Kafe Senja, 6 Juni 2018
“Gefi ada apa? Tiga hari ke belakang ini kamu nampak gusar, pesanku lama sekali kamu balas. Kamu juga kelihatannya tidak bersemangat sore ini,” komentar Malik saat melihat wajah Gefi yang kusut sejak mereka bertemu.
“Ian datang ke rumah tiga hari yang lalu,” ucap Gefi tidak bisa menyembunyikan apa yang sedang membuatnya gelisah beberapa hari ini.
“Oh, datang bersama kakakmu?”
“Tidak, Ian bilang mereka sudah bercerai karena kakakku mengandung dan melahirkan anak orang lain. Sekarang kak Dita sudah menikah dengan pria Perancis itu,” jawab Gefi tak menentu.
“Aku mengerti keterkejutanmu sehingga kamu gelisah seperti ini, masa lalumu memang tidak terlalu baik, tapi jangan khawatir di kelak akulah yang akan selalu menjagamu,” ucap Malik membuat hati Gefi semakin terasa nyeri.
Kini pandangan Gefi mengarah ke sudut lain, tidak tahu apakah harus melanjutkan cerita atau tidak. Jika seandainya Malik melepaskannya, ia tentu akan sangat berbahagia berlari mengejar cintanya yang telah lama terkubur kepada Ian.
“Gefi, Ian bicara apalagi kepadamu?”
“Ehm…” Gefi hanya mampu bergumam, mana mungkin ia berkata jujur bahwa Ian berusaha mengajaknya membangun hubungan, sebuah pernikahan.
“Kamu sudah tidak menyukai dia lagi kan?” Tanya Malik membuat perasaan Gefi semakin bimbang, ia tidak tahu harus menjawab seperti apa.
“Hehe aku bercanda, aku tahu kisah kalian. Aku yakin kamu sudah tidak memiliki simpati kepadanya, terlebih kamu sudah memilikiku dan sebentar lagi kita akan menikah.”
Gefi kembali terdiam.
“Gefi, aku sudah berbicara dengan Ammi,”
“Ammi?”
“Iya panggilan ibu untuk isteri kedua ayahku. Mereka akan datang dua hari lagi berserta adik-adikku. Nanti aku akan perkenal-kan, mereka manis dan lucu,” ucap Malik seakan tidak terjadi sesuatu yang perlu dipermasalahkan.
“Apa ibu tirimu tidak keberatan jika kamu akan menikah dengan perempuan yang tidak berjilbab dan tidak religius?” Tanya Gefi.
“Ammi tidak seperti ayahku, meskipun ia juga masih meme-gang nilai-nilai agama, tapi dia tidak suka memaksakan pemikiran-nya kepada orang lain, termasuk kepadaku.”
“Begitu ya?”
“Kita menikah pertengahan bulan depan saja.”
“Kenapa cepat sekali?”Gefi seperti tersengat listrik.
“Ammi dan adik-adikku tidak akan lama di Indonesia, hanya satu bulan kemudian mereka akan kembali. Sebelum itu, kita menikah saja dulu mumpung keluargaku sedang berkumpul.”
“Tapi kita bahkan belum mempersiapkan apa-apa, Malik,” Gefi berusaha memprotes keputusan Malik yang menurutnya sangat tiba-tiba.
“Tenang saja, aku memiliki teman-teman Wedding Organizer, semuanya akan cepat beres. Minggu depan kita mulai urusi ya?” jawab Malik masih santai seperti biasanya.
“Tapi?”
“Kamu tenang saja, biar aku yang menanggung segala urusan dan pesta. Setelah menikah, kita akan tetap tinggal sementara di kota ini, aku perlu menyelesaikan S1, kemudian kita bisa pindah ke Pakistan atau negara lainnya untuk melanjutkan studi magister kita,” tawar Malik.
“Ah?” Gefi masih ragu.
“Kamu setuju kita menikah tanggal berapa?”
“Aku tidak tahu, aku…” Gefi merasa putus asa.
“14 Juli saja?”
“Hah.. terserah kamu sajalah.”
“Baik segera aku desain ya undangan untuk pernikahan kita.”
“Kenapa seburu-buru ini?”
“Sudah lebih dari lima tahun aku mengenalmu, bagaimana ini bisa disebut buru-buru, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu.”
“Tapi?”
“Semuanya akan baik-baik saja Gefi, percayalah kepadaku.”
Gefi terdiam, dunia rasanya mau kiamat padahal ia masih punya rencana lain, ia bahkan belum yakin apakah ia akan benar-benar memilih Malik atau Ian. Tapi laki-laki itu sudah menyiapkan segalanya seakan sudah tak ada penghalang apapun di depannya.
