Pagi datang perlahan, bersama sinar matahari yang menerobos tipis lewat tirai jendela kamar rumah sakit. Aku masih duduk di kursi yang sama, mataku terasa berat karena terjaga semalaman. Ada saat-saat di mana aku hampir tertidur, tapi kemudian pikiran tentang Mia, Dara, dan semua kekacauan ini menyeretku kembali ke kesadaran. Setiap detik, aku menunggu Dara terbangun, berharap dia akan segera sadar dan aku bisa bicara dengannya. Namun, di saat yang sama, aku takut akan apa yang mungkin akan dia katakan.
Aku mendengar suara kecil dari tempat tidur. Dara bergerak pelan, tubuhnya mulai sadar dari tidur panjangnya. Matanya terbuka perlahan, menyipit terkena cahaya pagi yang baru saja masuk. Dia terlihat lelah, lebih lelah dari yang pernah kulihat. Ada guratan kesakitan di wajahnya, bukan hanya fisik, tapi juga sesuatu yang lebih dalam.
“Pagi, Dara,” sapaku lembut, suaraku serak karena kurang tidur.
Dia menoleh padaku, mata kami bertemu. Ada jeda sejenak sebelum dia merespons. “Asra…,” katanya pelan, hampir berbisik.
Aku menggeser kursiku lebih dekat ke tempat tidurnya, menatapnya penuh harap, tapi juga dengan hati-hati. “Kamu baik-baik saja?” tanyaku, mencoba terdengar setenang mungkin. Tapi di balik itu, aku sangat gelisah.
Dara mengangguk pelan, tapi tidak menatapku lagi. Matanya kosong, pandangannya lurus ke depan, seolah dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada keheningan yang memanjang di antara kami, sebuah kesunyian yang menggantung di udara, membebani dadaku. Aku tidak ingin memaksa, tidak ingin memulai pembicaraan yang berat tanpa dia siap. Jadi aku menunggu.
Akhirnya, dia menarik napas panjang, dan bibirnya bergetar sedikit sebelum mengeluarkan kata-kata. “Aku... minta maaf, Asra.” Kalimatnya terputus-putus, tersendat di antara emosi yang jelas masih bergolak di dalam dirinya.
Aku diam, memberinya ruang untuk melanjutkan, meskipun setiap detik keheningan itu menambah beban di dadaku.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana... Tapi...” Suaranya kembali terputus. Dia menundukkan kepala, tampak malu dan hancur pada saat yang sama. "Ini semua terlalu berat. Aku... aku benar-benar menyesal."
Aku meremas tanganku, mencoba meredakan getaran di dalam diriku. "Dara...," bisikku, suaraku serak. "Apa yang sebenarnya kamu rasakan? Apa yang ingin kamu lakukan?"
Dara mengangkat kepalanya sedikit, menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku tidak bisa terus begini, Asra. Aku tahu, kita... kita sudah terlalu jauh. Ini semua salah. Salah sejak awal."
Aku tetap diam, membiarkan dia melanjutkan.
"Aku tidak bisa kembali seperti dulu. Bukan hanya soal kita... tapi tentang semuanya." Dia menelan ludah, seolah mencoba menelan kenyataan yang berat itu. "Aku harus pergi. Aku akan pindah. Mulai dari awal... tapi kali ini, sendiri."
Aku memandangnya tanpa bisa berkata apa-apa, otakku berusaha mencerna apa yang baru saja dia katakan. “Sendiri?” tanyaku, meskipun aku sudah tahu jawabannya.
Dara mengangguk, air mata mulai mengalir di pipinya. “Ya, Asra... aku akan membesarkan anak ini sendiri. Aku tidak bisa menyeretmu lebih jauh. Aku tidak bisa terus begini, hidup dalam bayangan kesalahan kita. Aku ingin anakku punya kehidupan yang tenang... tanpa harus tahu apa yang telah kita lakukan.”
Kata-katanya menghantamku seperti badai yang tiba-tiba muncul di tengah lautan tenang. Anak... aku ingat kembali kata-kata dokter kemarin. Dara hamil. Dan sekarang, dia mengatakan bahwa dia akan membesarkannya sendiri, tanpa aku. Hatiku terasa seperti ditikam, perlahan tapi pasti.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi yang keluar hanyalah gumaman tak jelas. “Dara, aku... aku tidak tahu harus berkata apa.”
Dia menatapku dengan pandangan yang penuh kesedihan. “Tidak ada yang bisa kamu katakan, Asra. Aku tahu ini tidak adil, tapi ini yang terbaik. Aku tidak ingin anak ini tumbuh dengan melihat kebohongan di sekitarnya. Aku tidak ingin dia tahu... bahwa kita pernah melakukan kesalahan sebesar ini.”
