April, 2020
Pagi-pagi sekali Tristan sudah menelponnya dan meminta tolong untuk menyiapkan sarapan. Agak aneh karena tidak biasanya Tristan meminta sarapan. Tapi tanpa bertanya pun Rena langsung menyiapkan dan kini dirinya sudah duduk di kursi teras rumahnya, menunggu Tristan keluar dengan mobilnya.
Rena berjalan menuju mobil Tristan yang sudah siap di jalanan. Tristan pun muncul dari balik jendela mobilnya. Rena yang belum mandi melongo melihat penampilan Tristan yang sudah rapi dengan setelan kemeja biru dongker dengan celana hitam panjang.
"Bukannya masih jam 6 ya? Kok udah rapi banget?"
"Ada meeting di Bogor jadi harus gasik."
Rena memberikan beberapa potong roti bakar selai kacang dengan sebuah tempat makan ukuran sedang berwarna pink. Juga sebotol infused water apel dan kayu manis yang semalam sempat ia racik. Sehingga pagi ini pasti sudah sangat segar rasanya.
"Istri idaman, nih." Tristan menerima bekalnya dari balik setirnya.
"Muka kamu memerah. Nanti malam kita makan di kafe baru dekat sini, ya. Jam 6 harus udah siap." Kata Tristan yang langsung melajukan mobilnya tanpa menunggu respon Rena yang wajahnya semakin memerah tersipu.
***
Rena tidak bisa menahan kecepatan detak jantungnya yang meningkat drastis. Di penghujung agenda evaluasi bakti sosial, tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya masuk dan mengajak mereka semua makan siang bersama. Reno dan Raline memanggilnya… papa.
Dari sikap Pak Johan, papanya Reno, sepertinya beliau tidak mengenali Rena.
“Sebenarnya saya yang merekomendasikan rumah sakit kamu. Ternyata kerja sama di antara kalian sangat bagus. Sampai heran kenapa Raline dan Reno menolak.” Kata Pak Johan blak-blakan sesaat pintu lift tertutup.
Dalam lift itu ada Pak Johan, Reno, Raline, Rena, Tiara, dan Dion. Yang lainnya naik di lift lainnya. Pak Johan sangat ramah terhadap mereka semua. Sungguh kepribadian yang berbeda sekali dengan yang ada di pikiran Rena dulu. Hal itu tentu membuat Rena kembali bertanya, mengapa.
“Audy lahir di rumah sakit itu, lho.” Tukas Pak Johan yang membuat Raline menyikut papanya. Entah apa artinya itu.
“Oh ya?” Tiara merespon—karena tidak menyangka.
Ting! Pintu lift terbuka, Pak Johan, Raline, dan Reno yang terlebih dahulu keluar.
“Kamu kok nggak kaget?” Bisik Dion pada Rena. Tiara nimbrung.
“Udah tau.” Jawab Rena datar.
“Selamat menikmati, semuanya. Saya undur dulu.”
“Lho? Nggak ikut makan, Pak?” Tanya Dion.
“Saya diet. Sudah ada makanan yang menunggu di ruangan saya.” Jawab Pak Johan dengan senyuman.
Sepeninggalan Pak Johan, Rena reflek menghela nafas. Diliriknya Reno yang ternyata sedang mengamatinya. Rena yakin sekali bahwa Reno penasaran dengan reaksinya terhadap papanya. Sebab mereka pernah mempermasalahkan Reno yang tertutup terhadap Rena tentang keluarganya.
Rena hanya tersenyum merespon Reno yang sepertinya memandanginya dengan penuh arti.
Setelah makan siang, Rena dan rekan-rekannya bergegas untuk pergi. Sementara Rena yang berjalan di belakang mereka, terhenti langkahnya karena seseorang menahannya.
“Ren…”
Reno menghentikan langkah Rena dengan menggenggam pergelangan tangannya.
“Ya?” Jawab Rena sembari menahan rasa aneh dalam dirinya. Rasa senang?
“Nanti malam ada waktu?”
“Ada…?” Jawab Rena agak kebingungan maksud Reno. Lalu tiba-tiba ia teringat bahwa sudah ada janji dengan Tristan. “Eh, enggak. Udah ada janji, soalnya. Sorry.”
“Oh oke.” Reno melepaskan tangan Rena.
Rena berbalik dan melanjutkan langkahnya dengan perasaan yang tidak yakin. Apakah menolak Reno adalah keputusan tepat? Seharusnya sih tepat karena dirinya sudah ada janji dengan Tristan. Tetapi… apakah ini sebuah kesempatan? Tidak, tidak.
***
“Pemilik kafe ini adalah seseorang yang kita kenal.” Ungkap Tristan sesaat sebelum keluar dari mobil.
“Siapa?” Rena jadi penasaran dan segera keluar dari mobil.
Rena dan Tristan berjalan beriringan masuk ke dalam kafe yang sangat menarik ini. Kafe yang benar-benar menjawab perkembangan zaman. Tempat yang benar-benar instagramable. Setiap sudut bahkan setiap tempat menjadi spot manis untuk berfoto.
“Halo, Bro!” Tristan menyapa seseorang yang berdiri di dekat kasir dan mereka saling berpelukan.
“Oh my God! Dika!” Rena dan Dika saling bersalaman. Rena tidak bisa menutupi keterkejutannya. Sudah sekian lama tidak bertemu dengan Dika, bahkan bisa dibilang Rena sudah hampir lupa dengan Dika karena mereka lost contact.
“Silakan duduk, nanti aku samperin.” Kata Dika dengan ramah.
Rena dan Tristan memilih tempat di sudut ruangan yang bisa melihat secara jelas seisi kafe ini.
“Gimana kabarmu, Dok?” Tanya Dika dengan ramah.
“Nggak usah panggil gitu, aku malah jadi geli dengernya.” Rena tertawa.
“Cuma nggak nyangka aja kamu jadi dokter. Kayaknya dulu Putri pernah cerita kalo kamu mau jadi psikolog?”
“Kabarku luar biasa baik. Kamu gimana? Udah berkeluarga?” Rena mengganti topik.
“Wah, belum kamu kasih tau ya?” Tanya Dika pada Tristan.