Yogyakarta, 19 Agustus 2014
Hari ini adalah hari pertama Gefi masuk kuliah, perasaannya masih campur aduk, tapi walaubagaimanapun ia harus masuk kuliah. Ia mencoba tersenyum, berusaha mengembalikan semangat-nya yang entah bersembunyi di mana.
“Bersemangatlah Gef, bersemangat!” bisik hatinya.
Gefi berjalan mantap, berusaha membiaskan senyum di wajahnya, menjadi mahasiswa ilmu politik yang sebenarnya asal ia pilih saja.
Gefi berharap bahwa kampus ini akan membawanya pada kebahagiaan yang baru. Bahagia yang kelak akan membuatnya benar-benar merasa ada, bukan gelisah yang terus menyiksanya seperti yang ada di masa lalu. Ia pun memasuki kelasnya yang ternyata sudah ramai, ada sekitar dua puluh 0rang yang sudah hadir. Ada banyak yang tengah asik mengobrol, tapi sebagian lagi masih sibuk bermain gadged masing-masing.
“Hai!” Seorang laki-laki berkemeja merah bata menyapa Gefi.
“Hai juga,” jawab Gefi sambil tersenyum tipis berusaha membalas senyum laki-laki itu.
“Kenalin aku Evan dari Bandung, kalau kamu?” tanyanya.
“Gefi dari Jakarta,” balas Gefi berusaha ramah, agak canggung karena tidak biasa bicara dengan orang asing atau berkenalan dengan orang baru.
“Hai… kenalin juga dong aku Livia dari Surabaya,” terang gadis berbaju jingga dengan rambut panjang terurai, cukup cantik.
“Hallo Gefi..” sambut tangan Gefi meraih uluran tagan Livia.
Mereka pun berlanjut berbincang-bincang dan berkenalan dengan teman-teman sekelasnya yang lain, ada Ambar, Janice, Emma, Rava, Adit, Hendri, Naufal dan Yolanda juga Vina yang ternyata juga sama-sama berasal dari Jakarta.
Gefi merasa lega, ia pun kembali berbincang dan bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa yang lainnya untuk selanjutnya Rava sedikit melucu sehingga membuat kelas tertawa dan menjadi semakin gaduh namun hangat.
“Gef, mulai hari ini mari kita berteman,” ucap Livia.
“Wah tentu saja,” sahut Gefi ceria.
“Sama gue juga ya?” tawar Evan.
“Hihi mengapa tidak?” jawab Gefi lepas.
Mereka pun kembali bertukar cerita sambil menunggu dosen dan Gefi merasakan sebuah atmosfer baru yang membuat perasa-annya lebih baik. Teman-teman di kelasnya begitu akrab seolah-olah sudah menjadi teman lama.
***
20 September 2014
Gefi menghela nafasnya panjang, ia baru saja sampai kostan-nya setelah pulang kuliah. Tubuhnya agak lelah karena sudah seha-rian kuliah dan juga mulai melihat-lihat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di sekitaran kampus untuk ia ikuti nanti.
Tidak terasa memang, waktu berlalu cukup cepat, dan Gefi menikmati hari-hari awal perkuliahannya. Ia seperti terlahir sebagai orang yang baru dengan lingkungan dan kebiasaan baru. Teman-teman yang menyenangkan, mata kuliah dan dosen yang menye-nangkan juga tempat tongkrongan yang banyak membuat Gefi mulai betah di kota ini. Di samping itu, ia juga merasa lebih bahagia bisa akrab dengan teman-temannya di kelas, mulai dari Livia, Evan, Naufal dan Ambar, di mana saat sekolah dasar dan sekolah menengah atas ia lebih banyak sendirian.
Tidak hanya itu, Dita dan Ian pun tidak pernah meng-hubunginya, sehingga ia merasa lebih bebas. Tak ada bayang-bayang masa lalu yang membuatnya sedih dan gusar. Sebab dulu, ia bukan hanya bermasalah dengan perasaanya terhadap Ian namun juga hubungan sosialnya dengan teman-temannya. Gefi selalu dianggap terlalu menutup diri, acuh tak acuh, tidak peka dengan orang di sekitarnya.
Saat di bangku SMA dulu ia juga melihat bahwa kegiatan belajar di kelas seperti sesuatu yang begitu monoton dan mem-bosankan. Pergi dan pulang ke sekolah bagi Gefi hanya sebagai rutinitas yang tidak berarti. Tidak ada yang menarik, tidak ada sesuatu yang bisa membuatnya bergitu bergairah dan tersenyum bahagia.
Semuanya terasa hampa, penuh dengan kejenuhan, meski begitu ia bukan gadis yang begitu pemberani dan mampu mene-mukan dirinya dan apa yang ia inginkan. Ia terlalu penakut, bahkan Gefi sempat berpikir apakah ia sanggup jika harus pergi merantau, ia berat untuk menahan rindu jika lama tidak bertemu dengan Ian. Ia pikir hidupnya akan terus tersangkut dengan masa lalu. Ia pikir ia tak bisa bangkit dari keterpurukannya dan akan selalu berduka.
Duka karena mencintai laki-laki yang salah.
Tapi rupanya, tidak.
Semuanya menjadi lebih baik saat ia memutuskan untuk pergi.
Tak ada lagi Gefi yang sering bangun kesiangan, malas meng-erjakan tugas dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk me-lamun. Gefi kini adalah gadis yang belajar mengenal hidupnya, keinginan dan mimpinya. Ia tak akan lagi menjadi Gefi yang kebing-ungan menentukan pilihan dan hanya bisa menikmati rasa sakit.
