Serpihan Kaca

Rokho W
Chapter #1

Kebencian


“Alana, Alana cantik, utu tu tu” panggil kedua orang tua Alana yang sedang mengajarinya berjalan berada di taman perumahan. Alana malam ini sedang menangis melihat video kenangan tentang tumbuh kembangnya sedari bayi yang di jadikan film dokumenter oleh papi dan maminya, betapa bahagianya 14 tahun yang berharga bersama papi dan maminya karena ia begitu di cinta dan di sayangi oleh keduanya. Akan tetapi hal itu sekarang telah hilang, kebahagiaan itu telah musnah di gantikan dengan ribuan tusukan luka oleh papinya. 

“Alana waktunya makan malam sayang,” teriak mami memanggilnya dari lantai bawah, kamar Alana berada di lantai atas dengan segala fasilitas yang Alana sukai yaitu perpustakaan pribadi milik keluarga Alana. 

Seperti biasa hari minggu mereka bertiga Mami, papi dan Alana akan berkumpul di ruangan itu untuk membaca, perpustakaan yang mereka ciptakan bersama-sama karena mereka bertiga memiliki yang sama ‘membaca’. Tak bosan mereka duduk bahkan hingga rebahan untuk membaca di ruangan itu, perpustakaan ini pun bukan hanya terisi buku-buku saja koran dan majalah yang dulunya koleksi dari papi dan maminya ketika remaja pun masih ada. Hingga kaset pita (tape), Digital Video Disc (DVD) video dokumenter yang sedang Alana tonton saat ini. 

Berbagai kalimat yang berawalan “andaikan, andaikan, andaikan” memenuhi isi kepala Alana hingga bibir mungilnya yang ia gigit berdarah untuk menggambarkan kekecewaannya saat ini pun sama sekali tak membuatnya teralihkan dari perih di dalam dadanya, melihat papi yang sangat ia cintai bergandengan dengan wanita yang ia taksir seusia mahasiswi yang mengikuti kuliah papinya sehari-hari. Begitu mudah bagi papi 14 tahun bersama yang tak selama ini kebahagiaan semu yang ia dapatkan.

“Tok..., tok..., Alana mami teriakin makan malam kok nggak turun-turun sih kamu,” ucap Maminya yang langsung masuk kamar Alana dan mendapati Alana tak berada di kamarnya. Kemana itu anak gerutunya sambil menutup pintu kamar Alana dan menelpon Alana untuk menanyakan keberadaan Alana saat ini. 

“Drrt, drrrrttttt, “ handphone Alana bergetar,

“Ah..., mami,” ucap lirih sembari memencet tombol off power dari remote yang berada di atas meja.

“Sudahlah lebih baik aku ke turun, mami pasti sudah pulang dari bekerja,” ucap Alana panda dirinya sendiri, ia pun bergegas meninggakan ruangan itu tanpa mengambil kaset disc yang ia tonton dengan bersedih hati tadi.

“Alana....,” panggil mami yang baru saja menutup pintu kamar Alana,

“Mami,” ucap Alana yang terkejut

“Kamu sudah pulang dari jajan buku sama Sonia? Mami kira kamu masih di jalanan karena hari ini di depan Grand Indonesia macet luar biasa,” cerocos mami yang super cerewet yang sangat ekstrovert, berbeda dengan Alana dan papi yang memang lebih suka menyendiri dan introvert.

“Memang selalu macetkan mi di situ,” jawab Alana sembari menuruni anak tangga satu persatu menuju ruang makan.

“Yang ini nggak biasanya Alana, oh iya papi kemana ya kok belum pulang?” ucap Mami yang membuat irama jantung Alana bergenderang. Mami nyariin papi sekarang, ayo Alana kamu harus membuat alasan agar mami tak curiga dengan apa yang kamu lihat tadi di toko buku dialog dalam otaknya. Hening sejenak karena Alana sedang memikirkan Alaskan apa yang tepat untuk mami agar tak curiga kalau Alana berbohong hingga tanpa ia sadar anak tangga yang ia lalui telah habis dan ia sudah berada di ruang makan.

“Mi, tadi pas Alana sampek rumah papi sudah ada di rumah katanya minta Alana bilangin mami kalau papi sedang ada jam kuliah malam, jadi akan pulang telat,” jawab Alana beralasan dan bohong kepada maminya.

“Oh ya, tumben papi nggak chat mami dulu ya Al?” ucap mami yang sedikit kebingungan dengan kebiasaan suaminya yang hari ini tak menjadi kebiasaannya.

“Ya sudahlah, yuk kita makan malam berdua saja Al,” ajak mami kemudian, sambil menggandeng tangan kanan Alana mengajaknya ke tempat duduk di meja makan. Syukurlah mami tak merasakan kebohonganku hari ini tuhan ucapnya dalam hati dengan lega.

Lihat selengkapnya