Aku hanya bisa menunduk, rasa bersalah yang selama ini menyelimutiku semakin membesar. Aku tahu, aku tidak bisa memaksa Dara untuk tetap bersamaku. Tidak setelah semua yang terjadi. Tapi di saat yang sama, aku merasa terjebak dalam jebakan yang aku ciptakan sendiri. Ini adalah tanggung jawabku, anak ini adalah bagian dari diriku juga. Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkannya begitu saja?
“Dara...,” kataku pelan, suaraku hampir tenggelam dalam keheningan kamar itu. “Apa kamu yakin? Aku tidak ingin kamu merasa sendirian. Jika kamu butuh bantuan, aku akan selalu ada untuk kalian.”
Dia tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan kelelahan dan kepedihan. “Aku yakin, Asra. Aku tidak bisa melibatkanmu lebih jauh. Aku butuh waktu untuk merapikan hidupku, dan aku ingin melakukannya tanpa membebani orang lain. Ini... bukan salahmu sepenuhnya. Kita sama-sama terjebak.”
Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku masih bergejolak. Aku tahu bahwa tidak ada yang bisa kukatakan untuk mengubah keputusannya. Mungkin, ini adalah jalan yang harus kami tempuh. Mungkin, ini adalah hukuman atas semua yang telah terjadi.
Dara menggerakkan tubuhnya pelan, seolah mencoba mengumpulkan kekuatan yang tersisa. Ketika pandangannya bertemu denganku, ada tatapan penuh pertanyaan di wajahnya. Aku tahu, dia pasti merasa ada sesuatu yang belum dia ketahui. Aku hanya menunggu, mencoba memberi ruang, karena aku sendiri masih belum siap untuk berbicara lebih banyak. Bagaimana caranya aku menjelaskan semua yang baru saja terjadi?
“Apa yang terjadi setelah aku pingsan?” suaranya terdengar pelan, hampir tak terdengar di ruangan yang sunyi itu. “Bagaimana dengan Mia?”
Aku meremas tanganku erat-erat, seolah itu bisa membantu menahan rasa berat yang kembali menghantam dadaku. Jeda sejenak terasa lama, aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan yang memang tak bisa kuhindari. “Mia... dia pergi.” Suaraku terdengar lebih lemah dari yang kuduga. “Setelah dokter bilang tentang... kehamilanmu, dia tidak bisa terima. Dia... dia lari keluar, dan aku—aku tidak tahu harus mengejarnya atau tetap di sini. Akhirnya, aku mencoba mengejarnya, tapi dia sudah terlalu jauh.”
Dara menutup matanya lagi, menghela napas panjang yang terdengar berat. “Aku minta maaf, Asra,” katanya pelan, nyaris berbisik. “Ini semua... salahku juga. Seharusnya aku tidak pernah membiarkan ini terjadi. Aku tahu aku salah.”
Aku hanya menggelengkan kepala meski dia tidak melihatnya. “Dara, ini bukan hanya salahmu. Kita berdua yang terjebak dalam situasi ini. Kamu tidak perlu menanggung semua beban sendiri.”
Namun, aku tahu betapa beratnya situasi ini untuk Dara. Untuk Mia. Dan bagiku, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak ada habisnya. Hanya saja, aku belum sepenuhnya memahami seberapa dalam luka yang telah kutorehkan, baik pada diriku sendiri maupun pada orang-orang yang paling berarti dalam hidupku.
Dara mengusap wajahnya, berusaha mengendalikan perasaannya. “Mia pasti sangat terluka,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Aku tak bisa membayangkan apa yang dirasakannya. Dia tak pantas mendapatkan ini.”
Aku mengangguk lemah. “Aku tahu. Aku... aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang. Dia sangat marah, dan aku—aku hanya bisa melihatnya lari tanpa bisa menghentikannya.”
“Dan kamu memilih tetap di sini... untukku?” tanya Dara dengan nada lirih, matanya menatapku seolah berusaha mencari sesuatu di dalam diriku.
“Ya,” jawabku dengan suara pelan. “Aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja. Setelah apa yang terjadi... aku tidak bisa.”
Namun, Dara hanya menggeleng pelan, tampak semakin bersalah. “Asra, kamu seharusnya mengejarnya. Kamu harus ada di sisinya. Aku... aku hanya bagian dari masalah ini. Mia adalah istrimu. Dia butuh kamu sekarang.”
