19 Januari 2015
Gefi membuka matanya perlahan, rasa lelah dan kantuk masih menjadi satu, ia tak banyak tidur semalam. Dilihatnya Ian yang masih tertidur di sampingnya. Gefi menutup mukanya, ia nyaris tak percaya dengan apa yang telah terjadi.
Semalam, Ian memeluknya dalam waktu yang lama, sedikit menitikkan air mata laki-laki itu bercerita dengan frustrasi. Gefi tidak menyangka bahwa laki-laki yang selalu nampak tangguh, dewasa dan berwibawa itu bisa sedih dan terluka seperti itu.
“Apa yang harus aku lakukan Gef, seminggu lagi kami akan menikah, tapi aku memergoki Dita tidur bersama dengan seorang pria di sebuah hotel. Aku sedang tidak bermimpi bukan?”
Gefi saat itu tidak tahu harus menjawab apa.
“Kamu banyangkan kita sudah lebih dari sepuluh tahun berpacaran. Aku mempercayainya dan membebaskan dia melaku-kan apapun yang dia inginkan karir, kehidupan dan segalanya. Aku tidak pernah menuntut apapun darinya. Aku yang selalu mendu-kungnya untuk maju. Tapi kenapa dia mengkhianti aku saat kita benar-benar hendak menikah? Saat undangan telah disebarkan, saat gedung pernikahan dan catering sudah disiapkan,” keluh Ian.
“Mengapa semua itu bisa terjadi?”
“Aku tidak tahu, menurutmu?”
“Apa kamu sangat mencintai Dita, sehingga menjadi sangat terluka seperti ini?” Tanya Gefi dengan perasaan sedih.
“Bukan.”
“Lalu?”
“Karena aku memutuskan untuk memberikan hidup dan komitmenku untuknya, meskipun aku harus mengorbankan pera-saanku.”
“Maksudmu?”
“Entahlah, aku akan sama bodohnya jika aku mengatakan-nya.”
“Ian,” suara Gefi tertahan.
“Iya, Gefi.”
“Aku menyukaimu, aku pernah mengatakannya sebelumnya bukan? Saat terakhir kali kita bertemu di pantai,” ucap Gefi begitu saja, bibirnya bergetar, air matanya hampir jatuh. Ia malu sekaligus takut, ia tidak tahu apakah ini benar atau salah, karena perbin-cangan terakhir mereka benar-benar belum selesai.
“Tapi Gefi?” suara Ian terdengar bimbang.
“Aku menyukaimu, sejak pertama kali kita bertemu, aku selalu ingin bersamamu, aku bahagia ada didekatmu. Aku men-cintaimu hingga aku tidak pernah bisa melihat laki-laki lain. Aku tidak bisa menghentikan perasaanku ini kepadamu, hingga waktu yang terus bergulir tidak memisahkan ingatan, rindu dan juga peng-harapanku kepadamu. Aku berusaha melupakan dan membencimu. Tapi aku tidak bisa, semakin aku menghindar semakin aku terluka dan menderita. Aku mencintaimu, tapi kamu akan menikah dengan kakak kandungku. Aku gila bukan? Aku bodoh karena mencintai laki-laki yang tidak pantas aku sukai. Tapi aku terlalu mengagumimu. Apa yang harus aku lakukan? Bukankah selama ini aku salah?” Tanya Gefi mencurahkan isi hatinya yang sudah tak terbendung lagi.
Mata Ian menatap ke arahnya begitu dalam, tanpa kata Ian tiba-tiba mencium bibirnya untuk beberapa saat. Gefi terkejut, tapi ia hanya bisa pasrah meski hatinya bergemuruh apakah hal ini merupakan sebuah jawaban bahwa laki-laki itu menyukainya juga.
Hanya berselang lima menit, kemudian Ian memeluknya sesaat.
“Malam ini bisakah kamu menemani aku tidur?” tawar Ian.
“Menemani tidur?” Gefi takut salah dengar.
“Hanya tidur bersebelahan dan aku berjanji tidak akan ada hal lain yang terjadi.”
“Tapi?”
“Aku menyukaimu, kamu juga menyukai aku. Tapi aku ingin menjagamu, perasaan kita sudah tercabik cukup parah oleh keada-an, terlalu banyak kegelisahan, rasa bersalah yang menganggu kita dalam waktu yang lama. Bukan hanya kamu yang menderita, aku juga Gef.”
Gefi terdiam, menahan isak, haru dan perasaan sedih yang hadir secara bersamaan.
“Jika aku meninggalkan Dita dan memilihmu, maka aku mem-buatmu kehilangan keluargamu satu-satunya. Bukankah aku akan sangat berdosa? Bukan hanya aku yang mengkhianati cinta tapi juga merusak hubungan kakak dan adik. Jika seandainya Dita bukan kakakmu tentu aku tidak akan peduli. Namun jika aku tetap ber-samanya, aku masih bisa terus melihatmu dan menyaksikanmu tumbuh meski aku tidak benar-benar bisa memilikimu, karena aku harus tetap memperlakukanmu sebagai seorang adik bukan?” jelas Ian berusaha mengurai permasalahan.
“Sejujurnya tidak ada hal yang bisa membuatku lebih bahagia dan sempurna selain bisa memilikimu, tapi aku tidak ingin membuat hati seseorang menjadi sangat terluka. Aku pun selalu berandai-andai jika saja aku bukan adiknya,” balas Gefi menghela nafasnya panjang.
