Pada minggu yang cerah, selepas tadi malam membuat janji untuk bertemu. Akupun datang ke tempat yang sudah ditentukan oleh Ara. Sebuah café yang tidak terlalu ramai menjadi tempat yang dia pilih. Setelah memarkirkan sepeda motor, aku pun membuka ponselku untuk menghubungi gadis itu.
“Halo, Ra. Aku baru aja sampai, posisi kamu dimana?”
“Langsung ke dalam aja. Aku sudah di dalam, di lantai dua, pojok kanan dekat kaca ya!”
Detik setelah percakapan itu berakhir aku langsung melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam café itu. Café nya bagus, sangat cocok untuk sekedar bersantai dan mencari ketenangan.
Aku berjalan menaiki tangga menuju lantai dua café itu. Setelah sampai diatas, aku menoleh ke sebelah kanan, kulihat gadis itu sudah duduk rapi sambil memainkan layar sentuhnya di pojok dekat kaca. Aku sedikit tertegun melihat betapa cantiknya gadis ini, entah kebetulan macam apa yang semesta coba kirimkan sehinga membuat kami bertemu di jembatan dua bulan yang lalu. Tapi yang jelas aku sangat bersyukur atas semua yang sudah semesta beri.
“Hei, sudah lama?” Ujarku membuyarkan lamunannya.
“Nggak juga, paling baru lima menitan,” balasnya.
“Gimana hari ini, menyenangkan?” tanyaku.
“Hari ini sih baik-baik aja, ada manisnya dan ada pahitnya juga. Tapi itu kembali lagi pada kita sendiri, tergantung bagaimana kita menyikapinya,” jawab Ara.
“Haha, udah kayak es campur aja. Ada manis, ada pahitnya,” balasku sambil tertawa yang ternyata juga menular pada Ara.
“Eh, tapi emang ada ya es campur rasanya pahit?” Ara bertanya dengan heran.
“Ada di siteba. Nanti kapan-kapan aku ajak kesitu, mau?”
“Mmm, boleh deh.”
Kami menghabiskan waktu cukup lama di café itu. Ara banyak bercerita tentang dirinya, dan aku lebih berfokus untuk menjadi pendengar yang baik. Aku berusaha untuk membuatnya nyaman berbincang denganku. Waktu itu juga aku tahu kalau Ara sangat suka melukis. Katanya suatu saat nanti dia ingin mempunyai sebuah galeri seni yang nantinya akan memamerkan karya lukis nya. Dan aku hanya diam dan mengamini keinginan gadis itu.
Karena terlalu asyik mengobrol ternyata jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Ara pun langsung mengembalikan payung yang waktu itu ku pinjamkan.
“Ini payung kamu aku kembalikan, terima kasih ya berkat kamu Aku masih sempat untuk membeli pesanan ibu waktu itu,” Ujar Ara sambil mengulurkan payung itu kepadaku.
Akupun tersenyum, kemudian mengambil payung itu dari tangan nya. “Iya, sama-sama Sukma. Eh, Ara,”
“Gemaaa, nama saya Ara bukan sukma. Kalau kamu manggil aku dengan nama itu lagi, aku pulang,”
Ara tampak kesal dengan nama panggilan itu. Aku sebenarnya tau kalau itu nama ibunya, aku hanya usil mengerjainya. Kali ini dia mengalihkan pandangannya dariku. Jujur saja, dia kelihatan lebih anggun saat ngambek begini. Ingin rasanya aku mencubit pipinya yang gembul karena kesal itu, tapi aku urungkan sebab itu akan membuat suasana menjadi canggung.
“Aku cuman bercanda, maaf ya.” Ucapku mencoba merayunya.
Ia hanya diam tak menggubris perkataanku. Pandangan nya hanya lurus melihat kearah jalan raya. Aku merasa tidak enak hati, sebab baru saja kami kenal aku sudah membuatnya kesal. Satu menit, dua menit, tiga menit, empat menit, hingga lima menit pun berlalu tanpa mengucapkan satu patah katapun.
Aku hanya diam bersama nya yang juga terus diam. Lama kami tak saling melanjutkan percakapan. Ah, aku tak tahan lagi harus lama-lama dalam situasi seperti ini.
“Ra, maaf ya aku tadi hanya bercanda.” Ujarku memberanikan diri memecah keheningan.
Gadis itu menoleh kearahku, kemudian menganggukkan kepalanya. Tapi dia masih saja diam tak mengeluarkan satu patah katapun.
“Habis ini, kamu ada acara nggak?” aku kembali bertanya.
“Tidak, belum aku pikirkan.” Jawabnya singkat.