Serpihan Kaca

Rokho W
Chapter #2

kehidupan tanpa Papi


“Alana…,” panggil Sonia dari arah belakang dengan nada riang.

Alana menoleh dan mendapati sahabatnya berjalan cepat sambil tersenyum lebar. Di belakang Sonia, Jojo tampak berjalan santai membawa ranselnya yang terlihat berat.

“Pagi! Eh Jojo, pagi juga,” sapa Alana sambil sedikit tersenyum.

Sonia melingkarkan lengannya di pundak Alana begitu mereka memasuki kelas. 

“Al, kusut amat muka lo. Lagi mikirin apa?” tanyanya sambil memiringkan kepala, pura-pura penasaran.

Jojo, yang mendengar ucapan Sonia, langsung menyahut dengan nada kesal.

 “Muka lo lebih kusut daripada Alana, tahu!” Ia mendengus sambil menggantungkan ranselnya di samping meja.

Sonia tidak mau kalah. Dengan cepat, ia menghampiri Jojo dan mengacak-acak rambutnya. 

“Hmmm… macak ci Jo!” ejeknya.

Jojo menepis tangan Sonia dengan wajah yang mulai merah. Ternyata pagi ini ia sengaja pergi ke salon agar rambutnya terlihat rapi untuk mengesankan Alana. Ia tidak menyangka Sonia akan menghancurkan usahanya dalam sekejap.

“Lan, muka gue sekusut itu ya?” tanya Sonia sambil kembali ke tempat duduknya.

 “gue semalam baru pulang dari sekolah, langsung mandi karena semua tenda buat peserta pensi sudah berdiri dengan tegak. Acara ini harus sukses, biar Kak Dewa ngajakin gue kencan,” lanjutnya sambil tersenyum lebar, membayangkan hal-hal indah dalam pikirannya.

Alana menahan tawa mendengar ucapan sahabatnya. 

“Sonia, lo terlalu semangat menghalu,” sahut Jojo dengan helaan napas panjang.

Alana tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia tertawa lepas sambil melihat tingkah konyol kedua sahabatnya.

 “Kalian berdua macam anak-anak sekolah dasar saja, hahaha,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Pagi itu seperti biasanya. Sonia yang ceria, Jojo yang diam-diam menyimpan rasa pada Alana, dan Alana sendiri yang mencoba menjalani harinya dengan senyuman meskipun di balik itu semua, pikirannya penuh dengan berbagai hal.

Di balik tawa bersama sahabat-sahabatku, ada cerita hidup yang tidak sesederhana itu. Tapi pagi ini, aku memilih menikmati waktu bersama mereka, setidaknya untuk melupakan kekhawatiran mami yang terus menghantuiku.

***

SMP Bina Pertiwi sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pentas seni (pensi) tahunan. Seluruh siswa terlihat antusias, tak terkecuali Sonia, yang menjadi anggota OSIS dan dipercaya menjadi ketua panitia acara tersebut. Sonia adalah sosok yang penuh semangat, selalu riang, dan gemar bercanda, tapi ia juga sangat serius jika menyangkut tanggung jawabnya.

Namun, ada satu hal yang membuat Sonia lebih bersemangat kali ini yaitu Kak Dewa.

Kak Dewa adalah siswa kelas 9 yang terkenal sebagai gitaris utama band sekolah, The Pioneers sekaligus sekretaris OSIS. Dengan wajah rupawan, pembawaannya yang tenang, dan suaranya yang berat namun ramah, Kak Dewa adalah idola banyak siswa, termasuk Sonia.

Hari itu, Sonia sibuk memeriksa properti untuk pensi. Ia mondar-mandir di aula sekolah, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Alana, yang ikut membantu, memperhatikan sahabatnya yang tampak lebih enerjik dari biasanya.

“Son, lo kenapa sih heboh banget? Padahal biasanya juga santai,” tanya Alana sambil menyerahkan catatan daftar kebutuhan.

Sonia berhenti sejenak, menoleh ke Alana dengan senyum lebar. 

“Al, Kak Dewa kan tampil di acara pensi ini! Bayangin dong, dia itu dewa di dunia nyata, gue harus bikin acara ini sempurna biar dia terkesan,” ucapnya penuh antusias.

Alana hanya menghela napas sambil tersenyum.

“Son, lo serius mau cari perhatian Kak Dewa? Dia kan populer banget. Nggak takut saingan sama banyak cewek?” godanya.

“Al, gue ini bukan cewek biasa. Gue punya misi, visi, dan eksekusi! Kalau bukan gue yang mendekat duluan, siapa lagi?” jawab Sonia sambil mengibaskan rambutnya dengan gaya dramatis.

