Sesaat Sebelum Senja

Krisan Kuning
Chapter #3

Pesanan Nyonya Besar

Sepeda fixie merah menerobos pekatnya hujan dengan terburu-buru, rodanya gesit meliuk-liuk melewati celah antarkendaraan.

Sepeda itu baru saja keluar dari gerbang besar gedung B sebuah universitas ternama di Jakarta sesaat setelah rintik pertama turun. Pedalnya dikayuh dengan sangat bersemangat, seolah tak peduli derasnya butir-butir hujan yang mengenai sekujur tubuhnya seperti biji mata jarum. Sesekali ia mengusap dua manik matanya, rintik air yang mengenai wajah seolah dipanahkan dari langit. Membuat kulitnya pedih.

Jati mengabaikan kemeja flanelnya yang basah. Ujung-ujung kainnya meneteskan air, menyekap tubuhnya dengan hawa dingin yang merasuk tulang. Ransel hitam miliknyalah satu-satunya benda yang ia jaga dari curahan air hujan, mau tidak mau ia menggunakan kantong plastik seadanya yang ia dapat di selasar kampus untuk melindungi buku materi kuliah di dalamnya.

Setelah lima belas menit menerabas hujan, sebentar lagi Jati akan keluar dari kemelut jalan raya dan memasuki jalan lengang di sisi-sisi taman kota. Pohon-pohon berdahan rindang mulai tampak dari kejauhan. Air mancur besar yang berada di tengah taman pun sudah mulai terlihat seiring dengan jarak sepeda Jati yang semakin dekat dengan tujuan. Jati semakin mempercepat laju sepeda.

Tujuan Jati hanya satu, yaitu sebuah toko kue kecil yang berada di belakang taman kota. Toko kue kecil itu terlihat sangat kontras dibandingkan bangunan di sekitarnya; jendela kaca yang lebar-lebar, pintu dan pilar-pilar kayu berukir berwarna cokelat muda dan lampu temaram bergaya vintage memberi kesan sederhana dan nyaman, tidak seperti gedung-gedung futuristik yang kokoh dan megah menjulang yang mengisi sebagian besar lanskap kota Jakarta.

Jati memarkirkan sepedanya di sisi sebatang pohon pucuk merah di depan toko segera setelah ia sampai, sudah ada Bintari yang berdiri di muka pintu dengan tatapan panik menuntut penjelasan.

"Ya ampun. Kenapa pakai acara hujan-hujanan segala sih? Nunggu sampai hujannya reda juga nggak apa-apa, Jat, nggak usah dipaksain. Sampai basah semua begini, aku kan jadi nggak enak udah nyuruh kamu cepet-cepet kesini tadi."

“Nggak apa-apa kok, cuma hujan air ini.” Jati memeras ujung-ujung kemeja flanelnya yang basah, kemudian mengecek kondisi ransel gendongnya tanpa ekspresi sesal sedikitpun.

"Basah sampai dalem?" tanya Tari yang masih berada di muka pintu. Ia tampak khawatir dengan kondisi ransel Jati yang hanya dilapisi kantung plastik.

Jati menggeleng. "Enggak kok, aman."

"Ya udah buruan masuk gih, aku bikinin jahe anget."

Jati menurut, ia segera berjalan memasuki toko kue menyusul Tari yang berada beberapa langkah di depannya. Tak lupa ia melepas sepatu ketsnya yang basah kuyup dan meletakkannya di belakang pintu masuk.

Jati mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suasana toko lengang, tidak ada satupun pelanggan yang datang. Sebagian kursi bahkan sudah dinaikkan ke atas meja oleh Tari beberapa saat yang lalu. Musim hujan memang berpengaruh terhadap kelangsungan usaha toko kue kecil ini. Walapun sudah dimodifikasi dengan coffee bar kecil yang menyediakan minuman kopi kekinian, toko kue kecil ini masih kalah eksis dibandingkan dengan kafe-kafe bercita rasa anak muda di luaran sana.

"Pak Wayan mana?" tanya Jati ketika sadar bahwa suasana toko tak seperti biasanya, tidak ada pak Wayan yang duduk santai di pojokan sambil menghitung uang kas.

"Pergi," jawab Tari singkat. Tangannya sedang fokus mengupas kulit ari jahe di belakang meja pantry.

"Kemana?"

"Nggak tahu," Tari menggeleng. "tadi nggak sempet pamit ke aku," lanjutnya.

Pak Wayan, pemilik toko kue ini, tak biasanya pergi tanpa pamit. Separuh hidupnya adalah toko kue kecil ini, berjam-jam bisa ia habiskan di sudut ruangan dengan sebuah buku dan croissant hangat sambil menghitung pendapatan toko. Di usianya yang lebih dari setengah abad dengan rambut tak lagi hitam, pak Wayan masih sangat bersemangat menekuni bisnis toko kue warisan keluarga dibantu oleh Jati dan Tari. Tak heran jika pak Wayan sudah menganggap Jati dan Tari seperti anak sendiri.

Lihat selengkapnya