Serpihan Hasrat

Tiwi Kasavela
Chapter #5

MELUPAKAN GETIR

1 Mei 2015

“Gefi, bangun Gefi,” Suara lirih itu terdengar di telinga Gefi samar.

“Gefi,” timpal suara yang lain.

 Gefi mengahafal suara itu, Dave, Prilla, Rifki dan Evan.

Perlahan Gefi membuka matanya, dilihatnya atap ruangan serba putih. Bau obat menusuk hidungnya. Dia tak apa-apa. Hanya infush yang menancap ditangannya. Badannya serasa linu semua, kepalanya juga agak pening.

“Syukurlah, akhirnya lu sadar juga Gefi,” ucap Dave sambil menatap Gefi lega.

 Gefi diam termenung, ia masih bingung.

“Jangan banyak bergerak dulu Gef,” tambah Rifki.

 Gefi masih terdiam dia mencoba mengingat apa yang terjadi kepadanya. 

Sore itu?

 Rasa sakit ini?

 Gefi mengendarai mobil sangat kencang dan tak tentu arah, kemudian mobilnya menabrak pohon.

“Kenapa aku masih hidup?” ucap hati Gefi kecewa.

“Siapa yang bawa gue ke sini?” Gefi sedikit kesal.

“Cowok yang tinggi gede gitu Gef,” ucap Rifki.

“Dia bilang namanya Malik,” tambah Prilla.

“Kok Malik bisa bawa gue ke sini?” Gefi masih limbung.

“Katanya pihak rumah sakit menghubungi nomor terakhir yang sering lu hubungi dan nomer itu adalah Malik.”

“Sekarang Malik di mana terus yang ngurus administrasi dan biaya rumah sakit siapa?”

“Kita nggak tahu Malik di mana, mungkin dia juga yang ngurus semuanya,”

“Kok pergi sih dia?”

“Lu udah dua hari nggak sadar Gef, tadi pagi Malik baru menghubungi kita. Dia juga katanya nggak tahu mau menghubungi siapa dan akhirnya mendapatkan kontak kita dari handphone lu,” jelas Dave.

“Oh,” hanya itu komentar Gefi.

“Kita nyari nomer kakak lu sama Ian nggak ada Gef,” lanjut Dave.

Gefi menghela nafasnya panjang, setelah mengetahui kabar Dita sedang hamil, Gefi memang sangat marah sehingga ia langsung menghapus dan memblokir kedua nomor handphone orang itu.

“Lu baik-baik aja kan Gef?” Tanya Prilla.

“Entahlah, di mana handphone gue, ada yang perlu gue bicarakan dengan Malik.”

“Lho Gef?” Prilla khawatir.

***

6 Juni 2015

Gefi menatap wajah laki-laki itu nanar. Wajahnya yang dari semalam tertidur dan belum mencoba untuk terbangun. 

Malik,

Sudah seminggu tubuh Malik demam dan menggigil namun laki-laki itu tidak mau di rawat di rumah sakit dan Gefi pun mene-mukan Malik tepat seminggu lalu. Saat itu Gefi hendak mengunjungi Malik dan bertanya seputar kejadian kecelakaan yang menimpanya beberapa waktu lalu. Namun Gefi terkejut saat mendapati Malik baru turun dari taksi dengan wajah yang pucat dan badan yang panas.

“Malik kamu sakit?” Tanya Gefi khawatir.

“Bawa aku ke dalam,” ucap Malik dengan suara yang berat.

Gefi sangat terkejut dan memutuskan untuk berada di sisi Malik sejak hari itu.

“Malik kita perlu ke rumah sakit,” pinta Gefi keesokan harinya.

Tapi Malik bersikeras untuk diam di rumah.

Gefi berusaha menghubungi bu Wulan tapi nomornya tidak aktif. Ia pun baru tahu kabar dari Dave dan Prilla bahwa Bu Wulan belum lama ini meninggal karena sebuah kecelakaan.

Gefi sangat sedih mendengarnya.

Ia memang baru mencari Malik saat luka fisiknya sudah sembuh, namun ia terguncang bahwa Malik harus menerima kenya-taan ini, Malik sangat mencintai ibunya, ia sendiri tidak terlalu nya-man tinggal bersama ayahnya yang sudah beristri lagi, setidaknya itu yang pernah Malik sampaikan.

“Gefi kamu masih di sini?” Malik membuka matanya dan menatap wajah Gefi dalam-dalam.

“Iya, aku takut terjadi apa-apa kepadamu.”

“Maaf sudah merepotkanmu dan terimakasih.”

“Apa yang harus aku lakukan, agar kamu bisa cepat sembuh?”

“Maukah kamu menemaniku pergi berziarah ke makam Mom?” Tanya Malik.

“Kapan?”

“Sekarang.”

“Ya, baiklah aku akan menemanimu,” sahut Gefi antusias berharap dengan itu Malik akan segera pulih dari sakitnya.

***

Malik masih terpaku di depan makam ibunya meski satu jam telah berlalu, ia menaruh seikat bunga mawar, berdo’a dan sedikit terisak. Gefi jadi khawatir, tapi ia juga tidak ingin mengganggu Malik.

“Gef?” suara Malik tertahan.

Gefi mendekati Malik dan laki-laki itu merangkulnya sambil meneteskan air mata.

“Everything will be okay, Malik,” lirih suara Gefi sambil menepuk bahu Malik perlahan, ia dapat merasakan hal yang dirasa-kan oleh Malik. Bukankah ia juga dulu pernah begitu sedih dan kehi-langan ketika kedua orang tuanya harus meninggal tiba-tiba dalam sebuah kecelakaan, jika tidak ada orang yang menopangnya kala itu mungkin saja ia bisa jadi gila. 

Setelah lima belas menit berlalu, Malik mengajak Gefi untuk pulang ke rumahnya. 

“Gefi terimakasih ya,” ucap Malik sambil membawakan se-cangkir teh hangat yang dibuatnya.

“Sama-sama Malik, kamu sudah baikan?”

“Iya.”

“Kamu tidak marah lagi jika aku pergi ke rumahmu lalu kita berduaan? 

“Aku menyerah untuk menjauhimu, bayang-bayangmu meng-ikuti kemanapun aku pergi.”

“Maksudmu?”

“Kita sudah terlanjur dekat. Aku mengerti mengapa agama mengajarkan kita untuk menghindari intensitas dengan lawan jenis apalagi di ruang tertutup, berdua saja.”

“Bicara yang jelas Malik, aku tidak mengerti.”

“Apa mesti kita menikah saja?” Tanya Malik membuat Gefi tersentak.

“Kamu jangan bergurau Malik, kita bahkan belum mengetahui perasaan satu sama lain apalagi berpacaran.”

“Aku tidak ingin berjalan terlalu jauh,” suara Malik tertahan.

“Please, kita belum saling mengenal, tapi setidaknya aku menyadari bahwa kamu lebih religius ketimbang aku. Kamu taat menjalankan shalat dan kamu merasa berdosa jika kita terlalu dekat, sepertinya kita tidak akan cocok berumah tangga, sebab cara pandang kita dalam melihat dunia sangatlah berbeda,” ucap Gefi menerawang. 

Lihat selengkapnya