Serpihan Hasrat

Tiwi Kasavela
Chapter #3

PATAH LAGI

Pantai Watu Lumbung, 21 November 2014

Suasana begitu terasa sepi dan kosong hingga bayangan tubuh Ian menghampirinya. Laki-laki itu sudah datang dan waktu masih menunjukkan pukul empat dini hari.

Ya, dua hari yang lalu Gefi menghubungi Ian untuk segera bertemu, karena ada hal yang ingin ia ceritakan. Gefi bertekad akan melupakan Ian, namun agar perasaanya menjadi lega, ia ingin mengungkapkan isi hati yang bertahun-tahun ia pendam.

Ia memilih pantai, karena pantai adalah tempat meluapkan segala emosi, kemarahan, penyesalan dan hal-hal yang ingin ia lupakan. Gefi terlalu suka pantai, sehingga ia melabuhkan segalanya di tempat ini, Pantai Watu Lumbung yang terletak di area hutan Balong Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta.

Gefi berada di sini sejak sore, terduduk di pesisir sambil memandang hamparan tebing juga batu-batu karang, memandang perbukitan yang samar karena gelap oleh malam.

“Gefi, kamu baik-baik saja?” itulah kalimat pertama yang terucap dari mulut Ian saat mereka bertemu.

“Iya seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja.”

“Sudah lama sekali.”

“Hmm?”

“Kita pergi berlibur.”

“Kita sedang tidak liburan.”

“Sampai kapan kamu akan memperlakukanku seperti ini?” perkataan Ian membuat Gefi menghela nafasnya sejenak, ia baru sadar bahwa ia tidak boleh lagi bersikap sinis, seperti apa yang dika-takan oleh Dave, ia harus mengakhirinya dengan cara yang baik.

“Aku ingin bicara denganmu.”

“Tentang apa? Ah iya, maaf aku lupa memberitahumu, aku kemari bersama Dita. Kemarin kebetulan dia ke Yogya, katanya ingin memberi hadiah ulang tahun untukmu.”

“Ah?” Gefi benar-benar terkejut.

“Kamu berulang tahun hari ini bukan?”

“Begitu ya?”

“Rumah itu hadiah dariku, dan meskipun aku berniat juga membelikan mobil untukmu ternyata Dita sudah membelikannya terlebih dahulu. Sesuai seleramu? Kamu perlu berterimakasih kepa-danya,” ucap Ian dengan begitu santai, membuat lutut Gefi lemas seketika. Ia tahu, ia tak memiliki kesempatan untuk menyatakan perasaanya sekarang.

“Apakah aku bodoh?” Tanya hati Gefi mengutuki dirinya sendiri.

Saat diam, dan air matanya hampir terjatuh. Tiba-tiba Dita datang menghampiri mereka.

“Happy birthday...” Ucap Dita sambil membawa sebuah kue ulang tahun bertuliskan selamat ulang Gefi yang ke sembilan belas.

Gefi tersenyum menyembunyikan kesedihannya.

“Mata kamu merah? Kamu terharu?” Tanya Dita.

Gefi kembali tersenyum, berpura-pura bahagia.

“Ayo tiup lilinnya,” bujuk Dita.

Gefipun tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikuti alur cerita yang dibuat oleh Ian dan kakaknya. 

“Bagaimana kuliah kamu, lancar?” Dita masih terus meng-ajaknya berbicara.

“Aku sudah jauh lebih baik.”

“Oh iya, kata Ian kamu sudah punya pacar?”

“Pacar?” Gefi galagapan. 

“Itu yang kemarin nganterin kamu ke rumah,” sahut Ian.

“Ah Dave,” suara Gefi masih datar, sama sekali tak ber-semangat.

Dilihatnya Ian yang tengah berjalan menyusuri pantai, laki-laki yang biasanya hangat dan ramah. Laki-laki yang selalu melin-dunginya dan membuatnya merasa dicintai dan disayangi.

“Gefi? Kamu melamun?” Tanya Dita karena ia hanya terdiam, tak menghiraukan Dita.

“Ah, tidak.”

“Kakak ke sini juga sekaligus memberi kabar kepadamu, bahwa kami akan segera menikah, awal tahun depan. Kalau bisa ajak pacar barumu,” Gefi sangat terkejut, tiba-tiba ada perasaan sakit yang menjalari seluruh tubuhnya. Ia merasa akan benar-benar kehilangan Ian saat ini. 

