Di sudut kota Dharmasraya kami berusaha mencari alamat yang kami tuju, bermodalkan sebuah foto kecil yang dibaliknya terdapat sebuah alamat. Ara bersikeras bahwa dia harus mengetahui keberadaan Rian, meskipun dia telah lama menghilang tanpa jejak.
Setelah mencari kesana-kemari akhirnya kami menemukan alamat tersebut. Sebuah rumah dua lantai yang sepertinya sudah lama tidak dihuni ada tepat didepan kami.
"Disini pasti ada petunjuk" gumam Ara, suaranya bergetar dalam ketidakpastian.
Aku menelan ludah, menahan keinginan untuk mengaku bahwa Aku tidak suka melihat Ara terluka. "Kita harus hati-hati," ucapku, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatiku berdebar kencang.
Kami terpaksa memanjat pagar tembok yang tidak terlalu tinggi, sebab gerbang yang menjadi satu-satunya akses masuk dikunci dan tidak ada jalan lain selain melewati pagar itu.
"Kita harus memeriksa nya kedalam," kata Ara, suaranya bergetar.
Aku mengangguk. Kami mencoba mencari jalan masuk tapi nihil, semua pintu dikunci rapat. Setelah cukup lama mencari, akhirnya kami memilih untuk keluar dari halaman rumah itu.
"Sepertinya kita gagal lagi," kata Ara dengan suara parau, tangannya gemetar saat dia mengucapkan kalimat itu.
"Kita akan menemukannya," ucapku dengan tegas, mencoba menenangkan Ara.
* * *
Hampir menyerah pada keputusasaan, tiba-tiba seorang laki-laki tua mendekat kearah kami, dia mengaku orang yang diamanahkan keluarga Rian untuk menjaga rumah ini. Bapak itu menyerahkan sebuah amplop putih kepadaku, kemudian berlalu pergi. Tanganku gemetar membuka sebuah surat yang ada didalam amplop itu.
"Apa ini, Gema?" tanya Ara, suaranya penuh harap.