“Alana, Alana cantik, utu ... tu ... tu ...,” panggil kedua orang tua Alana yang sedang mengajarinya berjalan berada di taman depan perumahan mereka.
Alana malam ini sedang menangis melihat video kenangan tentang tumbuh kembangnya sedari bayi yang di jadikan film dokumenter oleh papi dan maminya, betapa bahagianya 14 tahun yang lalu bersama papi dan maminya karena ia begitu di cinta dan di sayangi oleh keduanya. Akan tetapi hal itu sekarang telah hilang, kebahagiaan itu telah musnah di gantikan dengan ribuan tusukan dalam tubuhnya saat ini.
“Alana waktunya makan malam sayang,” teriak mami memanggilnya dari lantai bawah, kamar Alana berada di lantai atas dengan segala fasilitas yang Alana sukai yaitu perpustakaan pribadi milik keluarga Alana.
Seperti biasa hari minggu mereka bertiga Mami, papi dan Alana akan berkumpul di ruangan itu untuk membaca, perpustakaan yang mereka ciptakan bersama-sama karena mereka bertiga memiliki hobi yang sama yaitu ‘membaca’. Tak akan bosan mereka duduk bahkan hingga rebahan untuk membaca di ruangan itu, perpustakaan ini pun bukan hanya terisi buku-buku saja, koran dan majalah yang dulunya koleksi dari papi dan maminya ketika remaja dulu pun masih ada. Hingga kaset pita (tape), Digital Video Disc (DVD) video dokumenter yang sedang Alana tonton saat ini.
Berbagai kalimat yang berawalan “andaikan, andaikan, andaikan” memenuhi isi kepala Alana saat ini, hingga bibir mungilnya yang ia gigit berdarah untuk menggambarkan kekecewaannya saat ini pun sama sekali tak membuatnya teralihkan dari perih di dalam dadanya, melihat papi yang sangat ia cintai bergandengan mesra dengan wanita yang ia prediksi seusia dengan mahasiswi yang mengikuti kuliah papinya, papi Alana adalah seorang dosen di salah satu universitas swasta di kotanya. Begitu mudah bagi papi 14 tahun bersama yang selama ini hanyalah kebahagiaan semu yang ia dapatkan.
“Tok ..., tok ..., Alana mami teriakin makan malam kok nggak turun-turun sih kamu,” ucap Maminya yang langsung masuk kamar Alana dan mendapati Alana tak berada di kamarnya. Kemana itu anak gerutunya sambil menutup pintu kamar Alana dan menelepon Alana untuk menanyakan keberadaan Alana saat ini.
Drrt ... drrrrttttt. Handphone Alana bergetar, yang tergeletak di atas ransel Alana.
“kemana ini anak, papinya juga belum pulang,” ucap lirih mami Nayla
“Ah ..., mami,” ucap Alana lirih melihat layar handphonenya, sembari memencet tombol off power dari remote yang berada di atas meja.
“Sudahlah lebih baik aku turun ke lantai 1, mami pasti sudah pulang dari bekerja, dan sudah menyiapkan makan malam,” ucap Alana pada dirinya sendiri, ia pun bergegas meninggalkan ruangan itu tanpa merapikan kaset VCD disc yang masih terpasang yang ia tonton dengan bersedih hati tadi.
“Alana ...,” panggil mami yang baru saja menutup pintu kamar Alana, dan melihat Alana keluar dari balik pintu ruang baca.
“Mami,” ucap Alana yang terkejut dengan kedatangan maminya yang sedang menutup pintu kamarnya,
“Kamu sudah pulang? Mami cari-cari dari tadi. Mami kira kamu masih di jalanan belum pulang, mami kira kamu lagi terjebak macet,” cerocos mami yang super cerewet yang sangat ekstrovert yang banyak kosa kata yang di ucapkannya, berbeda dengan Alana dan papi yang memang lebih suka menyendiri dan introvert.
“Memang selalu macet kan mi Jakarta, tapi Alana tadi pulangnya naik kereta,” jawab Alana sembari menuruni anak tangga satu persatu menuju ruang makan.
“Yang ini nggak biasanya Alana, oh iya papi kemana ya kok belum pulang?” ucap Mami yang membuat irama jantung Alana bergenderang. Mami nyariin papi sekarang, ayo Alana kamu harus membuat alasan agar mami tak curiga dengan apa yang kamu lihat di toko buku tadi, dialog dalam otak Alana saat ini.
Hening sejenak, sebab Alana sedang memikirkan alasan apa yang tepat untuk mami agar tak curiga kalau Alana berbohong hingga tanpa ia sadari anak tangga yang ia lalui telah habis dan ia sudah berada di lantai bawah dan menuju meja makan. Ia pun memutar kedua bola matanya menoleh dan membuat langkah kaki maminya terhenti,
“Mi, tadi pas Alana sampai rumah, papi sudah ada di rumah katanya minta Alana bilangkan mami kalau papi sedang ada jam kuliah malam, jadi akan pulang telat,” jawab Alana beralasan berbohong kepada maminya.
“Oh ya? tumben papi nggak chat mami dulu ya Al?” ucap mami yang sedikit kebingungan dengan kebiasaan suaminya yang hari ini tak menjadi kebiasaannya.
“Ya sudahlah, yuk kita makan malam berdua saja Al,” ajak mami kemudian, sambil menggandeng tangan kanan Alana mengajaknya ke tempat duduk di meja makan. Syukurlah mami tak merasakan kebohonganku hari ini tuhan ucapnya dalam hati dengan lega.
***
Alana hanya bisa menghela napas panjang ketika maminya terus-menerus mengajukan pertanyaan yang sama setiap pagi. Perasaan overprotektif Mami Nayla sering membuatnya merasa seperti burung dalam sangkar terlalu dijaga hingga ia tak punya banyak ruang untuk terbang bebas.
Namun, Alana tahu betul alasan di balik sikap maminya itu. Sejak perceraian dengan papi, Mami Nayla berubah menjadi sosok yang terlalu waspada, seakan takut kehilangan satu-satunya orang yang tersisa dalam hidupnya yaitu Alana.