Serpihan Hati

Qarina R Jussap
Chapter #1

Remah Kerinduan

Entah apa yang terjadi pada diri ini, hati, pikiran, kehidupan dan semua duniaku. Semuanya serasa menjauh dan menakutkan. Aku seperti berada di sebuah perahu kecil tanpa dayung, terombang ambing dalam ombak laut yang luas dipenuhi jajaran dinding tebing curam dan terjal. Aku mencoba untuk mengepakkan tangan pada air secepat mungkin agar bisa menjauh dari tebing itu. Namun kuatnya arus justru membuatku semakin mendekat dan bertubrukan. Aku hanya memejamkan mataku menahan rasa sakit karena benturan yang mengenai tubuhku dan percikan air. Sakit sungguh sakit namun aku tidak bisa berkata apapun dan pada siapapun, tidak ada yang menemaniku, kenyataannya aku hanya seorang diri.

Aku pasrah hanya bisa mengikuti kemana arus air membawaku pergi dan aku hanya bisa menengadahkan kepala melihat ke atas langit yang cerah dan begitu luas. Aku berkata pada-Nya "Apakah aku akan selamat dari kejadian ini atau aku justru akan berakhir menemui-Nya? ". Aku tidak ingin menyerah pada keadaan tapi aku hanya bisa pasrah. Pasrah karena tidak ada yang bisa kulakukan. Arus air itu terlalu kuat untukku lawan. Hanya waktu yang bisa melabuhkanku entah di pesisir mana. Kini yang bisa kulakukan hanyalah melihat 2 warna itu yang sedang mengiringi perjalananku, perjalanan yang telah membuatku seolah tidak peduli lagi ketika aku harus terbentur, tertabrak dan dijatuhi apapun itu. Ya... Aku membiarkan diriku hanyut sampai air ini benar-benar lelah membawaku.

Aku benar-benar menyedihkan dan memprihatinkan. Semenyedihkan ketika aku sangat memalukan ketika orang memandangku. Aku tak berani menunjukkan wajahku dan sungguh ingin menutup mataku dalam-dalam. Memang benar ketika dulu aku dekat dengannya, aku merasakan dunia ini hanya milik kita berdua. Tapi setelah itu semua terjadi, aku adalah satu-satunya orang yang ingin menjauh dari dunia ini, bahkan terbesit dalam pikiranku berharap semua orang tidak mengenalku. Aku lenyap dari dunia ini.

Ini semua karenanya, karenanya yang telah membuatku bahagia, karenanya yang telah memberiku warna, dan karenanya aku merasa seperti orang yang paling penting. Padahal hanya karena sebuah kalimat yang diucapkannya. Kalimat yang mungkin seperti angin berhembus yang tak sengaja menyentuh dan mengetukku gendang telingaku. Namun sentuhannya yang lembut memberikan bekas yang tidak bisa aku lupakan bahkan sampai saat ini, disaat aku mendengar namanya atau ketika aku sedang berpikir.

Ya, sejauh apapun aku mencoba melupakan semuanya, hal itu selalu saja gagal. Justru semakin dilupakan aku semakin mengingatnya dengan sangat jelas bagai lukisan kanvas yang tidak bisa ku hapus tapi tak berani ku robek apalagi dibakar. Tidak hanya ucapannya yang telah memberikan sentuhan lembut yang tidak bisa kulupakan tapi rasa sakit juga yang membekas di hati dan tidak bisa hilang. Namun aku tidak mampu membohongi perasaanku kepadanya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dan katakan jika aku bertemu dengannya, karena aku sangat membencinya. Tapi ketika mata ini tak menangkap kehadirannya, ternyata aku sangat merindukannya. Akupun tidak mengerti perasaanku ini. “Apakah aku begitu mencintainya?”. Entahlah, aku terperangkap hingga tak mampu membedakan ketulusan hati seseorang yang sebenarnya. Aku berharap Tuhan memberikanku kesempatan untuk menghapus semua ingatan tentang dirinya baik wajah maupun namanya.

Kamu mau menjadi pacarku?” ucapnya tanpa basa basi di depan temanku dan sontak membuat ku kaget.

“Hah?" Aku terkejut. "Apa yang kau katakan?!” ucapku tidak menghiraukannya karena aku pikir itu hanya sebuah gurauan.

Lihat selengkapnya