18 Agustus 2015
Sejak lebih dekat dengan Malik, Gefi jadi lebih sering mem-baca buku, bukan hanya buku yang Malik berikan atau Malik pinjami tapi juga buku-buku lainnya yang ia beli di toko buku atau ia pinjam di perpustakaan. Kali ini ia baru saja membaca karya Aan Merdeka Permana berjudul Perang bubat. Novel ini menceritakan dilema patah hati Patih Gadjah Mada terhadap Dyah Pitaloka. Entah ini novel versi fiksi atau memang benar sejarahnya, tapi Gefi cukup menyukai alur dan diksi yang dipakai dalam rangkaian cerita.
Di mana dikisahkan bahwa Gadjah Mada sebelum menjadi mahapatih Majapahit adalah abdi di Kerajaan Padjajaran, kemudian ia jatuh cinta kepada putri Dyah Pitaloka. Sebagai abdi tentu ia merasa dirinya tidak pantas bersanding dengan Dyah Pitaloka yang cantik, terhormat dan merupakan seorang putri raja. Hingga untuk melarikan kegundahan dan kekecewaanya ia pun mengembara. Ia berjuang secara sungguh-sungguh sehingga akhirnya menjadi mahapatih di kerajaan Majapahit.
Satu hal yang menyakitkan dirinya sendiri adalah ketika ia datang lagi ke Padjajaran, tapi bukan datang sebagai seorang lelaki yang akan melamar putri Dyah Pitaloka, melainkan sebagai pem-bawa amanat atas keinginan rajanya, Hayam Wuruk untuk memper-sunting gadis pujaanya.
Gadjah Mada datang, melihat gadis itu lagi. Gadis yang dicin-tainya tapi dengan perasaan luka, karena ia tahu ia tidak akan bisa bersanding dengan Dyah Pitaloka. Bagai ibarat pungguk merindukan rembulan atau dalam buku ini diibaratkan bahwa Gadjah Mada seperti ikan impun dan Dyah Pitaloka adalah ikan mas.
“Ikan mas tetaplah ikan mas. Dan ikan impun tetaplah ikan impun. Ikan impun tidak pernah berkumpul bersama ikan mas, karena sadar akan siapa dirinya.” Sebuah paragraf dalam buku itu yang menyanyat hati.
Sebuah kisah yang menyedihkan, cinta harus terbatas oleh kekuasaan dan strata sosial. Dan lebih menyedihkan lagi adalah ketika Gadjah Mada difitnah sebagai dalang atas terjadinya Perang Bubat. Padahal ia tidak bersalah. hingga akhirnya dia memilih mengakui perbuatan yang sama sekali tidak dilakukannya dan kemudian pergi berkelana dalam kehampaan dan rasa sakit.
Gefi menghembuskan nafasnya panjang.
Sesaat pikirannya mengembara, ia jadi mengingat seseorang.
“Ian,” nama itu terbesit di hatinya.
Delapan bulan berlalu tanpa kabar sedikitpun dari laki-laki itu, dan Gefi tidak pernah menyangka bahwa ia bisa melaluinya dengan baik. Setelah frustrasi berbulan-bulan kemudian hampir bunuh diri, lagi-lagi Malik datang ke dalam hidupnya dan membuatnya bangun sekali lagi setelah hampir mati.
“Terimakasih, Malik,” bisik hati Gefi perlahan, ia memang mulai mengagumi dan menyukai Malik, meskipun rasa yang ia miliki tak seberapa dibandingkan dengan rasa cintanya yang mendalam kepada Ian. Dan ia pun menyadari bahwa jatuh cinta baginya adalah bukan perkara yang mudah.
Tapi ia memang tidak pantas terus memikirkan laki-laki yang telah meninggalkannya, bukan hanya Malik yang selalu mendam-pinginya untuk sembuh dari patah hati, tapi juga ada teman-teman-nya yang lain seperti, Dave, Evan, Rifki, Prilla, Ambar dan lainnya.
“Gefi, bersyukur lu kenal sama Malik, dia laki-laki yang baik, sopan dan pintar. Dia ganteng juga loh Gef, gue harap lu akan baik-baik sama dia, melupakan Ian dan bisa tersenyum ceria sepanjang hari Gef,” ucap Ambar.
