Serupa Senja, Kita pun Tenggelam

Teman Tualang
Chapter #8

Aku hanya Ingin Mencintaimu

“Hingga dia datang dan memberi kembali warna pada hiduku, dia juga yang membuat aku kembali bersemangat untuk mealanjutkan hidup. Tapi itu semua tidak bertahan lama.”

Ara menggantung kembali kalimatnya. Tangis nya pecah, tak sanggup lagi ia menahanya. Semakin kumengerti betapa beratnya luka yang gadis ini tanggung sendirian, dia selalu berusaha kuat demi tidak membuat sang ibu khwatir. Tapi disini sekarang, ia mencurahkan segalanya, melepaskan apa yang seharusnya tidak dia pendam itu.

“Disaat aku mulai menemukan kembali alasan untuk menjalani hidup lebih baik, dia tiba-tiba hilang tanpa kabar dan tak tau rimbanya. Dialah yang memberi warna di hidupku namun dia juga yang membuat warna itu kembali abu-abu,” tukas Ara melanjutkan.

Setelah tangisnya mereda Aku memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh, “Boleh Aku tahu siapa dia yang kamu maksud?”

Ia menghela nasfas kemudian berujar, “Namanya Rian, seniorku di fakultas seni. kami bertemu di kelas dalam mata kuliah yang sama. Aku tidak mnengenalnya waktu itu, aku pikir dia juga maba sama sepertiku tapi ternyata aku salah, dia adalah mahasiswa semester 5. Seorang asdos pada mata kuliah yang sedang aku ambil itu. Akibat dari memperlakukannya seperti maba, dia marah dan mengumpulkan para asdos yang lainnya untuk menghukumku, aku dihukum untuk membuat sebuah lukisan, yang mana lukisan itu akan mereka jadikan untuk melengkapi pameran mereka yang satu minggu lagi akan digelar. Aku menerima hukuman itu dan berhasil menyelesaikannya tepat waktu. Dan mulai sejak itu kami menjadi akrab, hingga pada akhirnya kami sepakat untuk menjalin hubungan. Namun, itu semua tidak bertahan lama. Lima bulan yang lalu tiba-tiba saja dia menghilang tanpa memberi kabar sedikit pun kepadaku. Aku sudah berusaha mencarinya tapi nihil, bahkan ketika aku mendatangi rumahnya, dia dan keluarganya sudah tidak lagi tinggal disana. Setelah membuat aku kembali bersemangat, dalam waktu singhkat dia juga mematahkan kembali semangat itu. Itulah yang coba aku sampaikan pada lukisan yang kamu lihat waktu itu, luapan isi hati dari seorang perempuan yang ditinggalkan tanpa diberi penejelasan” ucap Ara menjelaskan.

Sekarang Aku mengerti semua makna dibalik lukisan itu. Aku benar-benar tidak menyangka akan terjebak dalam perasaan yang begitu rumit ini setelah mendengar jawaban nya. Aku tidak tahu harus sedih atau senang. Disatu sisi Aku memiliki peluang untuk terus bersamanya, namun sebaliknya Aku harus siap menerima bahwa Aku hanya akan menjadi bayangan yang terus mengikutinya. Sudahlah, Aku hanya ingin mencintai gadis ini dengan tulus dan semampu yang Aku bisa. Perihal berbalas atau tidak, biarlah semua itu menjadi kendali waktu.

“Ra, mulai sekarang kamu bisa membagi kesedihanmu kepadaku. Aku akan menemanimu melewati masa-masa sulit itu,” ucapku sambil mengelus rambutnya yang terurai.

Gadis itu mengangguk kemudian meletakan kepalanya di pundakku. Detik itu juga Aku tahu bahwa hatiku akan terus terluka. Tapi Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merawatnya, menghiburnya saat dia merasa hancur, dan memberikan dukungan saat dia merasa sendirian. Meskipun setiap hari aku harus menghadapi kenyataan bahwa gadis yang Aku cintai itu masih terjebak di masalalunya. Aku tetap bersikeras untuk tetap berada disampingnya. Bagiku, kebahagiaanya lebih penting daripada rasa sakit yang harus aku alami.



※※※


Aku berjalan turun menuruni satu persatu anak tangga itu, setelah satu jam bergelut dengan mata kuliah Analisa Struktur yang cukup menguras isi kepala. Aku tidak langsung pulang, melainkan memilih untuk mampir ke kantin belakang kampus. Dengan langkah lesu, Aku mendekati meja kosong di sudut kantin, duduk dengan kepala tertunduk.

Sementara disekitarku, para mahasiswa sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Tawa riang dan obrolan seru mengisi udara, tapi bagiku, semuanya terasa seperti jauh di luar jangkauanku. Aku terjebak dalam cinta yang rumit, dalam peran yang harus puas hanya sebagai penenang. 

“Bengong aja, Gem.” Sebuah suara berhasil memecah lamunanku. Aku menoleh berusaha mencari sumber suara. Dayat dan Thomas sudah duduk manis pada kursi di depanku.

“Kalian, toh. Kiraian siapa,” balasku singkat. 

Lihat selengkapnya