Sepulang dari rumah pak Kyai, aku dan mas Todhy ngobrol di mobil sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Aku tanyakan sama mas Todhy, apa yang menjadi pilihannya, karena apa yang disampaikan pak Kyai menurut aku sangat jelas, dan sangat bisa menjadi pertimbangan.
Sedikit pun aku tidak berusaha mendesak mas Todhy, agar segera menikahi aku. Prinsip aku tidak berubah, kapan pun mas Todhy mau menikahi aku, tidak akan menjadi persoalan, yang penting aku sudah tahu niatnya.
Mas Todhy tidak memberikan jawaban yang terlalu jelas, baginya segera atau di tunda soal pernikahan aku dan dia, semuanya tergantung kehendak Tuhan. Kalau pun disegerakan Tuhan, tentunya hanya Tuhan yang punya alasan, begitu pun kalau seandainya Tuhan menundanya, tentu hanya Tuhan yang tahu alasannya.
"Sebagai manusia, kewajiban kita hanya berprasangka baik terhadap rencana Tuhan Runi", kata mas Todhy
Aku mengamini apa yang dikatakan mas Todhy, karena aku pun meyakini persoalan jodoh, juga seperti itu. Tidak ada yang bisa disegerakan, kalau memang Tuhan mau menundanya, begitu juga sebaliknya.
Alur berpikir mas Todhy sangat realistik dan religiustik, sehingga sandarannya selalu pada kehendak Yang Maha Kuasa. Dia berusaha menempatkan dirinya dalam ketiadaberdayaannya dalam menghadapi kehendak Tuhan.
Bagi mas Todhy, apa yang dilakukannya saat ini, hanyalah sebatas ikhtiar, yang hasilnya sangat tergantung pada kuasa Tuhan. Begitulah posisi manusia dalam pandangannya dihadapan Tuhan. Tidak mendahului kehendak dan kekuasaan-Nya, hak manusia hanya sebatas ikhtiar, selebihnya hak Tuhan Yang Maha Berkuasa.
Mendengar berbagai penjelasan mas Todhy selama dalam perjalanan, membuat aku tambah yakin untuk menjadi isterinya. Mas Todhy sama sekali tidak ingin mendahului apa yang belum menjadi ketetapan Tuhan.
Dia benar-benar menempatkan diri sebagai seorang hamba Tuhan, yang punya kewajiban mengabdi kepada-Nya, tidak lebih dari itu. Sehingga dalam mengambil keputusan pun dia harus berpegang kepada semua itu.
Secara prinsip, mas Todhy memilih untuk menunda sampai aku melahirkan, menurutnya itu adalah jalan yang paling terbaik. Dia takut sebagai manusia dia tempatnya khilaf, dan itulah makanya dia tidak ingin menikahi aku saat aku sedang hamil, meskipun agama tidak melarangnya, namun syaratnya itu yang dikuatirkannya akan terlanggar.
Mas Todhy juga berpikir, kehamilanku sudah mau memasuki bulan ke enam, dan itu artinya tidak lama lagi aku akan melahirkan. Itulah makanya dia mempertimbangkan untuk menunda pernikahan, sampai setelah aku melahirkan.
Tidak terasa kami sudah hampir sampai di rumah. Aku melihat mas Todhy sedikit pun tidak merasa berat, dengan keputusan yang sudah diambilnya. Aku pun begitu, aku lebih mengikuti apa yang terbaik menurut calon imamku, dan aku tidak akan membantahnya, karena semua pilihan itu sudah dipertimbangkannya secara matang.