Kata-katanya menghujamku dalam. Aku tahu dia benar. Dara benar-benar mengerti situasi ini, meski dia sendiri terjebak di dalamnya. Tapi tetap saja, bagaimana aku bisa meninggalkannya setelah semua yang terjadi? Aku merasa bertanggung jawab atas keadaannya, atas kehamilannya. Meski Dara terus mengatakan bahwa dia ingin membesarkan anak ini sendirian, rasa bersalah itu tetap membakar di dalam diriku.
“Aku tidak tahu apakah Mia masih mau melihatku, apalagi mendengarkanku,” kataku, suaraku serak. “Aku sudah terlalu banyak menghancurkan hatinya, Dara.”
Dara menatapku dalam-dalam, ada ketegasan di matanya yang jarang kulihat. “Kamu harus mencoba, Asra. Kamu harus pergi sekarang, temui Mia. Jelaskan padanya, atau setidaknya, mintalah maaf. Dia berhak mendapatkan penjelasan darimu.”
Aku hanya bisa diam, terperangkap dalam pikiranku sendiri. Di satu sisi, aku tahu Dara benar. Aku harus menghadapi Mia, apa pun yang terjadi. Tapi di sisi lain, rasa bersalah itu terus membebani, dan aku takut bahwa aku sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki semuanya. Apakah Mia bahkan mau mendengarkanku? Setelah apa yang dia dengar kemarin, bagaimana dia bisa mempercayaiku lagi?
“Aku tidak bisa meninggalkanmu begini, Dara,” ucapku akhirnya. “Kamu butuh seseorang di sini.”
Dara menggeleng pelan, memberikan senyuman tipis yang penuh kesedihan. “Aku baik-baik saja. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Yang penting sekarang adalah Mia. Pergilah, temui dia. Aku tahu dia juga sedang menunggumu. Kamu tahu itu.”
Aku menatapnya lama, tidak yakin harus berkata apa. Kata-katanya benar-benar mengguncang hatiku. Meski situasi ini adalah kesalahan kami berdua, Dara tidak pernah berhenti memikirkan Mia. Dia bahkan menempatkan kepentingan Mia di atas dirinya sendiri. Dan itu membuatku merasa semakin kecil, semakin tidak layak.
“Aku... aku akan coba menemui Mia,” kataku pelan, dengan napas berat. “Tapi aku tidak tahu apakah ini akan memperbaiki segalanya. Aku takut, Dara.”
Dara menatapku dengan kelembutan yang aneh. “Kamu harus berani, Asra. Apa pun yang terjadi, kamu harus menghadapi konsekuensinya.”
Aku bangkit perlahan, menatapnya untuk terakhir kalinya sebelum benar-benar memutuskan untuk pergi. “Terima kasih, Dara,” kataku akhirnya, dengan suara nyaris berbisik.
Dia hanya mengangguk, memberikan senyuman lemah yang penuh dengan rasa bersalah. “Pergilah. Temui Mia. Dan selesaikan ini.”
Aku mengangguk, lalu berjalan menuju pintu. Tapi sebelum benar-benar pergi, aku berhenti sejenak, menoleh kembali ke arah Dara yang sekarang duduk sendirian di atas tempat tidur rumah sakit itu. Aku merasa ada banyak hal yang belum terucap, ada banyak perasaan yang masih tersisa di antara kami, tapi aku tahu bahwa sekarang bukan waktunya.
Dan dengan berat hati, aku keluar dari ruangan itu, menuju dunia yang penuh dengan ketidakpastian.
---
Langkah kakiku cepat, seolah-olah aku bisa melarikan diri dari rasa bersalah yang terus membebani dadaku. Tak ada waktu untuk berpikir panjang. Aku harus menemui Mia. Sekarang.
Setiap detik yang berlalu membuatku semakin cemas. Wajah Mia yang penuh dengan rasa sakit saat dia berlari meninggalkanku terus menghantuiku. Aku tak tahu bagaimana aku bisa membantah atau menjelaskan segalanya, tapi aku tahu satu hal: aku harus mencoba.
Tak lama, aku sampai di depan rumah keluarga Mia. Rumah yang pernah terasa hangat dan penuh cinta, sekarang tampak seperti benteng dingin yang memisahkan aku dari wanita yang kucintai. Aku berdiri di sana, menatap pintu rumah yang tertutup, berusaha mengumpulkan keberanian. Ini bukan pertama kalinya aku datang ke sini, tapi rasanya berbeda. Ada jarak yang tak terlihat, yang entah kapan mulai tumbuh.
Dengan napas berat, aku mengetuk pintu. Ketukan tanganku terdengar seperti dentuman keras di telingaku sendiri, meski aku berusaha menjaga ketenangan. Hatiku berdegup kencang, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang jauh lebih berat dari sekadar pertemuan biasa.