“Akhirnya lu bisa bangkit Gef dan move on. Semoga lu bisa berpikir semakin dewasa dan lebih bijaksana. Masih banyak hal produktif yang bisa lu lakukan, ikut bahagia ya,” terang Evan.
“Everything will be okay. Malik cowok baik gue bisa nilai, happy for you Gef, longlast sama dia ya,” komentar Rifki.
“Obat patah hati memang jadian sama yang baru, kalian cocok dan bakal saling melengkapi,” tambah Prilla.
Dan terakhir tentu Dave, Dave adalah orang yang selalu men-dampinginya sebelum Malik, mereka cukup dekat. Dave pernah menawari Gefi untuk menjadi kekasihnya, meski Gefi menolak laki-laki itu tetap setia, bahkan setelah punya pacar.
“Sumpah iri gue sama Malik, dia bisa jadi orang yang mem-buat lu kembali hidup Gef, please mulai sekarang apapun yang terjadi lu harus senyum ya. Kalau ada masalah lu juga bisa tetap curhat sama gue,” ucap Dave ketika Gefi bercerita bahwa ia mulai menjalin hubungan dengan Malik.
Gefi menghela nafasnya panjang dan tersenyum, semoga ini memang akan menjadi awal baru dalam hidupnya, untuk lebih mengenal dirinya dan hidupnya.
Gefi memang beruntung bertemu dengan Malik, ia merasa kini beban itu sudah berkurang, ia tidak lagi terus- menerus frustrasi seperti orang bodoh tak punya kesibukan. Ia lebih banyak membaca dan hal itu ternyata dapat melepaskan kepenatan yang pernah ada. Buku membuat pikirannya ikut terhanyut ke dalam alur cerita yang sedang ia baca.
Buku kini sudah menjadi teman dalam keseharian Gefi. Pikirannya kini tidak hanya diisi dengan kebimbangan tapi juga gagasan dan wawasan baru yang membuatnya lebih bisa melihat kehidupan dalam berbagai sudut pandang.
Dan semuanya karena, Malik.
“Drttt… drttt… drtttt,” handphone Gefi bergetar.
Agak penasaran, karena ia tidak terlalu sering berbicara lewat telepon dengan Malik, lalu siapa?
Gefi segera beranjak meraih handphonenya.
“Dita?” suara Gefi tertahan, sebuah nama yang belakangan ini ia coba lupakan dalam sanubarinya.
Meski enggan, akhirnya Gefi tetap mengangkatnya juga.
“Gefi,” suara Dita tertahan agak lesu.
“Iya ka?”
“Apa Ian mengunjungimu baru-baru ini?” suara Dita masih terdengar gamang.
“Tidak kak. Sejak kakak menikah, Gefi sudah tidak pernah berkabar lagi dengan Ian,” ucap Gefi sedikit terkejut.
“Oh baiklah.”
“Memangnya ada apa kak?”
“Oh, seminggu ini Ian berkata bahwa dia ada agenda di Jakarta, kakak pikir mungkin Ian sempat mengunjungimu.”
“Kalau ada apa-apa kalian pasti bicara kan kak? Memang kalian terlibat masalah?”
“Dua minggu ke belakang kakak melahirkan,” suara Dita tertahan.
“Oh?!”
“Kakak tidak tahu dan bingung bagaimana harus mengata-kannya Gef.”
“Memangnya ada apa kak?”
“Mungkin Ian marah, ia tahu anak yang baru saja aku lahirkan bukanlah anaknya.”
“Kakak?”
“Aku menjalin hubungan dengan laki-laki lain, seorang pria asal Perancis, berkulit putih dan bermata biru. Bayiku sangat mirip dengannya, saat Ian melihat bayiku apalagi saat matanya terbuka, dia nampak sangat kecewa.”
“Kak, mengapa bisa demikian, bukankah Ian sangat menga-sihimu? Dia tidak pernah meninggalkanmu, selalu memberikan per-hatian dan loyalitas yang tanpa batas. Kenapa kakak tega?” Gefi me-rasa begitu marah, tidak menduga kakaknya akan mengkhianati Ian sampai sejauh itu.
“Ian terkadang sibuk, dan kerapkali saat ia santai ia memilih untuk pergi mengunjungimu. Aku jadi kesal seakan-akan dia lebih peduli kepadamu ketimbang kepadaku. Saat aku bosan, kebetulan aku bertemu dengan Henry, dia menyenangkan dan lebih memaha-miku, aku jatuh cinta kepadanya.”
