Serupa Senja, Kita pun Tenggelam

Teman Tualang
Chapter #7

Tabir Terbuka: Kepingan dari Masa Lalu

Siang ini Aku sedang berada dirumah nya Ara. Seperti janjiku kepadanya beberapa hari yang lalu, bahwasanya hari ini Aku akan mengajaknya mencicipi Es Campur yang pernah kuceritakan kepadanya, jika kalian masih ingat cerita pertemuan kami yangke dua di café waktu Ara mau mengemblaikan payung, tentu kalian akan tahu alasan nya. Untuk alasan itulah aku menjemputnya sekarang. Tapi sudah setengah jam Aku menunggu, gadis itu masih belum menunjukan batang hidungnya, beruntungmasih ada sang ibu yang mau menemaniku berbincang di teras sambil menunggu gadis itu selesai dengan aktivitasnya.

Berbicara dengan ibu nya Ara, mengingatkan ku pada ibuku dirumah. Beliau ini orang yang sangat menyenangkan saat diajak berbicara, baik dan sopan tutur katanya. Dari sang ibu, akhirnya Aku mengetahui sedikit demi sedikit tentang kehidupan Ara. Ternyata apa yang selama ini Aku lihat tentangnya tidak selalu benar. Ara yang ceria dan murah senyum, ternyata menyimpan begitu banyak duka dibalik sikapnya itu.

Aku pun mulai mengerti kenapa lukisan yang dibuat Ara waktu itu begitu menarik perhatianku, ternyata makna nya memang dalam, lukisan itu merupakan suara-suara yang selama ini tidak mampu Ara ceritakan kepada orang lain. Ternyata gadis yang Aku lihat selalu ceria dan tangguh itu juga rapuh, hanya saja dia pandai menyembunyikan nya. Tapi masih ada satu hal yang ingin kuketahui siapa lelaki yang dimaksud sang ibu. Aku sudah tak sabar untuk mendengar apa yang akan diucapkan sang ibu selanjutnya, tapi diakhir kalimat ibunya Ara menghentikan ucapan nya, membuatku Aku yang sudah kepalang ingin tahu ini akhirnya membuka suara.

“Tapi, apa bu?” tanyaku yang sudah penasaran dengan jawaban cerita Ibu nya Ara.

Detik setelah itu, ketika sang ibu ingin melanjutkan ucapan nya. Tiba-tiba suara sang anak membuat kalimat itu tak kunjung keluar dari mulut sang ibu.

“Wih, kelihatannya seru banget nih. Ngobrolin apa sih, buk?”

Ibunya Ara diam tak mengubris pertanyaan barusan. Aku paham, mungkin dia tidak ingin Ara tahu tentang apa yang tadi kami bicarakan, atau mungkin Ara memang tidak ingin membaginya kepada orang lain, sehingga sang ibu memilih untuk diam.

“Ngobrolin kamu yang dandanya lama banget,” ujarku mengalihkan pembicaraan.

“Emang, iya bu?” tanya Ara.

Sang ibu hanya membalas dengan senyuman yang berhasil membuat muka Ara memanyunkan bibirnya.

“Makanya kalau dandan itu jangan lama-lama, masa dandan doang bisa satu jam,” ucapku meledek Ara.

“Kamu mana tahu, kan kamu cowok,” balasnya ketus.

“Sudah-sudah, jangan berantem disini! Katanya mau pergi.” Sang ibu berusaha meredakan kekesalan Ara, yang sekaligus menjadi pertanda bahwasannya beliau memberi Aku izin untuk mengajak anak gadisnya itu jalan.

“Eh, iya lupa. Kalau begitu kami pamit dulu ya bu,” ucapku kemudian menyalami tangan sang ibu yang kemudian juga diikuti oleh Ara.

“Eits, tapi jangan kemalaman ya pulang nya!” ujar sang ibu. Sosok yang dari tadi kulihat lembut sekarang berubah jadi sedikit lebih tegas, matanya seakan memberikanku peringatan. Tapi Aku juga mengerti, itu naluri seorang ibu untuk melindungi anak kesayangan nya itu.

“Siap, Bu.”

Setelah berpamitan kami pun langsung berangkat dengan mengendarai sepeda motorku.


 * * *


Hembusan angin menerpa wajah mereka saat sepeda motor tua itu menerabas jalanan Kota Padang dengan begitu lincahnya. Dua anak manusia itu larut dalam keheningan dan kenyamanan pada situasi yang mereka sendiri tidak bisa tafsirkan.

“Katamu tempat penjual Es Campur nya di Siteba, Gem. Tapi ini kok kita arahnya beda?”

“Memang, Aku sengaja merubah rute dan mencari jalur lain kearah sana.”

“Sengaja, untuk?”

“Untuk mengajakmu berkeliling Kota Padang, kamu menyukainya bukan?”

“Ibu yang bilang, ya?”

Lihat selengkapnya