Pintu terbuka, tapi bukan Mia yang berdiri di sana. Ayahnya yang muncul, dengan raut wajah yang lebih keras dari yang pernah kulihat sebelumnya. Matanya menatapku tajam, seolah dia sudah tahu semua yang terjadi, dan seolah dia sudah siap dengan apa yang ingin dikatakannya. Rasa gugupku semakin menjadi, dan aku merasa seperti anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan besar.
“Pak...” suaraku nyaris tak keluar, suaraku goyah, penuh ketidakpastian.
Tanpa basa-basi, Ayah Mia langsung berbicara dengan nada dingin. “Apa yang kamu lakukan di sini, Asra? Belum cukup kamu menghancurkan hidup anakku?”
Kata-katanya menusuk hatiku seperti pedang. Aku mengatupkan rahangku, mencoba menahan diri, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan diriku. Tapi aku tak punya jawaban yang layak. Tak ada alasan yang bisa kuucapkan untuk memperbaiki semua ini.
“Saya... saya ingin bicara dengan Mia, Pak,” jawabku, mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang, meski dalam hati aku sudah hancur lebur. “Saya harus meminta maaf, dan—”
“Kamu pikir permintaan maaf bisa memperbaiki semua ini?” potongnya, suaranya semakin keras. “Apa kamu tahu seberapa besar sakit hati yang kamu berikan padanya? Dia menderita karena kamu. Anak kami, cucu kami, masa depannya hancur karena ulahmu!”
Aku menunduk, merasa semakin kecil di hadapannya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya mengingatkanku pada setiap kesalahan yang sudah kulakukan. Aku ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa aku sedang berusaha berubah, tapi aku tahu, tak ada kata-kata yang bisa benar-benar memperbaiki situasi ini.
“Pak, saya... saya hanya ingin Mia kembali. Saya mencintainya, dan saya ingin memperbaiki semuanya,” kataku lirih. Tapi kata-kataku terasa hampa, seolah tak ada bobot yang cukup untuk meyakinkan siapa pun, termasuk diriku sendiri.
Ayah Mia menggeleng dengan tegas. “Cinta? Kamu sebut ini cinta? Cinta tidak menghancurkan seperti ini, Asra. Cinta itu menjaga, bukan menyakiti. Kamu sudah merusak kepercayaan Mia, dan sekarang, kamu tidak pantas untuk meminta dia kembali.”
Aku bisa merasakan amarah yang tertahan di setiap kata-katanya. Setiap kalimat terasa seperti tamparan keras yang membawaku semakin jauh dari Mia. Aku merasa tubuhku bergetar, bukan hanya karena rasa takut atau marah, tapi karena aku tahu dia benar. Aku sudah melakukan hal yang tak termaafkan.
Kemudian, suara Ayah Mia menjadi lebih tenang, tapi jauh lebih mengancam. “Kami sudah memikirkan ini, Asra. Yang terbaik untuk Mia adalah kamu menceraikannya.”
Kata-kata itu menghantamku seperti pukulan yang tak terduga. Ceraikan Mia? Aku bahkan tidak bisa membayangkan hidup tanpanya, tapi sekarang orangtuanya memintaku melakukan hal yang paling berat. Sesaat aku terdiam, kehilangan kata-kata, seolah-olah seluruh dunia di sekitarku terhenti.
“Pak, saya... saya tidak bisa,” bisikku, nyaris tak percaya dengan permintaannya. “Saya tidak bisa menceraikan Mia. Saya ingin memperbaiki semua ini.”
Ayah Mia mendengus sinis. “Memperbaiki? Apa yang kamu harapkan bisa diperbaiki setelah semua ini? Kamu sudah menghancurkan semuanya. Tidak ada yang tersisa untuk diperbaiki.”
Aku menunduk, mencoba menahan emosi yang mulai mendesak keluar. Ada rasa putus asa yang perlahan mengambil alih diriku. Aku tahu aku sudah berbuat salah, dan sekarang aku dihadapkan pada kenyataan bahwa mungkin memang tak ada jalan kembali.
“Kami tidak akan membiarkan Mia terus terluka,” lanjut Ayah Mia. “Jika kamu benar-benar peduli padanya, kamu akan menceraikannya. Biarkan dia melanjutkan hidup tanpa kamu. Itu satu-satunya cara untuk dia bisa bahagia.”
Aku merasa dadaku sesak, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menghimpitku. Kata-katanya benar-benar menancap dalam di pikiranku. Aku ingin mengatakan bahwa aku masih bisa berubah, bahwa aku bisa menjadi suami yang lebih baik. Tapi bisakah aku benar-benar melakukannya? Setelah semua yang terjadi, bisakah Mia mempercayai aku lagi?