“Sejak kapan kak?”
“Beberapa bulan sebelum aku menikah dengan Ian.”
Gefi menghela nafas berat.
“Apa Ian tahu semuanya?”
“Iya, beberapa hari sebelum kami menikah dan aku menjem-putnya dari rumahmu, aku sempat bertanya apakah ia akan tetap memutuskan menikah denganku atau tidak. Kemudian dia men-jawab, bahwa segalanya telah dipersiapkan dengan matang.”
“Apa kakak tidak mencintainya lagi?”
“Aku tidak tahu, saat ini aku sedang mencintai orang lain dan memiliki bayi dari laki-laki itu.”
“Kak?” Gefi tercekat, ia merasa tidak habis pikir dengan peri-laku kakaknya.
“Aku tahu mungkin aku salah Gefi, tapi semuanya sudah terjadi. Aku hanya ingin berpesan kepadamu, jika kamu menemukan Ian atau dia datang kepadamu, tolong sampaikan kepadanya bahwa aku tidak keberatan untuk bercerai.”
“Kak kalian berpacaran selama hampir sebelas tahun, bagai-mana mungkin baru menikah kurang dari setahun sudah mau ber-cerai?” ucap Gefi antara percaya dan tidak dengan pengakuan Dita barusan.
“Kehidupan ini selalu berubah Gefi, seperti cinta dan komit-men pun pasti ada masanya untuk berubah.”
“Tapi kak? Kenapa harus Gefi yang menyampaikannya?”
“Kalian diam-diam saling menyukai bukan?”
Deg, jantung Gefi rasanya mau copot.
“Aku selalu merasa dia lebih memperhatikanmu, dan kecuri-gaanku benar. Lebih dari dua tahun lalu aku menemukan buku diarymu yang banyak menceritakan perasaanmu kepada Ian, aku juga mendengar percakapan kalian di pantai akhir tahun lalu. Aku kecewa Gef, tapi aku tidak dapat mengungkapkan kemarahanku kepada kalian, karena kamu adik kandungku dan Ian adalah orang yang sangat penting dalam hidupku. Aku hanya bisa meluapkan kekecewaan ini saat aku bisa menjalin hubungan dengan laki-laki lain seperti Henry, dan hal itu membuatku puas. Ian pasti sakit hati aku mengandung dan melahirkan anak dari laki-laki lain, padahal aku menikah dengannya, tapi aku juga sakit hati laki-laki yang ter-amat ku percayai dan kuandalkan menyukai adikku sendiri. Aku tidak begitu kejam bukan?”
Gefi terdiam, dadanya sesak air matanya hampir mengalir. Semua yang dikatakan oleh Dita adalah benar. Ia tidak tahu harus menjawab apa, ia merasa berdosa dan tidak pantas mengutuk apa yang dilakukan oleh Dita.
“Gefi, maaf kalau kakak menjadikan semua ini semakin rumit. Kakak tidak peduli jika kamu akan menjalin hubungan dengan Ian. Terimakasih untuk semuanya,” ucap Dita dan tidak lama kemudian Dita mematikan teleponnya.
Gefi terduduk resah, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Perasaan yang ia simpan selama ini sudah ketahuan meski telah ber-usaha ia sembunyikan sebaik mungkin, bahkan hal ini yang membuat Dita akhirnya berselingkuh dan menyakiti Ian.
“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya hati Gefi nyeri.
***
Kafe Mawar, 20 Agustus 2015
Tadi pagi matahari bersinar cukup terang, namun entah kenapa sore ini hujan turun cukup deras, membuat hawa di sekitar Kafe Mawar tempat Gefi bersantai terasa dingin.
“Gimana bacaan kamu Gef?” Tanya Malik yang baru sampai belum lama ini.
Gefi menghela nafasnya panjang, beginilah Malik, ketimbang seperti orang pacaran, Gefi malah kadang merasa sedang kursus membaca, di mana Malik selalu memberikan buku baru, untuk dibahas bersama.