Di hari gladi bersih, Kak Dewa dan bandnya mulai tampil untuk mencoba tata suara. Sonia berusaha keras untuk tetap profesional, meskipun dalam hati ia gugup setengah mati.


“Kak Dewa, microphonenya sudah pas belum? Kalau ada yang kurang, bilang ya,” ucap Sonia sambil mencatat sesuatu di clipboard.

Kak Dewa menoleh dan tersenyum. 

“Udah bagus kok Sonia. Lo keren banget jadi penanggung jawab panggung. Pensi tahun ini pasti sukses besar,” ucapnya santai.

Sonia hampir menjatuhkan clipboardnya. Kak Dewa memujinya! Ia mencoba terlihat tenang meskipun dalam hati hampir melompat kegirangan.

“Eh, makasih Kak. Kalau ada yang kurang nanti kasih tahu aku ya,” jawab Sonia, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.

***

Hari pensi tiba, dan seperti yang diduga, aula sekolah penuh sesak dengan siswa dan tamu. Penampilan The Pioneers menjadi salah satu yang paling ditunggu. Ketika Kak Dewa naik ke panggung, sorakan riuh memenuhi ruangan.

Sonia, yang berdiri di dekat panggung untuk mengawasi jalannya acara, mencuri pandang ke arah Kak Dewa. Pandangan mereka sempat bertemu, dan Kak Dewa tersenyum kecil ke arahnya sebelum memetik gitarnya. Sonia merasa jantungnya berdegup kencang.

Saat pertunjukan selesai, Kak Dewa mendekati Sonia sambil membawa gitarnya. Wajahnya masih berseri setelah tampil mengesankan di atas panggung.

“Sonia, makasih ya. Pensi ini sukses banget. Lo hebat,” ucapnya dengan tulus sembari memberikan dua jempolnya, tanda memantapkan ucapan terima kasihnya.

Sonia tertegun sejenak, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Kak Dewa, sosok yang selama ini ia kagumi, memujinya secara langsung! Dengan gugup namun penuh semangat, Sonia membalas, 

“Eh, iya Kak. Sama-sama. Itu karena kerja keras tim kok dan bimbingannya kak Dewa selaku sekretaris OSIS."

Tapi Kak Dewa hanya tersenyum, tatapannya begitu menenangkan. 

“lo panitia yang keren, Son. Kalau bukan karena lo, acara ini nggak bakal sebagus ini,” lanjutnya, membuat Sonia hampir lupa cara bernapas.

Tiba-tiba, Kak Dewa menyerahkan pick gitarnya ke Sonia. 

“Ini buat lo. Anggap aja kenang-kenangan dari pensi ini,” katanya santai, seolah hal itu biasa saja.

Sonia menerima pick itu dengan tangan gemetar, senyum malu-malu menghiasi wajahnya. 

“Makasih Kak, aku bakal simpan baik-baik,” jawabnya pelan.

Malam itu, Sonia tahu bahwa usahanya tak sia-sia. Tak hanya karena pensi berjalan lancar, tetapi juga karena ia akhirnya memiliki kenangan spesial dengan Kak Dewa, kenangan yang akan terus ia simpan dalam hati.

Alana, yang melihat semuanya dari kejauhan, hanya tertawa kecil sambil berbisik pada dirinya sendiri,

“Sonia dan mimpinya akhirnya tercapai juga.”

Malam itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi Sonia, bukan hanya karena pensi yang sukses besar, tapi juga karena kenangan manis bersama Kak Dewa, sosok yang selalu ia kagumi selama menjadi siswi SMP Bina Pertiwi.

***

Hari itu suasana SMP Bina Pertiwi dipenuhi emosi haru. Para siswa kelas 9, termasuk Kak Dewa, sedang merayakan hari kelulusan mereka. Aula sekolah didekorasi megah dengan balon dan bunga, sementara para siswa berseragam lengkap tampak sibuk berfoto bersama. Sonia dan Alana, yang kini berada di kelas 8, berdiri di sudut aula sambil memandangi Kak Dewa dari kejauhan.

Sudah 3 bulan berlalu sejak pentas seni yang mempertemukan mereka dalam momen spesial. Namun, selama itu pula, Sonia hanya menyimpan rasa kagumnya pada Kak Dewa dalam hati. Ia takut jika perasaannya akan mengubah hubungan mereka yang sudah cukup hangat sebagai teman.

“Son, ngapain bengong? Ayo foto bareng Kak Dewa sebelum dia sibuk!” ucap Alana, menyenggol sahabatnya yang tampak ragu.

“Gue... gue malu, Al,” jawab Sonia pelan, matanya masih terpaku pada sosok Kak Dewa yang sedang bercanda dengan teman-temannya.

Lihat selengkapnya