“Bawa Dave ya, kakak akan sangat senang berkenalan dengannya,” lanjut Dita.

Jantung Gefi terasa berhenti.

“Kak aku ke belakang dulu, aku ingin ke toilet,” ucap Gefi cepat dan setengah berlari meninggalkan Dita, ia tidak bisa menahan dirinya untuk menangis. 

Di antara batu karang yang cukup jauh Gefi menangis sejadi-jadinya, air matanya tumpah, hatinya hancur berkeping-keping. Waktu dan takdir telah memisahkan mereka sebelum Gefi memutuskan dan menyampaikannya.

***

“Gefi kenapa kamu berada di sini?” Tanya Ian ketika melihat Gefi yang sedang terpaku sendirian menatap lautan.

Gefi tak bergeming sama sekali, ia sedang benar-benar rapuh sekarang. Selama ini ia memang bisa memperkirakan kalau suatu hari nanti Dita pasti akan benar-benar menikah dengan Ian. Dan Gefi berusaha untuk terus menyadari hal itu, berusaha meng-ingatkan dirinya untuk menghentikan perasaanya. Untuk memasti-kan bahwa ketika saat itu tiba, sudah tidak ada yang menggebu di hatinya. Sudah tidak ada perasaan yang tersisa untuk memiliki Ian, namun ternyata ia salah.

Ketika hari itu akan benar-benar tiba, yang Gefi rasakan adalah terperosok, jatuh begitu jauh ke dalam lembah kekelaman. 

“Gefi?” Ian memanggil namanya karena gadis itu hanya diam.

“Apakah kamu akan menikah dengan Dita?” tanya Gefi.

“Tentu, Januari tahun depan kami akan menikah. Apa kamu kecewa karena merasa ini terlalu mendadak? Kami minta maaf.”

“Begitu ya?”

“Iya, beberapa bulan lalu kami sudah membicarakannya dan sebulan ini sudah memasuki tahap persiapan. Kami mencari waktu yang pas untuk memberitahumu.”

“Apakah kamu sangat mencintai Dita?”

“Mengapa kamu bertanya seperti itu? Apakah kamu kebe-ratan jika aku menjadi kakak iparmu?”

“Entahlah.”

“Gefi, tolong katakan sebenarnya ada apa? Mengapa kamu terkesan menjauhiku dan membenciku? Apa kesalahan yang mem-buatmu begitu marah? Aku ingin meminta maaf dan memper-baikinya sebelum aku menikahi kakakmu.”

“Aku tidak pernah ingin bertemu denganmu lagi.”

“Mengapa?”

“Karena aku sangat menyukaimu, sejak dulu hingga saat ini. Aku tidak tahu bagaimana menghentikan perasaan ini. Seharusnya pernikahanmu dengan kakakku, akan membuatku benar-benar ber-henti bukan? Aku hanya cukup terpukul dengan kenyataan ini. Maafkan aku yang lancang, maafkan aku yang tidak tahu diri. Oleh karena itu aku berharap bisa pergi darimu agar aku bisa melupakan kesedihanku, melupakan perasaan yang hanya bisa aku pendam, aku nikmati dan aku tangisi sendiri,” akhirnya Gefi bisa meng-ungkapkan perasaanya.

“Sedalam itukah perasaanmu kepadaku?” Tanya Ian kuatir, namun tak tampak keterkejutan dari wajahnya. 

“Iya, aku sangat menyukaimu hingga membuatku putus asa dan hampir gila,” jawab Gefi apa adanya. 

Ian menatap Gefi sedih.

“Jika aku menyukaimu juga, lantas hukum karma apa yang akan diberikan oleh alam? Kita sama-sama akan menyakiti orang yang begitu penting bagi hidup kita bukan? Aku menikah dengan kakakmu agar aku tidak pernah kehilanganmu. Melihatmu tumbuh, tersenyum dan tertawa membuatku sudah cukup bahagia. Aku tidak ingin keserakahanku membuat kita semua terluka dan merasa ber-dosa. Apa kamu mengerti?”

Gefi menahan isaknya, ia sedang berusaha menerka arah pembicaraan Ian. Apa Ian juga merasakan hal yang sama dengan-nya. Mencintai tapi keadaan tak merestui mereka untuk bersama. 

