Seharusnya Adine memulai egois dari sini hingga rasa sesalku tidak menyakiti terlalu dalam.
Sebelumnya, tanpa bekal Adine berani pergi sekolah sewaktu TK.
Sebelumnya, tanpa uang jajan, sepatu koyak, dan seragam lusuh kian, Adine berani pergi ke sekolah sewaktu SD.
Sebelumnya, Adine pernah bergantian memakai tas dengan kakaknya, sehari Adine yang sekolah, sehari kakaknya yang sekolah, bergantian memakai satu tas yang sama sebab belum ada tas baru. Bahkan pernah seminggu Adine libur karena tas itu harus dipakai kakaknya pergi ujian. Pernah sewaktu SMP.
Sebelumnya, Adine pernah menumpang-numpang kereta untuk pergi ke sekolah dari satu kawan ke kawan yang lain. Meski dengan kawan pertama itu tidak lama karena Adine enggan menyumbang biaya untuk pembetulan kereta miliknya. Toh, itu kereta hanya ditumpangi pergi pulang sekolah saja. Acara lain atau lain waktu tidak pernah. Uang bensin pun kubayar. Dapat dikatakan dia tidak mengeluarkan uang lagi untuk membeli bensin. Dan untuk kedua orang lainnya yang begitu tulus memberi tumpangan pada Adine, Adine berterima kasih sangat.
Sampai Adine dicicilkan kereta, yang kadang diberi uang minyak oleh Ibu, kadang tidak sama sekali. Bahkan uang saku 5000 rupiah perhari harus kuatur kian agar dapat membeli bensin. Karena uang saku pun tidak tentu dapat diberi. Sewaktu SMA Adine masih berani mengambil resiko menyeramkan seperti itu.
Hingga tahun ketiga, belum jelas dipahami bahwa ini tahun terburuk untuk memulai tahun-tahun buruk lainnya di masa yang datang.
Ibu dan Ayah sudah bergelut hebat dengan penyakit Shahena yang tak kunjung jelas penyebabnya. Tetapi Allah Maha Baik, menyembuhkan Shahena dengan hal yang tak terduga. Dalam semalam setelah seminggu dirawat Shahena sembuh usai Ayah dan Adine mendapatkan sebuah mimpi yang hampir sama, bermimpi banyak sekali orang-orang berpakaian putih datang ke rumah. Esok paginya Shahena membaik dan terus membaik pulih.
Setelah usai dengan penyakit Shahena, Ayah dan Ibu dipusingkan kembali dengan surat perintah untuk mengosongkan rumah dinas. Padahal masih ada waktu beberapa bulan lagi jatuh tanggal Ayah pensiun. Hal ini dikarena perombakan cabang baru, nama Ayah masih ada di cabang lama, tidak ikut ke cabang baru maka dari itu rumah dinas tersebut tidak diizinkan untuk cabang lain. Sebenarnya ada juga yang bahkan sudah pensiun lama tetap diizinkan untuk tinggal. Tidak lain tidak bukan ini ulahnya kepala barak yang baru, yang mempunyai dendam kesumat dengan Ayah. Ibu yang sudah tidak bisa berharap lagi dengan gaji Ayah yang tidak seberapa setelah dipotong hutang berobat Shahena sana sini, menjadi bingung. Ditambah lagi dengan hutang pesta pernikahan kakak pertamaku yang masih ada. Belum lagi biaya untuk Adine kuliah. Dan lagi biaya kuliah kakak keduanya. Semuanya membuatnya pusing.
Seminggu kemudian pengumuman SBMPTN keluar. Adine lulus di prodi Pendidikan Kimia di salah satu ptn di Medan.
Mengetahui UKT yang harus dibayar setara dengan gaji bersih Ayah sebulan, Ibu seperti kesal. Kemudian Ibu memintaku menunda untuk berkuliah di tahun ini. Meminta Adine untuk menunggu di tahun depan. Namun Adine bersikukuh untuk kuliah setelah berkonsultasi dengan guru fisikanya sewaktu SMA. Ibu malah makin marah yang menurut Adine alasannya tidak masuk akal.
"Jangan kau ikutin anak orang kaya. Semua-semua kau ikutin anak orang kaya. Udah kubilang juga kan dulu jangan masuk SMA itu! Kau masuk juga, sama kek sekarang."
"Tapi kan Mamak yang bilang ambil di Unimed aja. Biar dekat sama keluarga disana. Kuikuti Mak! Aku mau kuliah. Aku enggak mau terus-terusan jadi tukang cuci baju di rumah ini. Emangnya tahun depan bisa jamin aku kuliah? Aku harus tes lagi. Enggak semua orang Mak bisa lulus. Aku lulus Mak.
Mamak lihatlah anaknya bu Hombing sama yang lain harus ambil mandiri Mak, ada uang pembangunan lagi. Aku enggak Mak. Cuma uang UKT."