Maret, 2020
"Aku dengar..." Tiara mulai berbisik pada Rena sesaat setelah ia bertemu Rena yang sedang duduk sembari menyeruput teh panas di ruang makan. Karena pemeriksaan sudah selesai di hari pertama, maka kerjaannya di hari kedua pun longgar. Bahkan Rena telah merekap hasil pemeriksaan kesehatan yang Rena kerjakan hingga dini hari pukul 04.00 WIB.
"Ya benar." Jawab Rena dengan malas.
"Beneran?"
"Iya. Nggak lihat ya mata gue bengkak gini karena begadang merekap?"
Mendengarnya, Tiara langsung kesal. Bukan itu yang ia maksud. Tapi Tiara paham akan respon Rena yang artinya tidak ingin membahasnya.
Sejak kegiatan hari kedua ini dimulai, Rena menyembunyikan dirinya di ruang makan. Ia merasa semua orang memandanginya dengan suatu pikiran di kepala mereka. Mereka canggung terhadap Rena. Rena apalagi. Dion yang biasanya senang membuka obrolan, sepanjang perjalanan ke panti asuhan berubah menjadi pendiam. Rena pun malas membuka obrolan.
Beberapa kali Rena menghela nafas panjang. Ia berharap bisa segera pulang. Sudah tidak betah dengan situasi seperti ini.
"Gue ke aula dulu ya." Tiara jadi canggung berada di samping Rena setelah melihat helaan nafas Rena yang terdengar... kesal.
Tiba-tiba ponsel Rena berbunyi. Dari mamanya.
"Mama bercanda!" Rena terkejut. Hal itu membuat Tiara mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Ada apa Ren?"
Rena terlihat berpikir setelah menyudahi obrolan yang terdengar cukup sensitif.
"Apaan, sih Ren!" Tiara gemas. Lalu tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada pesan di grup chatting rumah sakit yang mengatakan bahwa papa Rena sedang kritis akibat sebuah kecelakaan. Tiara langsung menutup mulutnya, menutupi keterkejutan ini.
"Ren... so sorry to hear this."
"Gimana caranya pulang ya? Naik apa?" Pikir Rena masih tenang.
Tiara hendak menawarkan Rena untuk membawa mobilnya. Tapi ia membawa keluarganya. Juga, kalau Rena menyetir sendiri dengan keadaan kurang tidur, itu bahaya. Dion. Tiara mencoba menghubungi Dion dan berlari mencari Dion. Sedangkan Rena berjalan kaki, keluar dari panti asuhan menuju vila.
Baru sampai gerbang panti asuhan, sebuah mobil berhenti di depan Rena dan seseorang keluar lalu membukakan pintu mobil untuk Rena masuk ke dalamnya. Rena menurut.
"Oh Reno. Kirain Dion." Rena baru tersadar saat mobil mulai melaju.
"Makasih udah bersedia antar aku pulang." Rena mulai berkomunikasi setelah mengambil barang-barangnya dari vila.
"Nggak apa,"
"Aku hanya... terkejut."
Hening. Itulah yang terjadi di dalam mobil. Reno tidak ingin berkomentar apapun. Pikiran Rena pasti sedang kalut.
Rena memejamkan matanya lalu merasakan getar ponsel di kantong jas dokternya--bahkan belum sempat ia melepas jasnya.
[From: Mama] Keadaan papa membaik, masa kritis sudah lewat. Kamu tidak usah panik. Kamu pulang dulu saja untuk bersih-bersih.
Begitulah bunyi pesan mamanya yang cukup memberikan kelegeaan dalam hatinya.
Rupanya jalanan agak sedikit macet tapi Rena tidak begitu risau karena papanya sudah lebih baik. Pikirannya dipenuhi dengan kejadian kecelakaan yang dialami papanya.
"Nanti aku antar langsung ke rumah sakit atau?"
"Pulang dulu ke rumahku karena aku mau ambil mobil dulu."
"Aku bisa menjenguk papa?"
"Kenapa enggak?" Rena balik bertanya dengan ekpresi datar. Lama-lama Rena tersadar bahwa Reno dulu lumayan dekat dengan papa Rena. Otomatis Rena mengulang saat-saat kebersamaannya dengan Reno dan papanya. Papa Rena sangat ramah dan senang pada Reno. Mereka dulu sering memancing bersama.
Ujung bibir Rena tertarik ke atas, ia teringat Reno pernah tercebur di kolam saat memancing. Senyum itu kembali hilang ketika mengingat perpisahannya dengan Reno. Rena merasa bersalah. Rasa bersalah itu muncul begitu saja.
"Maaf atas sikap Kak Raline," tukas Reno.
Mau mengatakan tidak apa tetapi Rena cukup sakit hati terlebih ketika ingat permintaan Raline pada Rena dulu. Sepertinya Raline benar-benar tidak menyukainya. Tapi, mengatakan bahwa dirinya tidak bisa memaafkan Raline, itu pun pasti terasa aneh sebab hal seperti itu terlihat sepele bagi orang lain.
"Tak apa. Wajar karena Bu Raline panik. Pasti Bu Raline jadi sosok ibu bagi Audy." Rena memilih menutupi perasaannya.
"Benar. Kak Raline sudah jadi sosok ibu bagi Audy. Dia sering ke rumah ataupun mengajak Audy untuk jalan-jalan apalagi ketika aku sedang sibuk."