“Gefi yang bodoh sudah mati,” bisik hati Gefi yakin.
***
Dua bulan sudah berlalu dan Gefi semakin menikmati hari-harinya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar kotsan bela-kangan ini. Terkadang ia bekerja kelompok di rumah Ambar atau di kostan Naufal dan Livia. Terkadang juga Gefi terlibat dalam acara diskusi atau seminar kampus dan mengikuti UKM Jurnal kampus sehingga hari-harinya mulai padat, perlahan-lahan sisi ketidak percayaan diri atas dilemanya pun semakin memudar.
Di samping itu, di kostan ia memiliki teman-teman yang beragam, karena kostnya campur laki-laki dan perempuan, sehingga membuat hari-hari Gefi selalu ramai dan tak pernah kesepian.
Ada Rifki, penghuni kostan samping kanannya, mahasiswa Teknik Industri yang senang mendengarkan lagu metal dan memu-tarkannya agak kencang sehingga Gefi juga sampai hafal lagu-lagu The S.I.G.I.T, Pink Floyd, Dragon Force, Avenged Sevenfold dan lainnya.
Sementara itu di samping kanan ada Prilla, mahasiswi Sastra Inggris yang senang membaca dan aktif di kegiatan kampus, sehingga kadang mereka pergi bersama-sama.
Selanjutnya ada, Dave mahasiswa Hukum yang cukup tampan dan menjadi primadona kampus karena memiliki badan yang atletis, stylish namun dimbangi dengan prestasi. Tahun lalu, Dave juga menjadi Duta Bahasa Nasional karena kecakapannya dalam ber-bahasa dan membawa diri, kemudian tahun ini ia terpilih menjadi Jajaka Provinsi Jawa Barat.
Kemudian juga ada Evan teman satu kelasnya yang bela-kangan Gefi juga tahu bahwa laki-laki itu gemar mengoleksi buku filsafat dan sejarah.
Hari ini mereka berlima berkumpul untuk makan siang ber-sama di warteg Mbok Narti yang lokasinya tidak terlalu jauh dan ini merupakan agenda rutinan hampir lima kali dalam seminggu, Gefi sangat menikmatinya.
“Kangen kampung halaman nggak Gef?” Tanya Evan saat mereka berjalan cepat beriringan.
“Haha enggaklah ngapain juga, enakan di sini,” sahut Gefi senang.
“Haha asikan cari pacar di sini juga kali, biar betah kan,” komentar Rifki.
“Otaknya cewek mululu tuh,” komentar Prilla.
“Hehe udah yuk cepetan, lapar nih,” balas Dave sambil melirik teman-temannya.
Gefi hanya tersenyum.
***
3 November 2014
“Drrt… drtt…drtt,” getaran dari handphone itu membangun-kan Gefi dari tidurnya.
Gefi mengucek matanya dan ia melirik jam di dinding masih jam empat pagi. Agak kesal Gefi beranjak, karena ini bukan jam bangun paginya.
Ia meraih handphonenya di meja dan agak sedikit terkejut sekaligus termenung. Ada telepon dari Ian. Setelah lelaki itu meng-hilang begitu lama, kali ini malah menghubunginya, entah untuk urusan apa. Namun ia juga tidak ingin benar-benar mengabaikan Ian, ia takut laki-laki itu akan benar-benar menyadari bahwa ia menyukainya.
Gefi juga tidak mau Dita mengetahui bahwa hubungannya dengan Ian memburuk. Gefi takut mereka akan marah dan membuangnya. Walaubagaimanapun ia baru delapan belas tahun dan menghabiskan waktu dengan santai seperti remaja pada umumnya sehingga belum memiliki kemandirian hidup.
“Drrrt… drrtt..” handphone Gefi terus bergetar.
Dengan gusar, ia mengangkatnya.
“Gef…Hai,” suara laki-laki itu terdengar lagi, Ian. Entah kenapa dadanya terasa nyeri.
“Gef maaf membangunkanmu sepagi ini, maafkan aku.”
“Aku hanya tidak bisa tidur.”
“Aku sedikit lelah, Gef,” Ian terus berbicara.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Gefi jadi khawatir.
“Hanya sedang agak gundah, Dita semakin sibuk dan kamu juga sudah merantau aku jadi tidak punya teman untuk pergi ber-jalan-jalan atau menghibur diri,” lanjut Ian.
“Aku nggak pernah melihat kamu selemah ini, bukannya kamu selalu sibuk dengan jadwal yang begitu padat ke berbagai negara di belahan bumi ini,” protes Gefi.
“Kamu benar, oleh karena itu aku lelah.”
“Hmm.”
“Maaf aku mengeluh kepadamu. Ah iya apa kabarmu di sana, apa kamu betah?”
“Aku sangat nyaman berada di sini sehingga kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Iya, aku mau melanjutkan tidur ya,” ucap Gefi.
“Sebentar.”
“Apalagi?”
“Kamu sudah cek ATM belum?”
“Ada apa di ATM?”
“Aku sudah transfer untuk membeli kendaraan.”
“Kamu tidak perlu serepot itu.”
“Ketika kamu di Jakarta kan kamu juga sudah biasa meng-gunakan mobil sejak kamu punya SIM, Gef.”
“Tapi kan aku jarang pergi ke mana-mana, Ian. Kampusku dekat dengan kostan, aku lebih senang berjalan kaki.”
“Jangan tinggal di kostan yang sempit dan ramai seperti itu. Pindahlah ke sebuah rumah yang memiliki halaman dan tempat parkir kendaraan yang layak.”
“Kenapa kamu perlu mengaturku segala?”