“Apakah kamu bisa tetap bahagia hanya dengan melihatku?” ucap Ian lagi.

“Apakah kamu bisa tetap bahagia, jika aku juga membagi cinta, hidup dan tubuhku dengan pria lain? Gefi balas bertanya.

“Aku akan terluka,” ucap suara Ian tertahan.

Gefi menghembuskan nafasnya panjang, tak tahu harus menjawab apa. Tapi ia tahu Ian juga mempunyai perasaan yang sama dengannya dan hal itu sangat membuatnya lega. Meskipun ia tahu Ian memutuskan untuk tetap bersama Dita.

“Ian, Gefi kalian di sini?” tiba-tiba suara Dita membuat Gefi dan Ian saling berpandangan, mereka takut jika perbincangan me-reka telah didengarkan oleh Dita. 

“Ah iya, kamu baru menemukan kami?” Tanya Ian nampak khawatir.

“Iya baru saja, apa kalian sudah lama?” tanya Dita.

“Hanya beberapa menit saja, sepertinya Gefi sedang tidak enak badan ayo kita kembali ke hotel saja,” jawab Ian membuat Gefi ikut pergi. Sebenarnya masih banyak yang ingin ia diskusikan dengan Ian, tapi lagi-lagi perbincangannya harus tertahan.

***

1 Desember 2014

Gefi merebahkan tubuhnya, menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal, namun tetap saja ia tidak bisa tidur, meski tengah malam sudah terlewati. Tidak ada tangis atau isak di sana. Sudah terlalu banyak air mata yang ia berikan untuk Ian dan ia rasa semua-nya sudah cukup.

Sejak kepulangan dari pantai Watu Lumbung beberapa hari yang lalu Gefi memutuskan untuk pindah ke rumah pemberian Ian. Rumah seluas 250 M2 yang akan begitu sepi ditinggali sendirian. Tapi ia juga tidak layak untuk mengeluh, Ian sudah begitu baik dan menyayanginya. Ian sudah terlalu banyak berjasa bagi hidupnya dan ia harus menyerah dengan keegoisannya. 

Gefi mendesah, menahan gelisah. Waktu menunjukkan jam dua dini hari. Hawa masih terasa dingin, adzan shubuh belum berkumandang apalagi suara kokok ayam yang masih lelap dalam tidurnya. Ia membuka selimut lalu terduduk sebentar di kasur dan menuju balkon lalu merasakan hawa dingin yang begitu tajam terasa, pandangannya mengawang pada gunung yang samar di kejauhan dan bercahaya karena lampu-lampu rumah warga. Teringat perbincangannya dengan Dave di telepon tadi sore.

“Gef udah jelas banget Ian itu juga sebenernya suka sama lu. Tapi karena dia sudah membangun hubungan dengan Dita, jadi apa boleh buat? Menyerahlah Gef, temukan laki-laki lain, berhenti menyiksa diri sendiri,” ucap Dave.

Menyerah, sebuah kata yang selalu menari-nari dalam benak-nya, namun terus gagal ia putuskan. Haruskan ia benar-benar menyerah?

Entahlah.

Gefi menghembuskan nafasnya panjang, pikirannya jadi mengembara. Ia jadi teringat beberapa tahun lalu saat ia dan Ian berlibur ke Cliffs of Moher di Lislorkan North, Clare Country Irlandia, itu adalah liburan terjauhnya bersama laki-laki itu dan tentu ber-sama Dita.

 Saat itu, Gefi melewati tebing-tebing curam sambil menik-mati samudra luas yang begitu indah sejauh mata memandang. Ia tertawa dan mengambil foto bersama Ian, sementara kala itu Dita sedang beristirahat di hotel dan tidak ikut bermain. 

“Aku suka melihat Samudera Atlantik, aku suka udara segar ini dan pemandangan di sini,” ucap Gefi begitu bersemangat.

“Aku juga suka, lihat ada lumba-lumba di sana.”

“Ah iya, mengapa mereka nampak manis dan bersahabat?” komentar Gefi takjub.

“Tentu karena mereka hidup di tempat yang indah,” balas Ian.

Gefi kembali tersenyum dan mengambil gambar dengan kameranya untuk selanjutnya terduduk dan kembali mengobrol sampai senja. Pemandangan debur ombak di samudra yang luas, membuat sore itu menjadi sore yang paling berkesan di dalam hidupnya.   