***
8 Juni 2018
Gefi memasuki halaman rumah Malik, laki-laki itu menga-takan bahwa Ammi dan adik-adiknya sudah sampai ke Yogyakarta kemarin sore sehingga pagi ini Gefi harus segera memperkenalkan dirinya. Seharusnya Gefi merasa bahagia bahwa ia kini akan benar-benar menjejaki hubungan yang serius, namun pertemuan bebe-rapa hari terakhir dengan Ian membuat berbagai keraguan itu muncul dalam benaknya, karena ia sadar bahwa ia masih memiliki cinta yang bergelora kepada Ian.
“Ian, maafkan aku,” bisik hati Gefi sedih.
Langkahnya perlahan memasuki halaman rumah Malik yang tetap rimbun dengan pohon Jambu dan Mangga.
“Assalamu’alaikum,” ucap Malik sambil membukakan pintunya.
“Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap seseorang.
Gefi melihat sumber suara, seorang perempuan paruh baya dengan jilbab panjang dan gamis berwarna gelap, tersenyum ke arahnya hangat.
“Silakan duduk,” lanjut perempuan itu.
“Gefi ini Ammi, Ammi ini Gefi,” ucap Malik memperkenalkan Gefi kepada Ammi, untuk kemudian Malik pergi ke luar karena akan menjemput adik-adiknya yang sedang berbelanja di supermarket yang tidak jauh dari rumah.
Mereka pun lanjut mengobrol, mulai dari latar belakang, aktifitas, hobi dan rencana masa depan. Ternyata Ammi juga orang yang menyenangkan, meskipun terlihat religius dengan pakaian panjangnya, tapi Ammi tidak memandang sebelah mata Gefi yang rambutnya dicat warna cokelat tua, dengan pakaian dress hijau toska berlengan pendek dan sepanjang lutut saja.
Ammi juga banyak bercerita tentang masa kecil Malik yang cenderung pendiam, tapi rajin dan pintar. Malik juga dikenal lembut dan senang menolong orang-orang di sekitarnya dan rela meng-orbankan dirinya untuk orang yang dikasihinya.
“Malik mendonorkan satu ginjalnya untuk ayahnya kamu tahu kan? Meski sekarang ayahnya sudah meninggal tapi Malik membuat ayahnya bertahan dua tahun lebih lama dan dia selalu mendam-pinginya,” terang Ammi dalam bahasa Inggris.
Gefi mendengarkan dengan haru.
“Malik juga seorang laki-laki yang mandiri, dia membereskan rumah sendiri, mencuci bahkan memasak sendiri. Sebenarnya dia tipe orang yang tidak mau menyusahkan orang lain, namun karena hal itu dia jadi sering memendam perasaannya. Ammi melihatnya tidak pernah menggunakan ponsel selama di Islamabad, katanya supaya tidak teringat hal-hal di Indonesia yang membuatnya ingin pulang.”
“Tapi kenapa dia perlu seekstrim itu,” keluh Gefi.
“Ammi juga tidak tahu tepatnya, hanya terkadang Ammi melihatnya tertekan karena diminta ayahnya untuk menikah dengan anak kawannya. Malik terus menunda, hingga setelah Abbu mening-gal dia baru berkata kepada Ammi bahwa dia sudah punya calon isteri pilihannya sendiri oleh karena itu dia segera membatalkan pertunangannya.”
“Mereka sudah bertunangan?”
“Ya istilahnya adalah dikhitbah, Malik tidak menjelaskannya?”
“Malik hanya berbicara bahwa dia dipaksa menikah kemudian dia membatalkannya, saya juga tidak bertanya detil tentang itu.”
“Iya begitulah, meski gadis itu adalah anak dari teman baik ayahnya. Mereka kecewa, tapi Malik berkata bahwa ia tidak bisa melanjutkan pertunangan tersebut.”
Gefi menghembuskan nafasnya panjang dan terdiam, ia jadi merasa iba kepada Malik, laki-laki itu sudah berkorban banyak hal dalam hidupnya, sekarang Malik perlu bahagia dengan mendapat-kan apa yang dia inginkan.
“Ammi juga terkejut setelah Malik menceritakan bahwa gadis pilihannya adalah dirimu, bukan maksud Ammi berprasangka buruk, hanya saja Malik itu cukup religius. Ammi tidak pernah berpikir bahwa ia akan menikahi gadis yang tidak berjilbab dan terlihat bebas sepertimu.”
Gefi masih diam, tak ada yang bisa dikatakan.