“Iya, perasan memang rumit, aku juga sudah berusaha melu-pakan perasaanku kepadamu, tapi apa boleh buat. Kamu adalah adik dari Dita, aku selalu melihatmu, bahkan terlalu banyak. Seha-rusnya aku menjauh, namun entah kenapa saat tak melihatmu aku malah pergi untuk mencarimu.”
“Memangnya sejak kapan kamu menyukai aku?”
“Entahlah, aku tidak tahu tepatnya. Kita selalu sering ber-sama, mungkin itulah alasan mengapa perasaan cinta ini menjadi tumbuh.”
“Maafkan aku Ian,” ucap Gefi merasa putus asa.
“Aku juga minta maaf, aku tidak tahu apakah sebenarnya kita telah membuat sebuah kesalahan. Tapi setidaknya kita sama-sama tahu bahwa perasaan yang kita miliki membuat hubungan ini men-jadi rumit.”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku akan tetap menikahi Dita.”
“Apakah kamu tidak marah meskipun kamu mendapati Dita tidur bersama pria lain menjelang hari pernikahan kalian?”
“Aku mungkin sedih dan kecewa, tapi aku mungkin perlu memaafkannya, aku hanya butuh waktu.”
“Karena kalian sudah terlanjur terlalu lama bersama dan persiapan pernikahan sudah benar-benar selesai?” tebak Gefi, hati-nya terasa sakit.
“Bukan sama sekali, Gefi.”
“Lalu?”
“Bukankah dalam waktu yang sangat lama aku sudah menyu-kaimu, memperhatikan dan menemanimu tumbuh? Aku mendua-kan Dita di dalam hatiku, dan sejujurnya aku lebih simpatik dan menyayangimu ketimbang dirinya. Pantaskah aku marah, jika ia melakukan hal yang serupa? Meski kita tidak pernah benar-benar menjalin hubungan yang serius di belakangnya dan bersikap layak-nya sepasang kekasih. Bukankah aku juga kejam karena telah mena-ruh sepenuhnya hatiku untukmu?” Kini Ian mencaci dirinya sendiri.
Gefi terdiam air matanya hampir jatuh.
“Gefi… biar aku melipur sedikit keadaan yang tidak berpihak kepada kita, ijinkan aku menjadi kekasihmu malam ini hingga besok atau selama aku berada di sini, tak apa?”
“Tapi bukan berarti aku hanya pelarianmu saja kan?”
“Ijinkan ini menjadi hari-hari terakhir kita.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin benar-benar menyudahi konflik perasaan ini saat aku menikah.”
“Apakah kamu akan benar-benar meninggalkan aku pergi?”
“Aku menikahi perempuan lain dan aku yang telah memutus-kannya dengan pikiran yang matang dalam waktu yang panjang. Untuk kebaikan kita bersama bukan? Kamu juga berhentilah meme-lihara perasaan tersebut.”
Gefi terdiam, menahan isak yang semakin sulit ditahannya.
“Baiklah jika itu maumu,” ucap Gefi sedih, bunga yang tidak pernah mekar itu sudah layu terlebih dahulu. Selama ini ia bagaikan menancap akar yang sangat kuat di dasar hatinya dan memelihara tanaman itu dengan baik dan penuh perhatian hingga tumbuh subur, namun sebelum memiliki bunga dan buah, tanaman itu dipaksa untuk mati.
“Setelah pernikahan aku akan pindah ke Paris, Perancis.”
“Mengapa sejauh itu?”
“Dita yang meminta.”
“Oh.”
“Semoga jarak akan menyembuhkan.”
“Aku harap begitu,” balas Gefi kecewa, sebenarnya masih banyak hal yang ingin ia katakan, ia ingin marah tapi ia tidak bisa, hatinya terlalu sedih.
Malam itu, akhirnya mereka kembali berbicara hal yang lebih ringan hingga menjelang pukul tiga dini hari dan baru memutuskan untuk tidur.
“Apakah kamu jadi tidur di kamarku?” Tanya Gefi khawatir, sesaat sebelum mereka hendak menuruni tangga.
“Jika kamu tidak keberatan Gefi.”
“Baiklah… aku juga ingin menjadi kekasihmu meskipun hanya sehari atau semalam saja.”
Ian hanya tersenyum dan mengenggam tangan Gefi, meyakin-kan hati gadis itu yang tengah gugup dan seakan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Akhirnya malam itu mereka tidur bersama, meski tidak ada hal yang terjadi. Seperti apa yang Ian sampaikan, mereka hanya tidur bersebelahan, hingga pagi menjelang.
Gefi terdiam sejenak, ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini bukanlah mimpi. Dipeluk, dicium dan tidur bersebelahan bersama laki-laki yang selalu menjadi khayalnya sejak dulu.
“Gefi kamu sudah bangun?” suara serak Ian membuayarkan lamunannya.
“Ah… Iya.”
“Apa tidurmu nyenyak?”
“Aku masih mengantuk,” jawab Gefi apa adanya karena tidur-nya memang tidak begitu nyenyak dan hanya beberapa jam saja.
“Lanjutkan tidurmu kalau begitu.”
“Kalau kamu bagaimana?”
“Aku mau mandi.”
“Oh..”
“Jika kamu mau kita bisa lanjut ngobrol di depan atau jalan-jalan saja, bagaimana?”
“Kamu tidak lelah?”
“Sebenarnya aku lelah, aku hanya tidak mau kita terus ber-duaan di ruangan tertutup seperti ini. Aku juga laki-laki biasa, aku tidak ingin meminta lebih atau membubuhkan luka lebih banyak untuk masa depanmu. Kita harus sama-sama tahu diri bukan?” keluh Ian menatap mata Gefi nanar.