Di waktu yang lain Gefi pernah pergi mendaki gunung ber-sama Ian dan teman-temannya tanpa Dita, saat itu ia baru liburan sekolah kenaikan kelas dua Sekolah Menengah Atas dan ikut men-jelajah ke Gunung Lawu yang membelah provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

 Di mana untuk mencapai puncak tertinggi yaitu Hargo Dumilah di 3265 MDPL mereka harus melewati jalur Candi Cetho yang kebetulan cukup berdebu karena kemarau sehingga membuat pendakian terasa melelahkan.

Gefi selalu berjalan paling belakang dan Ian selalu setia men-jadi penunggunya. Ian memegang tangannya, membawakan seba-gian barangnya, menyodorkan air putih setiap kali ia merasa haus dan menyemangatinya untuk tetap kuat hingga sampai ke puncak. Sebuah pengalaman pertama dan cukup menegangkan, tapi lelah itu selalu terbayar setiap kali melihat wajah Ian yang selalu ter-senyum dan memperhatikannya. 

“Ian… Ian, inget kakaknya ya, jangan sampai adiknya lu sikat juga,” komentar Aldo, teman dekat Ian yang paling cerewet saat melihat mereka tengah duduk berdampingan melihat daratan dari puncak gunung.

“Lu tuh kalau ngomong suka seenaknya,” jawab Ian tetap santai.

“Habis deket banget udah kayak pacaran, iya apa iya?” Goda Fania.

“Perhatian doang apa sayang nih?” timpal Robby.

Ian hanya diam, begitu juga Gefi tidak tahu harus menjawab apa, sekaligus merasa kesal.

“Eh kalian, jangan gitu. Kalau Dita denger kan ga enak, Gefi adiknya loh!” komentar Andrew berusaha mencairkan suasana.

“Hehe… tenang mereka cuman bercanda, Ndrew!” balas Ian sambil tersenyum, dan pembahasan tentang mereka pun berhenti. 

Dari sana Gefi mulai merasa tak nyaman, seakan-akan ia diingatkan kembali pada posisinya, bahwa ia hanyalah tetap seorang adik bagi Ian, di mana pun mereka berada, sekalipun tanpa Dita.

Ian bukan miliknya, dan tidak akan pernah menjadi miliknya. 

Meskipun Gefi hanya diam, namun hatinya bergejolak dan bertanya, apakah memang mereka benar-benar terlihat seperti sepasang kekasih?

Akhirnya saat hendak turun Gefi menuruni pegunungan dengan lebih cepat sehingga tidak membuat Ian dan teman-teman yang lainnya menunggu. Sampai tiba-tiba ketika sedang beristirahat, Fania mendekatinya dan berbisik.

“Gef jangan diambil hati, kita tadi cuman bercanda. Oke..” ucapnya merasa ada hal yang berubah dari Gefi sejak itu.

Gefi hanya mengangguk, ia memang tidak terlalu pandai berhubungan dengan orang, tidak bisa berpura-pura baik-baik saja saat hatinya buruk dan mudah tersinggung sehingga tak banyak yang bisa berteman dengannya.

“Huft…” kini Gefi menghembuskan nafasnya panjang. Terlalu lama ia melamun hingga ia baru sadar bahwa kabut yang asalnya menutupi pegunungan jauh kini samar-samar nampak lebih jelas dan adzan shubuh berkumandang. Ia pun sudah mulai mengantuk, sepertinya ia harus segera tidur.

***

2 Desember 2014

Gefi mulai mengendarai mobilnya untuk pertama kali, sangat nyaman untuk digunakan. Ya, sebaiknya ia memang bersyukur meskipun sudah menjadi yatim piatu sebelum ia benar-bener ber-anjak dewasa, tapi ia memiliki kakak yang masih memperhatikan-nya. Dita adalah seorang model dengan banyak pekerjaan yang membuatnya memiliki kehidupan dengan uang yang cukup, begi-tupun dengan Ian yang sukses berbisnis serta sangat baik dan memperlakukannya seperti saudara kandung sendiri. Mereka ber-dua sangat perhatian terhadapnya, memberinya uang yang lebih banyak dari teman-teman sebayanya dulu, juga fasilitas yang ber-lebihan dibandingkan teman-teman mahasiswanya yang lain.

