Kafe Nawang Wulan, 24 Mei 2017
Gefi menikmati kopi arabika yang baru saja tersaji sambil menikmati diskusi sore ini di Kafe Nawang Wulan, sesekali ia meng-hisap rokoknya perlahan. Ya, sejak aktif dalam kegiatan diskusi untuk melepaskan bosan Gefi ikut merokok bersama teman-temannya, namun ia bukanlah seorang pecandu, Gefi melakukannya hanya sesekali saja.
“Filsafat itu rasional, sistematis dan logis. Dahulu Yunani didominasi oleh mistik, hidup tergantung kepada alam, namun kemudian manusia mencari kebenaran, mempertanyakan berbagai hal. Kerangka itulah yang akhirnya membangun kesadaran. Kerang-ka itu tidak bisa dibangun dengan sendirinya melainkan berlangsung secara dialogis dan membutuhkan waktu yang panjang,” terang Robert pengisi dikusi malam ini.
Gefi agak mengingat-ingat, ia memang aktif terlibat dalam diskusi dimana-mana, namun kadang ia bisa lupa. Memang seperti apa yang disampaikan oleh Evan cara belajar yang baik adalah terus mengkaji hal yang sama, karena jika kita sudah terbiasa mendengar dan memasukan pengetahuan yang sama, meski pada awalnya tidak memahami, tapi lama-lama akan tereduksi juga.
“Nah kanca-kanca, malam ini kita tidak akan terlalu banyak membahas mengenai filsafat ilmu, melainkan yang akan kita perbin-cangankan adalah mengenai epistimologi, bagaimana memahami cara subjek menemukan pengetahuan atau bagaimana menyusun pengetahuan. Adapun yang disebut pengetahuan adalah ketika manusia mencoba mengakrabi realita dirinya yaitu simbol dan rasa. Kita bagi dulu filsafat ke dalam tiga aliran yaitu Rasionalisme Descartes, Empirisme John Locke dan Kritisme Immanuel Kant,” papar Robert.
Gefi masih memperhatikan dengan baik, sekilas Robert meliriknya, sebuah tatapan yang berjeda. Ya, sejak tiga bulan lalu Robert bergabung dengan komunitas dikusi filsafat, laki-laki itu sudah tertarik dengan Gefi. Seminggu lalu Robert menawari Gefi untuk menjadi kekasihnya, tapi meskipun Robert pintar, gagah dan mobilnya bagus Gefi tidak terlalu tertarik, perasaanya terhadap lelaki masih tebal oleh kekecewaan, ia masih ingin terus sendiri entah dalam waktu yang berapa lama.
“Okay, kita mulai dari Descartes. Descartes sering dilanda kebingungan sebelum ia menemukan rasionalismenya. Saat itu ia bertanya adakah yang benar-benar rasional di muka bumi ini? ketika dia memandang dengan logikanya, bahwa pada kenyataanya pemi-kiran itu bisa disituasikan. Bahwa perasaan manusia itu seringkali berubah-ubah. Descartes selalu mencari apa itu nilai yang pasti? Hingga akhirnya ia menemukan bahwa sesuatu yang pasti hanyalah ilmu Matematika. Baik dimanapun dan dalam kondisi apapun Matematika itu selalu sama. Ia bersikap abstraksi dan menemukan yang pasti adalah nilai-nilai skeptifisme, yaitu meragukan segala-galanya, ia meragukan dirinya sendiri hingga muncul istilah cogito ego sum, saat kepastian akan diri itu terlahir,” jelas Robert.
Usai Robert, kali ini giliran Evan yang bicara, pematerinya me-mang ada dua. Kini Evan akan menjelaskan tentang teori empirisme John Locke dengan tabularasnya.
“Manusia itu seperti kertas putih, pengalamanlah yang mem-berikan warna, keyakinan, sifat, mimpi dan sebagainya,” tambah Evan.
Ya, Gefi sangat setuju dengan teori empirisme ini bahwa pengalaman yang mengisi seluruh ruang pikiran dan hasrat ma-nusia. Pengalaman itulah yang menjadi dasar rasionalitas dan dasar perbuatan. Karena menurut Gefi, hal yang paling mendominasi seluruh sistem kehidupan ini adalah rasa. Dan ia memang selalu hidup berdasarkan perasaan dan emosinya tanpa melibatkan banyak pikiran yang dikatakan logis.
