. Jangan berpikir kita bisa langsung kembali seperti dulu.”

Aku menatap tangannya yang baru saja melepasku, merasakan kehilangan yang begitu dalam. Tapi aku tahu dia benar. Kami berdua telah berubah, dan hubungan kami tidak bisa kembali seperti dulu. Jika ingin berhasil, kami harus membangun kembali, satu demi satu langkah. Tapi meskipun aku mengerti, rasa hampa itu tetap menyakitkan.

“Jadi... kita benar-benar akan mencoba lagi?” tanyaku dengan hati-hati, seolah takut dia akan menarik kata-katanya.

Mia menatapku dan untuk pertama kalinya, aku melihat secercah harapan dalam matanya. “Ya, kita akan mencoba. Tapi jangan berharap segalanya akan mudah.”

Aku tersenyum tipis, penuh harapan meski masih ragu. “Aku siap melakukan apa saja, Mia. Apa pun yang kamu butuhkan, aku akan ada di sana.”

Dia tersenyum kembali, kali ini sedikit lebih tulus. “Baiklah, kita lihat nanti, Asra. Aku harap kamu benar-benar siap.”

Kami terdiam sejenak, masing-masing terbenam dalam pikiran kami sendiri. Aku tahu bahwa jalan yang ada di depan kami tidak akan mudah, dan masih ada kemungkinan kami tidak akan pernah benar-benar kembali seperti dulu. Tapi aku juga tahu bahwa untuk pertama kalinya, ada harapan—meski kecil, itu lebih dari yang kumiliki selama ini.

“Terima kasih, Mia,” ucapku akhirnya. "Terima kasih karena memberiku kesempatan ini."

Mia hanya mengangguk pelan, dan meskipun keheningan masih menyelimuti kami, ada sesuatu yang berubah. Ada kesempatan. Itu saja sudah cukup bagiku untuk saat ini.

Keheningan di antara kami terasa lama dan berat. Aku masih berusaha mencerna kata-kata terakhir Mia—tentang bagaimana kami akan mencoba lagi, dengan segala syarat dan batasan yang baru saja dia tetapkan. Ada secercah harapan, kecil tapi cukup untuk membuatku menggenggam harapan itu erat-erat. Tapi saat aku mulai merasa sedikit tenang, Mia mengalihkan pandangannya, menatapku sejenak, lalu dengan nada hati-hati, dia berkata, “Ada satu hal lagi, Asra.”

Nada suaranya membuat perutku berputar, seolah ada sesuatu yang buruk akan diungkapkannya. Aku menatapnya, mencoba menahan napas, berharap apa pun itu tidak akan mengguncang diriku lagi. “Apa itu?” tanyaku pelan, takut mendengar jawabannya.

Mia menggigit bibir bawahnya, tanda bahwa apa yang hendak dia katakan sangat serius. Dia menatapku dengan mata yang berkilau, entah karena emosi atau karena kerapuhan yang coba dia sembunyikan. “Sebelum aku benar-benar kembali... aku ingin bertemu dengan Dara.”

Kata-katanya seperti petir yang menyambar tanpa peringatan. Aku tertegun, menatapnya dengan pandangan kosong. “Apa?” tanyaku, mencoba memastikan bahwa aku tidak salah dengar. Pikiranku berputar cepat, mencoba mencerna arti dari permintaannya.

“Dengan Dara,” ulangnya, kali ini dengan lebih jelas. “Aku ingin bertemu dengannya.”

Jantungku serasa berhenti berdetak. Nama itu—Dara—sekali lagi muncul di antara kami, membawa beban yang tidak pernah kuharapkan. Segala perasaan yang dulu kupikir telah kulupakan, semua kenangan buruk yang kupikir telah terkubur dalam-dalam, kini kembali menghantamku. Dadaku terasa sesak, dan tiba-tiba ruangan ini terasa terlalu kecil, seolah-olah dindingnya menekan, membuatku sulit bernapas.

“Kenapa?” tanyaku pelan, hampir berbisik. Rasanya seperti kata-kata itu memaksakan diri keluar dari tenggorokanku yang tercekat. “Kenapa kamu ingin bertemu dengan Dara?”

Mia menatapku dengan penuh ketenangan, meskipun aku bisa melihat bahwa di balik itu, ada banyak hal yang dia coba tahan. “Aku butuh tahu, Asra,” katanya akhirnya. “Aku butuh tahu siapa dia. Aku butuh melihat sendiri orang yang hampir menghancurkan kita.”

