Tidak ada luka dan penderitaan yang benar-benar membuat manusia tak berdaya, kecuali karena hasrat mencintai— (Tiwi Kasavela)
Jakarta, 16 Juli 2014
Kesepian dan kesedihan rasanya tidak bisa lepas kemanapun
Gefi pergi. Seperti malam ini, ia tidak bisa tidur meskipun waktu sudah hampir menjelang dini hari. Ia hanya mampu terdiam gusar menatap gugusan malam yang dingin, sunyi sekaligus menggelisahkan.
Gefi merasa menjadi perempuan bodoh, hanya mampu menyerah dalam diam, menuju kandas yang berakhir dalam kepasrahan.
Sudah begitu lama ia berada di sini, di sebuah keadaan yang membuatnya terus menyendiri bersama sepi dan kepedihan.
“Aku hampa,” bisik hati Gefi nyeri.
“Aku terluka,” lanjutnya, merasakan hasrat yang selama ini ia pendam.
“Aku menderita,” sahut hatinya lagi, seakan gusar menahannya untuk tenang.
Sayangnya, semua keluh ini hanya bisa ia katakan sendiri. Keluh yang ada dalam timbunan rasa sakit, karena ia akan berpisah dari laki-laki yang ia cintai. Menjauhkan diri dalam upaya melupakan, dengan harapan ia akan tumbuh menjadi perempuan dewasa yang jauh dari kegalauan cinta.
Setelah lulus dari seragam abu-abu, Gefi memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Ia akan memulai hidup baru dengan suasana, kebiasaan dan orang-orang baru. Hal ini bukanlah sebuah keputusan yang mudah. Walau bagaimana pun ada seseorang yang selama ini selalu menahannya untuk tidak ingin pergi.
Ian, nama laki-laki itu terbesit lagi di benaknya. Berkali-kali jatuh cinta kepada orang yang sama, namun dengan akhir yang serupa. Patah hati yang semakin lama semakin parah.
Jika ia bisa memilih, tentu ia berharap agar tidak pernah jatuh cinta kepada Ian. Sebab rasa bahagia yang terkadang menghampirinya, tak sebanding dengan rasa sakit yang harus dia derita.
Rasa sedih yang menahun, namun tetap hidup di dalam jiwanya.
Dan kini ia ingin pergi, melupakan gambaran dirinya yang kelam.
Tapi menjelang kepergiannya, entah kenapa rasanya tidak ada yang berbeda. Tidak ada semangat ataupun kebahagiaan.
Masih saja sama, Gefi tetap gelisah.
Bahkan ia takut, bahwa keputusannya untuk pergi adalah hal yang tak seharusnya ia lakukan. Sebab mulai kini ia akan belajar melupakan masa lalunya, dan melupakan Ian yang sangat dicintainya.
Tentu saja Gefi tidak punya pilihan, karena selama Ian ada di dalam pandangannya, rasa cinta itu akan terus tumbuh bergelora.
***
20 Juli 2014
Gefi masih terduduk membisu di halaman belakang rumah, pikirannya tidak jelas, lagi-lagi rasa hampa itu datang lagi menyusupi sanubarinya. Teringat perkataan seorang psikolog yang ia datangi kemarin sore.
“Pergilah, cari laki-laki lain. Kamu cantik dan seorang gadis yang baik hati Gefi. Saya yakin kamu akan segera menemukan laki-laki yang lebih layak untuk kamu cintai dari pada calon suami kakakmu,” kira-kira itulah yang disampai-kan oleh dr. Dianne.
Gefi menghela nafasnya panjang, menahan air mata yang hampir menetes.
“Hi Gefi, are you okay?” ucap seseorang membuyarkan lamunannya.
Ah itu Ian, dan lagi-lagi Gefi sering kali tidak menyadari bahwa ada seseorang di sekitarnya, karena ia terlalu banyak melamun.
Ian berdiri didekatnya, menampilkan wajah dan sorot mata yang tidak pernah berubah.
“Hmm, kapan kamu datang?”
“Barusan, tadi aku mencari Dita tapi dia tak ada, kamu tahu dia pergi kemana?”
Gefi menggeleng, terkesan dingin padahal ia cukup terkejut karena selama sebulan Ian berada di Singapura dan nampaknya laki-laki itu baru pulang hari ini, sehingga mencari Dita ke rumah.
“Kamu nggak coba SMS atau telepon,” ucap Gefi acuh tak acuh.
“Belum dibalas dan teleponku juga nggak diangkat.”
“Ah.. Dita belum pulang dari kemarin, masih sibuk fashion show mungkin.”
“Oh i see, by the way kamu apa kabar? Kamu nampak murung, apa kamu sedang sakit?” Tanya Ian seakan sudah dapat membaca dilema yang menyelubungi hatinya.
“Aku nggak apa-apa kok,” begitu saja jawab Gefi dan kembali terdiam lalu kembali menatap langit tanpa kata. Hanya hembusan nafasnya yang terdengar sesekali. Matanya fokus menatap pegunungan jauh yang masih diselimuti awan, sedikit mendamaikan keruh di dalam hatinya.
Pagi ini memang beraroma, hawa dingin yang dipadukan dengan angin yang agak kencang menerpa ranting-ranting pohon.
Sementara daun-dauanan kering itu berjatuhan tersapu bersama debu sisa kemarin.