“Lanjut yang terakhir, Kritisisme dari Immanuel Kant, ia memisahkan antara rasio dan empiris, katanya untuk mengetahui sesuatu yang pertama digunakan adalah indra kemudian rasio. Untuk kemudian menimbulkan pengetahuan yaitu yang berkategori pada kualitas, kuantitas atau relasi. Pengetahuan itu tidak hanya berada di ranah konsep tapi juga harus bersikap praktis. Jika Descartes mengedepankan aspek bagaimana kita berpikir. Maka Immanuel Kant menggunakan aspek bagaimana kita tahu apa yang benar dan yang salah,” terang Evan.
Diskusi pun berjalan lumayan alot, beberapa kali Gefi sempat mengutarakan pendapatnya, hingga akhirnya disudahi pada pukul dua pagi.
“Gef mantap, boleh juga,” ucap Faisal tiba-tiba sambil me-lemparkan sebuah koran ke arahnya.
Tulisan opininya yang ternyata sudah di muat di salah satu Koran ternama di Yogyakarta.
“Judulnya kece, Antara Dogma, Kebebasan dan Moralitas,” Komentar Ario.
“Sekali-kali buka diskusi menulislah Gef,” timbrung George.
Gefi hanya tersenyum kecil, sambil menarik hisapan terakhir dari rokoknya yang ternyata sudah mencapai puntung.
***
15 Juni 2017
Gefi membuka matanya perlahan, kantuk dan lelah masih menjalari tubuhnya, maklum semalam ia bergelut dengan diskusi dan baru pulang ke rumah sekitar pukul tiga dini hari, kemudian harus mencuci muka dan menyikat giginya terlebih dahulu sebelum pergi tidur.
Pandangan mata Gefi nanar menatap sekeliling kamarnya yang sudah agak terang karena cahaya matahari yang masuk ke sela-sela ventilasi kamarnya.
Gefi menghembuskan nafasnya panjang, kemudian bangkit dan melihat jam yang menunjukkan pukul sebelas siang, lalu meraih handphonenya dan membaca beberapa pesan Whats App.
Sejenak Gefi mengkernyitkan dahinya, ada sebuah nama yang membuatnya terkejut.
“Malik,” suara Gefi tertahan menahan sesak di dadanya yang tiba-tiba menyeruak.
Setelah menghilang selama lebih dari dua tahun, nomor Whats App Malik aktif kembali, laki-laki itu memberinya pesan.
“Dear Gefi, hari ini tepat pukul lima pagi, aku baru sampai ke Yogyakarta, ke rumahku. Rumah yang sudah lama aku tinggalkan. Ternyata kondisinya tidak banyak berubah namun sudah banyak ilalang dan kotor sekali, seperti sudah lama sekali tidak dijamah manusia. Apa kamu pernah mengunjunginya barang beberapa kali saja?”
“Gefi, jam sembilan pagi ini aku akan datang ke rumahmu, ijinkan aku bercerita dan meminta maaf kepadamu secara langsung,” tulis Malik.
Perasaan Gefi masih tak beraturan, ia takut bahwa ini hanyalah mimpi. Tapi Gefi ingin segera memastikan sehingga ia segera berjalan agak cepat namun dengan resah untuk menuju pintu.
Gefi menarik kunci utama rumahnya dan membukakan pintu, perlahan.
Dan seketika itu juga matanya menangkap sosok pemuda yang tengah terduduk sambil menundukkan kepalanya. Sadar ada yang membukakan pintu, lelaki itu menoleh, matanya menatap Gefi sendu.
“Malik?” nafas Gefi tertahan, selama beberapa detik mereka hanya bisa diam. Laki-laki itu terlihat lebih kurus, wajahnya juga pucat seperti kelelahan.
Malik bangkit dari duduknya dan segera memeluk erat Gefi yang masih menatapnya bingung.
“I’m sorry, I hurt you so much Gef,” ucap Malik sambil mene-teskan air matanya deras, hampir terisak.
Meski hanya diam, sebenarnya Gefi merasakan keharuan yang sama. Air matanya ikut tumpah, meskipun tanpa suara.
Beberapa menit berlangsung hingga mereka terduduk di ruang tamu.