Aku terdiam. Tentu, dari sudut pandangnya, itu masuk akal. Tapi aku tidak siap untuk ini. Aku tidak pernah membayangkan, tidak pernah sekalipun terpikir bahwa Mia akan meminta hal seperti ini. Membayangkan mereka berdua—Mia dan Dara—bertemu, berbicara, mungkin saling menatap penuh penilaian, adalah skenario terburuk yang bisa kubayangkan.

“Mia, itu... itu tidak perlu. Dara tidak ada hubungannya lagi dengan kita sekarang,” kataku dengan suara serak, berusaha membujuknya. “Dia sudah pergi. Hubungan kita tidak ada kaitannya lagi dengannya. Kita hanya butuh fokus pada kita, pada keluarga kita.”

Mia menggeleng pelan. “Justru karena itulah aku ingin bertemu dengannya, Asra. Karena aku perlu memastikan bahwa aku benar-benar bisa melupakan semuanya. Aku harus mendengar darinya... langsung. Jika aku tidak melakukannya, aku tidak yakin aku akan bisa benar-benar melanjutkan hidup.”

Aku tahu dia serius. Mia selalu menjadi tipe yang harus memahami sesuatu secara menyeluruh sebelum bisa benar-benar melepaskannya. Tapi tetap saja, permintaannya ini terlalu berat bagiku. Bayangan Dara kembali menghantui pikiranku—wanita yang sudah kusakiti dan, dalam prosesnya, menghancurkan rumah tanggaku sendiri. Apa yang bisa Mia harapkan dari pertemuan itu? Apakah ini semacam bentuk penutupan baginya? Atau apakah dia hanya ingin memastikan bahwa Dara tidak lagi menjadi ancaman bagi hubungan kami?

“Aku tidak yakin ini ide yang bagus,” gumamku, mencoba tetap tenang meski hatiku sedang kacau. “Aku takut ini justru akan membuat semuanya lebih rumit.”

Mia menatapku lama, seolah mempertimbangkan kata-kataku. “Aku paham, Asra. Tapi ini bukan tentang kerumitan. Ini tentang aku, tentang kita. Aku ingin pulang, Asra. Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Tapi sebelum itu, aku harus memastikan bahwa tidak ada lagi sisa-sisa masa lalu yang menghantui kita.”

Aku ingin memprotes lebih keras, ingin mengatakan bahwa ini gila. Bahwa Dara sudah tidak ada hubungannya dengan kami, bahwa ini hanya akan membuka luka lama. Tapi di sisi lain, aku bisa melihat di mata Mia bahwa ini penting baginya. Sangat penting. Dan aku? Aku sudah terlalu banyak mengecewakan Mia. Mungkin, jika ini yang dia butuhkan untuk benar-benar bisa memaafkanku, aku harus membiarkannya.

“Apa yang akan kamu katakan padanya?” tanyaku, suaraku bergetar. “Apa yang kamu inginkan dari pertemuan itu?”

Mia mengangkat bahu. “Aku tidak tahu pasti. Mungkin hanya ingin mendengarnya langsung darinya. Aku butuh melihat apakah ada yang tersisa antara kalian, atau apakah semuanya sudah benar-benar selesai.”

Kata-kata itu menusukku dalam. Apakah Mia masih meragukanku? Atau ini lebih tentang dirinya sendiri? Apa pun alasannya, aku tahu bahwa ini adalah sesuatu yang tidak bisa kutolak begitu saja. Aku hanya bisa berharap bahwa apa pun yang terjadi setelah pertemuan itu, tidak akan menghancurkan sisa-sisa harapan yang kami punya.

“Aku... akan coba mengerti, Mia,” kataku akhirnya, meskipun hatiku belum sepenuhnya setuju. “Tapi... tolong. Jangan biarkan ini membuat kita semakin jauh.”

Mia tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Aku tidak berniat begitu, Asra. Aku hanya ingin memastikan kita benar-benar bisa melangkah maju.”

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Pertemuan dengan Dara, bagaimana pun, adalah hal yang paling kutakuti. Tapi jika itu satu-satunya jalan bagi Mia untuk benar-benar bisa memaafkanku, aku harus menempuhnya. Meski jiwaku terasa semakin rapuh, aku akan tetap berusaha menggenggam sisa-sisa kepercayaan yang masih ada.

---

Lihat selengkapnya