“Di buku Ihya Ulumuddin, Al Ghazali menulis bahwa apabila engkau ingin bahagia serta tidak bisa sengsara selamanya, maka isilah seluruh siang dan malammu dengan ketaatan, begitu katanya Malik? Tapi aku tidak setuju, aku hanya ingin menikmati hidup,” ucap Gefi tidak terlalu bersemangat karena ia masih menyimpan banyak kegusaran di dalam hatinya.
“Kapan penyakit jiwa menjadi obatnya, kata Al Junaidi jikalau nafsu melawan kesenangannya. Rasulullah SAW bersabda bahwa cinta dunia itu induk dari segala dosa,” komentar Malik.
“Malik cukup,” ucap Gefi tajam.
“Kenapa, Gef?” Malik terkejut karena tiba-tiba Gefi terlihat marah dengan nada suara yang meninggi.
“Kita diskusinya nanti saja aku sedang tidak mood,” tambah Gefi sambil cemberut.
“Kamu ada masalah?” Tanya Malik khawatir.
Gefi menghela nafasnya sejenak, seandainya saja Malik tidak sereligius ini, ia ingin sekali segera memeluk laki-laki itu, menangis dan menumpahkan segala kegelisahannya. Tapi Malik tidak bisa menjadi bahu untuk bersandar, laki-laki itu tidak terlalu nyaman dengan kontak fisik.
“Pacaran buatku itu artinya mendekatkan jiwa Gefi bukan mendekatkan tubuh,” ucap Malik suatu sore, dan Gefi hanya meng-hela nafasnya panjang.
“Ada apa Gefi, kamu bisa membagi bebanmu kepadaku?” tawar Malik.
Gefi terdiam sejenak berusaha memulai kata, bahkan ia perlu meneguk teh nya terlebih dahulu, karena masalah ini cukup berat untuk diceritakan.
“Malik,” Gefi berusaha memberanikan diri, mata Gefi mena-tap ke arah Malik dalam.
“Assalamu’alaikum akhi Malik,” suara seorang perempuan membuyarkan pikiran Gefi dan Malik yang saat itu tengah fokus untuk bercerita dan mendengar.
Refleks Gefi dan Malik mengarahkan pandangannya ke arah asal suara.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Malik cepat.
“Masih mengingat ‘ana, akhi?” ucap seorang perempuan berjilbab ditemani seorang temannya yang juga memiliki jilbab lebar dan bergamis.
Malik sedikit terkejut dan menerka.
“Amalia, mahasiswi jurusan Hubungan Internasional FISIP Kan?” terka Malik sambil melempar senyum ke arah gadis itu.
Gadis yang dipanggil Amalia itu membalas senyum Malik malu-malu.
Gefi menghembuskan nafasnya agak kesal.
“Akhi, sudah beberapa lama ini tidak pernah ikut kajian lagi ya? Kami sudah lama tidak melihat.”
“Ah iya, saya sedang ada beberapa urusan belakangan ini.”
“Kalau sempat, besok ada tabligh akbar di masjid kampus, barangkali akhi mau datang,” tawar gadis itu sambil memberikan selembaran poster.
“Terimakasih ukhti, inshaallah kalau tidak ada hambatan saya akan datang.”
“Baiklah akhi, kami pamit dulu Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Gefi memperhatikan perempuan yang bernama Amalia itu, tampak begitu ceria saat melihat Malik dan nampak menyembunyi-kan ketidaksukaan kepadanya.
“Siapa sih itu, pake manggil akhi ukhti segala, emangnya kita lagi di arab?” komentar Gefi kesal.
“Mereka anak Lembaga Dakwah Kampus, Gef. Di awal perku-liahan aku sempat aktif juga, hanya saja memang sejak enam bulan terakhir aku sudah vakum.”
“Sudahlah nggak usah ikut yang begitu-begitu, nanti kamu jadi orang aneh lagi,” ucap Gefi.
“Mereka tidak aneh kok, kamu yang aneh hari ini kenapa malah uring-uringan, bisa ngomong dengan cara yang lebih baik?”
“Kamu itu, tau orang lagi pusing bukannya ditenangin, malah disalahin, yaudah nggak usah ngomong sama aku, ngomong aja sama mereka,” ucap Gefi kesal lalu mengemasi barangnya dan pergi.
“Gefi?” cegah Malik.
Namun Gefi terus mempercepat langkahnya tanpa meng-hiraukan Malik yang masih kebingungan dengan sikap Gefi.