14 Februari 2016
“Drrt drttt,” handphone Gefi bergetar, rupanya Malik mene-lepon. Gefi melihat jam sejenak dan ternyata masih jam tiga dini hari. Agak kesal ia mengangkatnya.
“Gefi mau shalat bersamaku?” tawar Malik tanpa bosa-basi.
“Malas,” jawab Gefi jujur dan marah.
“Kenapa?”
“Kamu lihat jam nggak sih sekarang?”
“Jam tiga pas, kita shalat tahajud,” ucap Malik tiba-tiba, Gefi sebenarnya agak terkejut karena sebelumnya Malik tidak pernah mengajaknya shalat, lagi pula Gefi sudah lama tidak shalat dan ia merasa tidak ada masalah. Ia merasa sudah cukup menikmati hidup-nya tanpa Tuhan dan ibadah.
“Sekali saja?” tawar Malik.
“Untuk apa?” ajakan Malik membuatnya gusar, ia takut iden-titasnya sebagai muslim, menghilangkan integritasnya sebagai se-orang manusia yang merdeka. Ia takut menjadi alim dan menjadi munafik dan ia suka dirinya yang bebas tanpa kejelasan.
“Agar kamu tahu hal baru.”
“Aku tidak mau melakukan hal yang tidak penting untukku,” sergah Gefi.
“Gefi ada orang bilang kalau sedang galau, obatnya adalah shalat. Shalat adalah cara meditasi terbaik. Bagaimana seorang manusia berdoa dan merasakan dirinya ada bersama Tuhan. Dan menemukan sebuah titik ketenangan yang mengaharukan.”
“Lucu Malik, kamu yang galau malah nyuruh shalat orang lain, suka nggak nyambung,” jawab Gefi kesal.
“Yasudah bagaimana kamu saja, aku shalat dulu ya. Assalamu’alaikum,” jawab Malik menyerah.
“Hem iya Wa’alaikumsalam,” jawab Gefi kemudian menutup teleponnya.
Gefi berusaha tidur kembali, tapi matanya tak bisa terpejam. Malik masih di benaknya dan karena bosan, ia bangkit dari kasur.
“Apa aku shalat saja?” Tanya hati Gefi dan akhirya ia berjalan menuju kamar mandi dan berwudhu. Air yang keluar dari kran terasa dingin menyentuh kulit kuning langsatnya, serasa mem-bangunkan kantuknya.
Meskipun Gefi nyaris tidak pernah shalat sebelumnya, namun karena buku-buku yang diberikan Malik tentang ibadah, Gefi jadi tahu bahwa shalat tahajud bisa dilakukan sebelas rakaat. Mula-mula shalat empat rakaat terlebih dahulu, kemudian empat rakaat lagi dan terakhir tiga rakaat sebagai penutup atau witir.
Sebenarnya Gefi juga sebelumnya tidak punya mukena atau pun sajadah, baru-baru ini Malik membelikan untuknya mukena putih bermotif bunga mawar dan sajadah dengan gambar masjid berwarna cokelat.
Ia merasa lega sejenak, Gefi ingin berdoa tapi tidak tahu caranya. Hingga pesan chat dari Malik membuatnya mengambil handphone dan membaca pesannya.
“Ya Rabb, semoga Gefi selalu dilimpahi kebahagiaan, keda-maian jiwa, kesuksesan dan keberhasilan dalam meraih segala ke-inginannya. Semoga senyumnya selalu merekah, tak lekang waktu. (NB: Doaku untukmu malam ini)” Tulis Malik membuat Gefi terte-gun untuk sejenak.
“Semoga di kelak, cintaku kepadamu melebihi cintaku kepada Ian,” ucap Gefi dalam hati dan bersegera menuju kasur untuk me-lanjutkan tidurnya.
***
23 Maret 2016
Gefi tidak bisa tidur malam ini, seluruh pikirannya terpusat kepada Malik.
“Gefi aku harus segera ke Islamabad, Abbu sedang sakit,” ucap Malik tadi sore saat mereka baru pulang dari kampus dan memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu.
“Sakit apa Malik?”
“Dia punya penyakit ginjal, aku harus ke sana Gef.”
“Sudah parah ya?”
“Lumayan, sejak dua tahun ke belakang, aku juga sudah lama tidak menengok Abbu, saat Mommy meninggal sebenarnya Abbu ingin berkunjung ke Indonesia tapi kala itu beliau sedang sakit, adik-adik juga sedang padat dengan jadwal sekolah.”
“Berapa lama kamu akan pergi?”
“Aku tidak tahu, Gef.”
“Seminggu?”
“Lebih.”
“Dua minggu?”
“Entahlah.”
“Sebulan?”
“Aku menunggu hingga Abbu pulih, sebelum dia sehat aku tidak akan pulang.”
“Mengapa Malik?”
“Meskipun bagitu banyak sudut pandangku yang berbeda dengannya, namun aku tetap menyayanginya. Dia adalah ayahku dan aku juga memiliki banyak adik-adik meskipun tidak berasal dari ibu kandung yang sama. Lagi pula banyak hal yang ingin aku diskusi-kan dengan Abbu, termasuk pernikahan kita.”
“Pernikahan?”
“Iya, meski kita akan menikah mungkin dua atau tiga tahun ke depan. Tapi aku ingin kita mulai serius sejak saat sekarang.”
“Sungguh berat memikirkannya usiaku baru memasuki dua puluh tahun.”
“Aku mengerti, namun jika aku sudah berkata kepada Abbu bahwa aku sudah memiliki calon mungkin dia tidak akan menawa-riku untuk menikah dengan gadis yang lainnya.”
“Kamu juga kan masih muda Malik?”
“Iya, entahlah karena dia mulai sakit-sakitan dia ingin segera melihatku menikah.”
“Apakah ayahmu akan baik-baik saja jika kamu memilih aku?”
“Aku harus bicara dengannya.”
“Baiklah semoga semuanya akan berjalan dengan lancar.”
“Tentu saja, do’akan Abbu cepat sembuh, do’akan juga agar Abbu bisa merestui hubungan kita.”