Entah ini baik atau tidak, Gefi menerka mungkin ini cara mereka agar Gefi tidak terlalu sedih dan kesepian. Memiliki barang-barang yang ia inginkan, pergi ke banyak tempat yang indah, mungkin adalah sisi bahagia yang sempurna, meski ia tidak memiliki hubungan sosial dengan banyak orang ataupun hubungan spesial dengan seorang pria.

Saat ia mencoba berlari, keluar dari zona nyaman, mulai me-miliki teman dan ia merasa berhasil, namun seakan keadaan menye-retnya untuk tetap bergantung pada dua sosok yang selalu ia andalkan, Ian dan Dita. 

Mungkin banyak orang yang jauh lebih menderita dari pada dirinya. Banyak orang yang memiliki kondisi jauh lebih rumit dan membingungkan.

Mungkin saja, dan Gefi perlu bersyukur dengan apapun yang terjadi. 

Dan… hari ini Gefi berkendara menuju sebuah mall, ia berjanji dengan teman-temannya untuk menonton film bersama di bioskop. Setelah sampai, ia bertemu dengan Prilla terlebih dahulu kemudian Dave, dilanjutkan Rifki yang menyusul dan terakhir Evan. 

Mereka memutuskan untuk menonton film horror dan dilan-jutkan dengan ngopi di kafe, mereka pun saling bercerita dan ber-komentar. Prilla yang cenderung selalu santai menghadapi apapun memberikan masukan untuk masalah mereka masing-masing. 

“Hidup itu bukan cuman urusan cinta dan laki-laki doang kali, hidup tuh luas. Ngapain sih mikirin hal yang bikin kita bodoh, kenapa kamu nggak mulai merintis jadi mahasiswi berprestasi dan punya banyak pencapaian dari pada mengeluhkan hal yang sama secara terus-menerus. Kalau mau kita mulai ngerjain penelitian atau jadi panitia seminar,” komentar Prilla mengomentari keadaanya.

Sementara itu, Rifki yang punya masalah ekonomi dan adik yang banyak, sehingga uang jajannya selalu berkurang dan akhirnya terlambat membayar uang kuliah, Prilla berujar,

“Kita tetap harus bersyukur Ki, mending kamu bisa ambil freelance mulai semester depan kalau kamu nggak sibuk. Aku bisa bantu cari ide buat jualan,” tambahnya. 

Ya, terkadang Prilla agak cerewet, tapi dia selalu memberikan solusi atau menawarkan diri untuk membantu. Itulah salah satu kelebihannya, dia bukan hanya memberikan komentar tapi juga memiliki rasa empati untuk meringankan beban orang lain. 

“Kalau gue nggak ada masalah, gue pengen jadi aktivis kampus, nggak mau jadi sekadar mahasiswa akademis apalagi apatis,” ucap Evan penuh semangat yang berkobar.

Di antara mereka semua sepertinya Evan yang paling visioner sejak awal dia berkata, bahwa sebagai putra daerah ia ingin menjadi manusia yang bermanfaat dan bisa mengabdi kepada masyarakat nantinya. Dia ingin menjadi sesuatu, oleh karena itu dia tidak akan bersikap biasa-biasa saja, dia akan melakukan sesuatu untuk hidupnya. 

“Aku ingin mengabdikan hidupku demi kebaikan,” ucap Evan sering. 

Mendengarnya Gefi kadang tersenyum sendiri. Ia baru mene-mukan orang yang begitu berambisi pada sebuah hal. Sementara ia melewati hari dengan sangat biasa, terkadang galau bahkan merasa frustrasi saat tak sanggup mengatur perasaanya sendiri. Untungnya saat ini ia merasa jauh lebih baik karena memiliki teman. 

Gefi ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Menjadi seseorang yang lebih mudah tersenyum kepada siapapun, menjadi lebih hangat, lebih ceria, dan lebih menikmati hidup.

Jam enam sore mereka pulang, cukup cepat memang waktu untuk nongkrong. Karena Prilla akan lanjut mengerjakan tugas bersama Evan, Rifki akan bersiap-siap pergi ke Bekasi besok, semen-tara Dave ternyata diminta Evlene, gebetannya untuk menjemput-nya. Jadi hanya ia tinggal sendirian.