“Mungkin aku tidak dapat merasakan betul apa yang sedang kamu rasakan, Gef. Aku juga tidak mengerti mengapa setahun ke belakang ini kamu jadi lebih tertutup dan menghindar. Apa ada yang salah? Aku ingin mengatakannya, hanya aku tak enak jika Dita mengetahuinya. Aku takut jika dia memberikan persepsi yang salah, karena kamu kini sudah beranjak dewasa,” terang Ian membuat Gefi tertegun sejenak.
Apakah Ian mengetahui apa yang sedang ia rasakan?
“Aku tahu masa lalu kamu tak selalu indah, sebagai calon kakak iparmu, aku juga ingin kamu bahagia,” lanjutnya.
“Sudahlah Ian, kamu tidak akan mengerti,” Gefi berusaha menghindar.
“Aku akui itu mungkin benar, tapi aku ingin melihat kamu tertawa. Kamu tak pernah bercerita kepadaku juga kepada Dita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kami khawatir kepadamu.
Saat kamu memutuskan untuk kuliah di luar kota, aku juga khawatir, tapi semoga itu bisa mengobati hal yang selama ini tak bisa kamu sembuhkan di kota ini.”
“Kamu sok tahu.”
“Ya, tapi Gefi sebentar lagi kamu akan merantau kita jadi akan semakin jarang bertemu. Setidaknya kamu bisa bercerita atau mengatakan sesuatu kepadaku atau kepada Dita.”
“Dita… dan Dita.. aku bosan, Ian.”
“Apa Dita melakukan sebuah kesalahan kepadamu?”
“Bukan kalian tapi aku. Sebaiknya kamu tidak perlu memberikan perhatian,” ucap Gefi sewot.
“Apa yang membuatmu marah?”
“Kamu, aku benci kamu,” jawab Gefi lalu meninggalkan Ian dan berjalan cepat menuju kamarnya dan mengunci pintu dari dalam, meninggalkan Ian yang masih berdiri terpaku tak mengerti.
Gefi terduduk gusar sambil memandang ke luar jendela dengan wajah yang murung, ia menyadari bahwa setahun belakangan sikapnya begitu buruk kepada Ian. Di suatu waktu Gefi merasa kaku dan tidak sanggup bicara banyak, namun di lain waktu ia menjadi amat sensitif dan berbicara ketus.
Gefi menyadari bahwa apa yang ia lakukan terlihat kekanakan, namun ia juga takut bahwa Ian akan mengetahui perasaan yang selama ini ia pendam.
“Gefi?” suara Ian terdengar di balik pintu, membuat Gefi sedikit terkejut namun masih tak bergeming ataupun mengeluarkan sebuah suara.
“Gefi, aku minta maaf jika aku memiliki sebuah kesalahan yang membuatmu membenciku. Tapi aku berharap bagaimanapun kita akan selalu memiliki hubungan yang baik,” suara Ian terdengar lagi.
Gefi terus diam, ia memutuskan untuk mengurung dirinya.
“Gefi bisakah kita bicara?” Ian masih berusaha.
“Apa kamu benar-benar membenciku?” lanjut Ian.
Gefi menghela nafasnya berat, entah kenapa dadanya terasa sesak.
“Pergilah Ian,” sakit Gefi mengatakannya, karena apa yang terucap berkebalikan dengan apa yang ingin ia sampaikan, sebenarnya Gefi ingin Ian tetap tinggal.
“Baiklah, aku pulang. Tolong sampaikan kepada Dita kalau aku mampir,” jawab Ian dan suara langkah kaki laki-laki itu terdengar perlahan menjauh dari kamar Gefi.
Gefi terhenyak, menahan isak.
Beberapa menit berlalu dan tak ada lagi Ian yang memintanya untuk bicara.
Tatapan Gefi mengitari kamarnya yang sedikit pengap. Tiba-tiba pandangannya mengarah pada sebuah dompet berwarna dusty rose. Hadiah dari Ian saat ia berulang tahun ke lima.
Gefi membukanya, kemudian mengambil sebuah foto yang terselip di sana. Foto Ian, di depan menara Eiffel yang terletak di
Champ The Mars di tepi Sungai Seine, Paris saat laki-laki itu pergi berlibur lima tahun lalu.
Bastian Sanjaya nama lengkapnya, seorang pria berusia tiga puluh dua tahun, namun nampak selalu lebih muda dari usianya.
Bahkan orang selalu menyangka bahwa Ian hanya berbeda lima atau enam tahun dengannya, meskipun mereka terpaut usia sebanyak empat belas tahun.
Ian seorang pria yang tampan dan kharismatik, Gefi paham itu betul karena Ian berprofesi sebagai CEO muda, creativepreneur dan pendiri sebuah Yayasan kemanusiaan. Di samping itu, penampilan Ian juga selalu rapih, bersih dan stylish. Membuatnya nampak gagah dan mapan, Gefi yakin bukan hanya kakaknya dan dirinya saja yang terpikat kepada pesona Ian, tapi juga banyak wanita di luaran sana.
Meski demikian Gefi tahu betul bahwa Ian adalah seorang pria yang setia. Menjadi pacar kakak kandungnya, selama lebih dari sepuluh tahun, Gefi tak pernah menemukan Ian berselingkuh atau dekat dengan wanita lain.