“Kring... Kring... Kring...”
Telepon rumah berdering. Alana bergegas mengangkatnya, merasa ada sesuatu yang tidak biasa.
“Halo,” ucap Alana.
“Apakah benar ini kediaman Ibu Kirana Nayla Salsabila?” suara seorang pria di seberang terdengar tegas.
“Iya, saya anaknya. Dengan siapa ini?” tanya Alana dengan nada khawatir.
“Kami dari kepolisian. Mobil Ibu Nayla terlibat kecelakaan lalu lintas di jalan Veteran Bogor. Saat ini Ibu Nayla kami bawa ke rumah sakit terdekat untuk ditangani.”
Telepon itu membuat dunia Alana terasa runtuh. Jika saja ia tidak membiarkan maminya pergi saat itu, mungkinkah takdir akan berbeda?
Alana mengingat semua momen dengan maminya. Dia pikir masih punya cukup waktu untuk menebus semua kesalahan, untuk menunjukkan betapa ia mencintai maminya.
Lagi pula, Nayla adalah maminya. Seseorang yang selalu menunggunya, selalu memaafkannya. Air mata mulai membanjiri wajah Alana, saat ia tiba di rumah sakit akan tetapi Nayla sudah menutup mata untuk selamanya.
"Mami... Mami... ini Alana, Mami," isaknya saat melihat sepasang sepatu yang ia belikan untuk Nayla agar mereka bisa jogging bersama di masa pandemi.
"Pernahkah aku membayangkan dunia tanpa mamiku? " pikir Alana. Kini, ketika ia memanggil “Mami,” tak ada pelukan atau ciuman hangat lagi.
Di rumah sakit, Alana tak kuasa menahan tangis melihat tubuh Nayla yang terbaring kaku. Semua rasa sakit dan kehilangan menyeruak. Di tengah duka itu, Angga, papinya, datang.
“Alana...” Angga mencoba berbicara, tetapi Alana memotongnya dengan tatapan penuh amarah.
“Kenapa Anda tidak menjawab telepon saat mami menelepon? dia menelepon Anda tiga kali sebelum meninggal!” sergah Alana dengan suara bergetar.
“kalau anda angkat telepon mami saya tak akan pergi menemui anda, dan kecelakaan ini tak kan terjadi”. Tambahnya dengan suara yang mulai terisak
Angga terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia mencoba mendekati Alana, tetapi gadis itu mundur.
“Jangan sentuh saya,” ucap Alana tegas.
“Anda tahu kenapa selama ini saya tetap menghormati anda? Kenapa saya berusaha keras tersenyum di depan anda meskipun tahu anda berselingkuh dengan wanita itu? Saya melakukannya hanya untuk mami, agar hatinya tidak terluka. Tapi pada akhirnya, Anda tetap membuatnya terluka!”
Air mata Alana semakin deras.
“terkadang mami bilang... dia merindukan anda,” lanjutnya dengan suara parau.
Angga tertegun. Kata-kata itu menusuk hatinya.
“Jika saya bisa kembali ke masa lalu, saya ingin mencegah mami mengenal Anda. Saya ingin memastikan dia tidak pernah bertemu anda, tidak pernah mencintai anda. Dengan begitu, dia tidak akan hidup dalam batin yang anda ciptakan!!”
Alana berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya, tetapi rasa sakit itu terlalu besar.
“Dia tidak perlu tinggal bersama orang-orang yang melukainya. Saya ingin memastikan dia bahagia, tetapi saya tidak bisa. Itu mustahil...” Alana menutup wajahnya, menangis tanpa henti.
Angga hanya bisa berdiri di sana, merasa bersalah dan hancur, menyadari bahwa penyesalan datang terlambat. Kini, Nayla sudah pergi, membawa semua luka dan cinta yang tak pernah terbalaskan sepenuhnya.
***
Setelah pemakaman Nayla selesai, suasana masih dipenuhi duka. Para pelayat mulai meninggalkan lokasi, sementara Alana dan Angga masih berdiri di dekat makam, terdiam dalam pikiran masing-masing.
Tiba-tiba, seorang polisi yang menangani kecelakaan Nayla mendekati mereka. Ia membawa sebuah kantong plastik bening yang berisi barang-barang milik Nayla yang berhasil diselamatkan dari mobil yang tenggelam.
Pak Angga, mbak Alana, ini beberapa barang yang ditemukan di mobil Ibu Nayla. Kami pikir anda ingin memilikinya,” kata polisi itu dengan nada sopan.