“Sudah lama menungguku?” itulah kalimat pertama yang meluncur dari mulut Gefi.
“Lebih dari dua jam,” sahut Malik dengan suara yang agak dingin.
“Bagaimana rasanya?”
“Perasaanku tak tentu.”
“Apa artinya dua jam, Malik,” ucap Gefi sambil mengalihkan pandangannya.
“Maksudmu?”
“Kamu bahkan pergi lebih dari dua tahun. Untuk apa datang kemari? Aku pikir kita sudah lama putus,” terang Gefi meluapkan emosinya.
“Gefi?” Malik seakan tak percaya bahwa Gefi akan menyam-butnya dengan sekejam ini.
“Aku masih tidak masalah jika harus memiliki Long Distance Relationship, sejauh apapun kamu pergi selama kita masih bisa ber-kabar setiap hari, selama aku bisa memastikan bahwa kamu selalu baik-baik saja, selama aku yakin bahwa cintamu tetap ada untukku. Tapi apa yang kamu lakukan? Aku tidak suka dipermainkan, kamu pikir aku adalah perempuan yang bisa kamu datangi kapan saja setelah kamu tinggalkan aku? Malik aku kecewa kepadamu. Apakah hanya lewat sebuah surat yang tidak jelas, kamu merasa bahwa semua itu sudah cukup? Tidak Malik!”
“Maafkan aku Gefi.”
“Pergilah, aku tidak ingin melihatmu lagi.”
“Gefi, aku membatalkan pernikahanku hanya karena tak bisa berhenti memikirkan kerinduan dan rasa bersalahku kepadamu.”
“Kamu akan menikah?” suara Gefi bergetar.
“Kalaupun aku menikah, aku hanya ingin menikah denganmu. Usai aku sampai di Islamabad aku langsung mempersiapkan diriku untuk mendonorkan ginjalku, setelah operasi selesai kondisiku memburuk dan aku butuh istirahat yang cukup panjang agar aku bisa bugar kembali sehat dan dapat merawat ayahku. Aku bahkan tidak memegang handphoneku selama beberapa bulan.”
“Tapi setidaknya kamu harus tetap mengabariku.”
“Aku tidak sanggup melakukannya, aku bisa mati kapan saja. Aku takut perasaanku membuatku menjadi anak yang durhaka.”
“Durhaka bagaimana Malik?”
“Abbu sangat menginginkanku menikah dengan gadis pilihan-nya kan? Tapi aku tidak bisa, aku terus mengulur waktu hingga dipu-tuskan bahwa bulan Mei ini aku akan menikah dengan gadis itu.”
“Lalu?”
“Aku tidak bisa menolak dengan tegas permintaan Abbu yang sakit-sakitan, tapi sebelum aku menikah Abbu kembali masuk rumah sakit dan minggu lalu dia meninggal. Beberapa hari setelah-nya aku berkata kepada Aneesha bahwa aku membatalkan perni-kahan dan segera memutuskan untuk pulang ke Indonesia, agar dapat cepat menemuimu.”
“Benarkah semua yang aku dengar ini?”
“Untuk apa aku berbohong? Jika perlu kamu bisa kuajak ke makam Abbu sekaligus kenalan dengan keluargaku di Islamabad.”
“Maafkan aku Malik,” air mata Gefi tumpah lagi, ia merasa harus mengalah jika memang kondisi Malik serumit itu.
“Maafkan aku yang juga tak bisa melawan ayahku.”
“Baiklah tidak apa.”
“Apa kamu sudah memiliki kekasih baru?”
Gefi menggeleng,
“Kekecewaanku kepadamu sebelumnya membuatku tidak bisa memiliki ketertarikan terhadap lelaki manapun yang aku temui setelah kepergianmu.”
“Maafkan aku,” ucap Malik lagi mengulang permintaan Maaf-nya yang sudah diucapkan berkali-kali.
“Sudahlah.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Nalarku mengatakan bahwa seharusnya aku tidak memaaf-kanmu, namun perasaanku masih memiliki cinta dan pengharapan-ku untukmu, jauh di dasar hatiku aku masih selalu mengingatmu sehingga tidak bisa membagi hatiku dengan siapapun,”
“Gefi, aku berjanji aku tidak akan meninggalkanmu lagi apa pun yang terjadi.”