“Namun, apapun pilihan Malik, Ammi setuju. Pasti ada hal yang membuat kalian cocok dan bisa bersama. Kalian akan menikah bulan depan kan? Ammi mohon kepadamu, tolong jaga Malik, jangan membuat dia terluka setelah melakukan banyak pengor-banan untuk orang lain, juga untuk setiap penghargaan tinggi yang dia berikan untuk setiap orang yang ada di sekitarnya.”
“Iya Ammi,” begitu jawaban Gefi pasrah, mungkin inilah jalan hidupnya. Mungkin memang Malik adalah pasangan hidup yang telah digariskan Tuhan untuknya.
“Jangan seperti ibunya Malik.”
“Ibunya Malik?” Gefi mengernyitkan dahinya.
“Ibunya Malik adalah perempuan Indonesia yang independen, sementara ayahnya adalah laki-laki yang beorientasi pada ajaran agama yang dia yakini. Ya, mereka sangat berbeda, ibunya Malik sangat sekular seperti yang suamiku bilang, sangat sulit diatur dan hidup sekehendaknya. Pada awalnya mereka berpikir meski berbeda mereka tetap bisa hidup berdampingan karena cinta, namun setelah menikah semuanya semakin meruncing hingga akhirnya memutuskan untuk bercerai. mereka memiliki prinsip dan jalan hidup yang bertolak belakang. Semoga ini hanya sebuah kekhawatiran Ammi saja. Ammi hanya tidak ingin Malik melakukan kesalahan seperti ibu bapaknya, karena bercerai adalah hal yang berat apalagi jika sudah memiliki anak,” pinta Ammi.
Gefi pun terhenyak sejenak, kemudian meminum teh hangat-nya untuk menjernikan pikiran.
Belum selesai Gefi berpikir, mobil Malik sudah tiba di rumah dan adik-adik Malik keluar dari mobil.
“Gefi perkenalkan adik-adikku yang akan menjadi adikmu juga,” sapa Malik penuh semangat.
Gefi tersenyum lebar menyembunyikan kegundahan hatinya.
Ada tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan berparas kawasan Asia Selatan, tiga orang sudah sepertinya sudah menjelang remaja dan tiga lainnya masih ada di bangku sekolah dasar.
“Kenalkan, saya Amina usia enam belas tahun,” ucap salah satu adik Malik yang terlihat paling tua. Tentu dalam bahasa Inggris karena mereka belum mengenal bahasa Indonesia.
“Hai Gefi, saya Ammar usia empat belas tahun, masih di Sekolah Menengah Pertama,” ucapnya.
“Saya Hamza, dua belas tahun.”
Gefi menyalami mereka satu persatu.
“Oh iya Gefi, ini Saddam sepuluh tahun, Shiraz delapan tahun dan terakhir adik bungsuku Fatima, baru enam tahun,” tambah Malik, karena adiknya yang lebih kecil masih nampak malu-malu untuk memperkenalkan diri.
“Adikmu berjarak dua tahun semua ya?” Tanya Gefi sambil melirik mereka.
“Begitulah hehe… Oh iya Gef, apa kamu sudah selesai meng-obrol dengan Ammi?”
“Ah aku rasa sudah.”
“Baiklah, bagaimana kalau sekarang kita pergi nonton ke bioskop bareng adik-adikku?”
“Wah, keenam adikmu?”
“Iya, mereka baik-baik kok , tidak akan membuat kita repot. Hitung-hitung latihan kalau nanti kita punya anak banyak,” ucap Malik terkekeh.
Gefi sedikit terkesiap, jangankan memiliki anak yang banyak, memiliki satu anak saja sudah membuatnya berpikir keras dan stress.
***
Lagi-lagi Gefi tidak bisa tidur malam ini, besok pagi Ian akan menjemputnya dan tadi sore Malik memberikan sesuatu yang mem-buatnya terkejut hingga tidak bisa berkata-kata.
“Ini Gefi, surat undangan pernikahan kita,” ucap Malik saat hendak mengantarkannya pulang.
“Sudah jadi? Bukannya kita baru membicarakannya beberapa hari yang lalu?”
“Iya aku ingin supaya cepat selesai, oleh karena itu aku sudah memesannya. Belum di cetak semua, kamu setuju model begini apa mau direvisi?” tawar Malik.
Gefi membuka undangan berwarna hijau muda itu, ada namanya dan Malik di sana.
“Bagaimana?” Tanya Malik sekali lagi karena Gefi masih terpaku menatap undangan itu.
“Aku sudah setuju, aku ikut kamu saja.”