Pintu mobil terbuka. Lelaki dengan kemeja biru dan celana chinos abu-abu masuk beriringan dengan koper yang diletakkan di bagasi belakang oleh supir.
Lelaki itu mendaratkan kepalanya pada bantalan jok lalu memejamkan mata. Mengambil waktu perjalanan untuk tidur. Benar kemauanya dipenuhi begitu mudah. Dia tertidur. Begitu lelap sampai kedua bibirnya berjauhan.
Sekian waktu begitu lelap didapatkan sepertinya sudah kehabisan waktu. Bayang perempuan menyambangi kedua matanya ringan namun secepat angin untuk dirasakan kehadirannya.
"Jangan lupa jemput aku!"
Bisik perempuan itu mengusik telinga. Menghenyakkan tidur. Mata lelaki itu buru-buru mengambil sedikit cahaya. Dia bangun.
"Huh...huh...huh...huh." deru napasnya menyenggal. Jakunnya bergejolak turun naik sekejap dibantu otot tenggorokan menelan ludah amat dalam.
Pandangan Supir saling berjumpa di spion tengah, "Mas Nehan, baik-baik saja?"
Nehan lelaki itu menyusur singkat pandangan seluruh mobil. Mengambil air minum yang disediakan. Menenggak hingga setengah botol. Lalu mengusap keringatnya sebelum menjawab pertanyaan supir.
"Alhamdulillah, saya baik-baik saja Pak. Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya. Oh iya, nanti melipir sebentar ya Pak di tempat biasa. Saya sepertinya lapar. Kita makan bareng."
"Baik, Mas!" Jawab Pak Supir singkat beserta anggukan.
Nehan merebahkan tubuhnya sesampai di rumah. Menarik napas menurunkan perlahan hingga tenang. Dia beranjak menyapa beberapa punggung buku hingga salah satu dari mereka diajak keluar turut ikut merebah kembali di kasur bersamanya.
Buku catatan yang lumayan tebal. Langsung membuka halaman yang ditandai pembatas biru. Sebuah sketsa gambar wajah perempuan. Dia tatap begitu lama. Kemudian beralih pada halaman kosong, mencatat tanggal hari ini dengan sebuah kalimat.
Dia mengingatkan untuk dijemput.
"Besok-besok beritahu aku dimana aku harus menjemputmu. Huft... menyebalkan!"
Pintu kamar Nehan dibuka, Mama muncul setelahnya.
"Kenapa kamu enggak bilang sama Mama kalau pulang? Pergi pulang seenaknya tanpa pamit. Seperti burung liar di hutan. Memangnya rumah Mama ini hutan apa? Memangnya Mama melahirkan burung? Kok, kamu enggak ada menghormati Mama sih?" Mama menghentikan omelannya tepat setelah telapak tanganya menyentuh punggung Nehan.
Nehan berbalik. "Aku buru-buru, Ma! Bukannya enggak menghormati Mama, aku pikir bisa bikin surprise aja gitu. Assalamualaikum, Ma! Mama kelihatan sehat dan cantik sekali." Nehan mencium tangan Mama berurutan dengan mencium kedua pipi Mama.
"Waalaikumussalam, alhamdulillah! Anak Mama juga kelihatan makin ganteng aja sekarang. Gimana pengalaman disana, nyaman? Seru? Tapi, ya, Mama bakalan makin sehat kalau kamu bawa pulang menantu untuk Mama. Biasalah sudah masuk fase iri lihatin teman-teman Mama nimang cucu."
"Pengalamannya seru, Ma! Banyak ilmu pengetahuan yang bisa diambil. Menurut Nehan, bekalnya sudah cukup. Nehan mau menerapkan ilmunya disini, di negeri Nehan sendiri. Kalau masalah menantu, Mama harus yakin aja sama takdir Allah, jodoh sudah digariskan Ma."
"Mama tanya dari Pak Darto, kamu mimpi lagi di mobil tadi, apa kabarnya kali ini? Melepasmu?" Mama mengernyitkan dahi penasaran.
"Enggak. Dia mengingatkan untuk dijemput. Tapi, ya, Nehan sendiri bingung mau jemput dimana. Harusnya kasih clue jemputnya dimana."
"Nak, menurut Mama sepertinya kita harus berhenti menyakini hal itu. Bukannya Mama mau mengingkari janji Mama, tapi ini rasanya sudah terlalu lama. Kamu sampai habis melalap semua buku dan sekolah mulu."