Awalnya Gefi ingin pulang, tapi ia baru ingat di rumah tidak ada makanan apapun untuk cadangan, tidak ada nuggets, sosis atau bakso yang disimpan di lemari pendingin untuk kemudian di masak saat lapar. Juga belum ada sirup, susu, atau minuman lainnya yang bisa dipersiapkan untuk menemani siang-siangnya yang panas saat mengerjakan tugas. Akhirnya Gefi memutuskan untuk pergi ke supermarket yang masih berada satu kompleks dengan mall.

Dengan asik Gefi mengambil berbagai makanan, minuman kaleng, beberapa produk mie dengan berbagai rasa, roti keju favoritnya, sirup markisa yang ia gemari sejak kecil, juga beras karena ia harus memasak nasi sendiri agar lebih hemat.

Gefi masih asik memilih hingga di jajaran produk daging, tiba-tiba matanya melihat seseorang yang cukup dikenalnya.

“Bu Wulan?” ucap Gefi spontan sambil segera menyung-gingkan senyum. 

Bu Wulan adalah salah satu dosen di kelasnya, ia mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia. Usianya masih sekitar empat puluhan dengan penampilan yang masih stylish, wajah yang juga cantik dan terawat, tidak kalah dengan para mahasiswinya di kampus. Di samping itu, sikapnya yang hangat dan merangkul anak didiknya membuat banyak mahasiswa yang mengidolakannya.

“Banyak sekali belanjaanya, Gef,” komentar Bu Wulan saat melihat begitu banyak makanan di keranjang Gefi.

“Iya bu, untuk persiapan seminggu ke belakang,” jawab Gefi apa adanya.

“Hehe.. baiklah. Oh iya, ibu lupa kemarin mau bicara dengan kamu.”

“Oh iya bu.”

“Begini, bulan lalu kalian kan sudah UTS, dan beberapa minggu depan sudah persiapan menjelang UAS. Kebetulan ibu bebe-rapa minggu ini sedang sibuk untuk beberapa acara dan seminar di luar kota. Apa kamu bisa membantu ibu menginput data ke laptop untuk nilai kemarin, atau mungkin begitu juga dengan soal-soal UAS?” tawar Bu Wulan.

“Wah tapi tidak apa-apa bu, jika saya yang ikut membantu?”

“Kamu anak yang rajin Gef, ibu percaya kepadamu atau kamu bisa sekalian menjadi asisten ibu yang baru?”

“Oh, kak Viona?” tiba-tiba Gefi teringat pada asisten Bu Wulan yang juga cantik, rajin dan terkadang menemani proses belajar mengajar di kelas.

“Ah Viona beberapa hari yang lalu sudah berhenti, dia melanjutkan S2 di Surabaya.”

“Wah begitu ya bu.”

“Iya tapi ibu hanya akan meminta kamu menginput data saja Gef. Ibu tahu kamu baru semester satu, kamu juga akan UAS. Kalau kedepannya kamu santai, kelak kamu bisa menjadi asisten ibu.”

“Baik bu terimakasih banyak, kapan kira-kira Gefi bisa mulai membantu ibu?”

“Malam ini apa kamu senggang?”

“Sekarang ibu?”

“Iya, setelah kita membayar belanjaan ke kasir.”

“Oh, baik bu boleh,” jawab Gefi cepat tidak enak menolak permintaan dosen, meskipun ia cukup terkejut mendapatkan tawar-an secara mendadak. 

“Oke, kita naik taksi ya. Kebetulan mobil ibu sedang diper-baiki, menginap sampai besok di bengkel.”

“Gefi kebetulan membawa mobil ibu, biar sekalian saya antar.”

“Wah baiklah, rumah ibu tidak terlalu jauh dari sini.”

“Siap ibu.”

Setelah itu Gefi dan Bu Wulan segera membayar belanjaan dan menuju basement untuk mengabil mobil dan segera melaju. 

“Kamu kaget ya, ibu mendadak seperti ini.”

“Iya bu.”

“Hehe, habis ibu juga sedang cukup sibuk. Besok siang ibu akan pergi ke Lombok, mau mengisi pelatihan sampai dua hari mendatang. Kemudian ibu baru ingat jika banyak nilai dan tugas mahasiswa yang belum dirapihkan, takut semakin terbengkalai, selagi malam ini bisa, kita manfaatkan waktu sebaik mungkin.”

“Iya, baik ibu.”

Lihat selengkapnya