Bus itu membawanya semakin jauh dari rumah. Kini dia berada di jalan yang tidak ia ketahui. Ia mengarahkan pandangannya ke luar jendela, sesekali bermain air yang menggenang di sudut-sudut jendela yang tidak rapat. Semua tampak asing baginya; gedung-gedung perkantoran, wajah-wajah yang tidak familiar, bunyi klakson yang angkuh memekakkan telinga. Semua membuat jantungnya berdegup gelisah.
Jalan raya sudah tak seramai tadi, hanya ada beberapa mobil, beberapa motor yang melaju hati-hati dan hujan yang awet menemani perjalanannya sore ini.
Suara musik dangdut koplo yang disetel kuat-kuat oleh kenek bus sejenak bisa meredam kekalutannya. Bagaimana mungkin dia bisa duduk disana dengan tenang, sedangkan Mamanya belingsatan di rumah mencari-cari dirinya yang tak kunjung pulang? Ia menghela nafas panjang. Ia sadar, ternyata ada yang harus ditinggalkan untuk bisa menemukan sesuatu. Mungkin rumahlah yang harus ia tinggalkan untuk saat ini.
Dia tidak tahu sekarang sudah pukul berapa. Dia lupa membawa jam tangan. Sejenak ia menengok ke arah ponsel hitam yang ia simpan di saku jaket, membatin bahwa sebenarnya mudah saja untuk sekedar menghidupkan kembali ponsel yang sengaja ia matikan sebelum masuk bus tadi. Hanya untuk melihat jam apa susahnya? Ia menggeleng, menghela nafas berat. Mendadak mengurungkan niatnya. Ternyata tidak semudah itu ia melawan rasa takut.
Ia kokoh untuk tetap tidak menghidupkannya hingga ia tersadar bahwa matahari sore ini tidak bisa dijadikan patokan waktu karena terhalang mendung. Awan hitam bergumul menutup matahari, tidak membiarkan secercah sinarnya lolos.
Tiiing..Tiing..Tiinggg...!
Nada notifikasi bertenting-denting sesaat setelah ponselnya menyala. Pesan-pesan seolah saling dorong agar bisa masuk ke dalam sistem ponsel yang baru saja bangun itu. Lengang sesaat, ponsel berkapasitas standar itu kelebihan muatan. Layarnya mendadak berubah putih. Dia panik.
“Aduh! Pakai acara nge-hang lagi.” Dia merutuki ponsel miliknya itu sambil terus menekan-nekan layar yang lempeng berwarna putih tidak ada perubahan. Sesaat kemudian akhirnya ia bisa menghela napas lega, satu persatu ikon aplikasi mulai muncul dan sensitifitas layar sentuhnya kembali normal.
Ada dua nama yang mendominasi pesan yang masuk, Mama dan Fani. Tanpa perhitungan yang rumit, dia sudah tahu chatbar mana yang ia mesti buka terlebih dahulu.
Ada 46 pesan dari Fani, sahabat sekaligus teman sebangkunya di SMA Bina Bangsa. Isi pesannya bernada panik, persis seperti dugaannya. Sejenak ia merasa bersalah kepada sahabatnya itu karena tidak mengabari bahwa ia akan pergi sore ini.
“Sorry, Fan…,” bisiknya.
Bus yang setengah kosong ini melaju santai menerobos rapatnya air hujan. Menampilkan tayangan orang-orang berbasah-basahan dari jendela kaca. Deras air hujan yang beradu dengan atap bus menghasilkan simfoni sumbang tak beirama. Seolah tahu, satu orang yang ada di dalam bus sedang ingin dihibur.
Sepersekian detik saat ia akan mengetuk tombol panggil, ponselnya tiba-tiba berdering. Satu panggilan masuk. Ia melonjak kaget dan dua manik matanya seketika melebar. Satu layar mendadak penuh dengan muka seorang cewek berambut keriting dengan topi Monster. Inc berwarna hijau. Fani. Seketika saja suasana hatinya berubah cerah.
“Halo?” sapanya kepada Fani saat tombol terima panggilan ia tekan. Ia menyamankan posisi duduk, meletakkan tas besar yang ada di pangkuan ke kursi kosong di sampingnya.
“Halo halo udah kayak orang bener aja lu!” sambarnya cepat dengan nada melengking yang khas. Untung saja ia sedang duduk sendiri, kalau disampingnya ada orang pasti orang itu akan melonjak kaget. “Lusiana Eliana Pandogo, akhirnya lu ngangkat telpon gue jugaaa. Lu tahu gue udah coba nelpon lu berapa kali? Kalau bukan bestie lu udah gue remek-remek, tau nggak. Kebiasaan deh.”
Cewek ber-photo profile topi Monster Inc. itu memang bawel, terkenal super bawel. Bahkan kebawelannya itu tidak kenal situasi, tidak kenal musim. Asal ada sesuatu yang kurang sreg menurutnya, ia langsung nyerocos tak berhenti-berhenti.
Mungkin itulah salah satu alasan Ibu Wali Kelas menyuruh mereka duduk bersebelahan. Fani bisa mengimbangi sifat dingin cenderung cuek milik Lusiana. Sedangkan Lusiana bisa menularkan sedikit bakat konsentrasinya kepada Fani. Dan ternyata seiring waktu berjalan, Fani, yang semula peringkat tiga terbawah tes seleksi penerimaan siswa baru, kini bisa peringat dua puluh besar di kelas.
Disadari atau tidak, kehadiran Fani pun membuat hidup Lusiana berubah. Hidupnya jadi lebih berwarna. Lusiana memang terkenal ambisius sejak awal, hidupnya penuh dengan target dan tujuan. Spaneng, tidak bisa menikmati masa-masa SMA yang sedang ia jalani sekarang. Tak heran jika dia mendapat julukan Miss Ambis dari teman-temannya karena namanya yang selalu bertengger di baris pertama nilai ujian.
“Apaan, nggak ada telpon yang masuk kok.”
“Jangan ngadi-ngadi deh lu. Sampai panas nih kuping gue.”
Lusiana menggoda sambil tersenyum. “Cuma delapan kali doang. Kurang greget, Fan.”
“Nggak ada akhlak bener. Tiga puluh delapan kali asal lu tau. Lu kemana sih? Kerjaan lu kalo nggak belajar sampai ketiduran ya ngilang. Hobi tuh jangan ilang-ilangan, kasian yang nyari lu capek,” omel Fani, suaranya persis seperti omaelan bu kantin belakang perpus, yang kalau sedang ngomel pasti bibirnya mengerucut sampai bisa diiket karet gelang.
“Tumben nyariin gue, Fan? Ada kabar apa?” tanya Lusiana santai yang langsung disambar dengan cicitan Fani panjang lebar. Kalau sudah begitu tidak ada pilihan lain untuk Lusi selain mendengarkan.