Ayah Mia menatapku tajam, menunggu jawabanku, tapi aku masih terdiam. Di dalam hati, aku tahu dia punya hak untuk marah, untuk melindungi anaknya. Tapi rasa bersalah dan ketakutan membuatku sulit menemukan jalan keluar.
Akhirnya, dengan suara yang lemah, aku hanya bisa berkata, “Saya akan bicara dengan Mia. Saya akan membiarkan dia yang memutuskan.”
“Bagus,” katanya tegas. “Tapi jika Mia memutuskan untuk berpisah, kamu harus menghormati keputusannya. Jangan memperburuk hidupnya lagi.”
Aku mengangguk pelan, tak mampu membalas.
Pintu rumah terbuka lagi, tapi kali ini bukan Mia yang muncul. Ibunya berdiri di sana dengan wajah yang tampak lembut, tapi aku tahu, di balik ekspresi tenangnya, ada amarah yang terpendam. Di tangannya, dia membawa bayi kami. Anak yang selama ini hanya bisa kubayangkan dalam keheningan, sekarang ada di hadapanku.
Aku menelan ludah, berusaha menemukan suara, tapi tak ada kata yang keluar. Pandanganku tertuju pada bayi kecil itu, yang tampak begitu rapuh dalam pelukan Ibunya. Rasanya seperti jarak di antara kami yang begitu dekat, tapi pada saat yang sama, terasa sangat jauh.
“Boleh... boleh aku bicara dengan Mia?” tanyaku pelan, suaraku bergetar.
Ibu Mia menghela napas panjang, menatapku dengan tatapan yang sulit dijabarkan. “Mia tidak ingin bertemu denganmu sekarang, Asra,” katanya akhirnya. “Dia masih butuh waktu.”
Perasaanku jatuh. Aku mencoba menyembunyikan kekecewaanku, tapi sulit. Aku sudah datang sejauh ini, berharap bisa memperbaiki sesuatu, tapi ternyata Mia masih belum siap. Dan bagaimana bisa aku menyalahkannya? Luka yang kubuat terlalu dalam.
Aku menatap bayi itu lagi, perasaan ingin mendekat semakin kuat. Meskipun rasa bersalah masih mendominasi hatiku, di lubuk hati yang paling dalam, aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupnya.
Ibu Mia melihat tatapanku, dan tanpa banyak bicara, dia menyerahkan bayi itu kepadaku. Aku nyaris tak percaya saat dia meletakkannya dengan hati-hati ke dalam pelukanku. Tanganku gemetar saat aku menyambutnya, dan ketika aku akhirnya bisa menggendongnya, dunia seakan terhenti.
Rasanya seperti sebuah momen yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bayi kami... anakku, ada di sini, di tanganku. Kecil, hangat, dan tenang. Dia tak tahu apa-apa tentang semua kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Dia tak tahu betapa hancurnya dunia kedua orangtuanya. Yang dia tahu hanyalah kenyamanan dalam pelukan ini.
Aku menatapnya dalam-dalam, berusaha mengingat setiap detail wajah mungilnya. Napasnya lembut, bergerak pelan seiring detak jantungnya yang kecil. Waktu seakan melambat, dan untuk sesaat, semua rasa sakit, semua kesalahan, terasa jauh. Hanya ada aku, dan anak ini.
Tapi momen itu terlalu singkat. Ibu Mia, yang sudah memberiku waktu untuk merasakan keajaiban itu, akhirnya bicara lagi.
“Kembalikan dia, Asra,” katanya pelan, tapi tegas.
Aku menghela napas berat. Setiap serat di tubuhku ingin mempertahankannya lebih lama, tapi aku tahu aku harus menyerahkan kembali. Perlahan-lahan, aku memberikan bayi itu kembali ke pelukan Ibunya. Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, meskipun hanya untuk sementara.
“Dia sangat mirip dengan Mia,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri.
Ibu Mia mengangguk, matanya menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ya, dia sangat mirip Mia. Tapi, Asra... dia juga butuh ayah yang bisa diandalkan. Seorang ayah yang bisa ada untuknya, bukan hanya sesekali muncul dan menghilang.”
Aku menunduk, merasa malu dengan kebenaran yang diucapkannya. Aku ingin berkata bahwa aku akan berusaha, bahwa aku ingin menjadi ayah yang baik untuk anak kami. Tapi apa gunanya kata-kata itu jika aku tak mampu membuktikannya? Aku sudah mengecewakan semua orang di hidupku, termasuk bayi ini.