Februari, 2020
"Rena, kamu belum mau menikah?" Tanya papanya yang membuat Rena salah tingkah. Pertanyaan yang ditakuti Rena akhirnya muncul juga.
"Iya, Rena. Lagipula kan sekarang kamu sudah spesialis, sekarang saatnya memikirkan kehidupan pribadimu." Tambah mama.
Rena menghela nafas. Terlihat jelas dari raut wajah orang tuanya yang menginginkan Rena menikah. Apalagi sekarang usianya sudah 29 tahun. Mengingat usianya yang hampir kepala 3, Rena merinding. Ia baru tersadar bahwa dirinya menua tetapi belum ada seorang pun yang menjadi pasangan hidupnya.
"Doakan supaya Rena enteng jodoh ya Ma, Pa..." tukas Rena, "kira-kira Papa sama Mama mau menantu seperti apa?" Tanya Rena bercanda.
"Halah bergaya aja kamu tuh. Emangnya gampang cari pasangan hidup! Nyatanya sampai sekarang kamu belum juga pacaran!" Kata mama sambil tertawa
"Apa anak kita terlalu jutek ya Ma sehingga gak ada laki-laki yang mendekatinya?" Heran papa.
"Astaga! Bisa jadi, Pa!" Rena menambahi dan mereka semua tertawa.
Setelah makan malam, Rena memasuki karaoke room yang ada di rumahnya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak masuk sini. Ruangan khusus karaoke yang sengaja dibuat oleh papanya sejak Rena mulai terlihat bakat menyanyi.
Persis sepeti ruang karaoke pada umumnya.
Tepatnya, sudah 12 tahun Rena tidak memasuki ruangan ini. Ia menjadi tidak suka bernyanyi. Setiap bernyanyi, yang diingatnya hanya Reno. Bahkan kali terakhir dirinya bernyanyi adalah saat bernyanyi Hero di acara perpisahan.
Rena memilih sebuah lagu dan mencoba untuk bernyanyi lagi.
Now singing: Rossa – Masih.
Air mata Rena menetes. Lagu itu benar-benar menggambarkan perasaan Rena saat ini.
Di balik pintu, kedua orang tua Rena mendengarkan nyanyain Rena yang penuh penghayatan itu.
***
"Desi, ada berapa anak?" Tanya Rena setelah kembali ke ruang prakteknya setelah visitasi pasien rawat inap.
"Lumayan sedikit, hanya 5 anak. Semuanya pun ingin vaksin." Jawab perawat Desi.
"Kita mulai aja ya."
Rena melayani pemberian vaksin pada anak yang datang kepadanya. Ia menikmati pelayananya itu sampai-sampai ia mendapat coklat. Diana berusia 5 tahun. Ia baru saja mendapat vaksin MMR. Sejak Rena mulai praktek sebagai dokter anak, ibu Diana selalu membawanya padanya. Katanya, Diana mau jadi dokter seperti Rena.
"Waaaah! Tau nggak, ini coklat kesukaan dokter! Makasih ya!" Ucap Rena berseri-seri.
Diana dan ibunya meninggalkan ruangan dengan seutas senyum gembira. Inilah yang membuat Rena semakin betah menjadi dokter.
"Yang terakhir, Dok." kata Desi.
Rena membaca rekam medis anak yang akan ia vaksin. Rupanya anak berumur 4 tahun dan dijadwalkan untuk Vaksin Influenza. Ini kali pertama anak itu datang kepadanya. Sembari membacanya, Rena manggut-manggut.
"Sudah saya siapkan vaksinnya, Dok." Ucap Desi.
Tak lama kemudian seorang anak masuk dan langsung menangis. Rena segera mendekati anak yang sedang digendong itu. Ia menyejajarkan wajahnya ke anak itu sambil tersenyum. Anak itu menjadi diam dan memperhatikan Rena.
"Taraa! Dokter punya bunga!" Rena memberikan bunga merah yang dibuat dari balon.
"Yuk sama Dokter." Rena mencoba menggendong anak itu, "Lihat nih Dokter punya banyak ikan!"
Rena memamerkan akuarium berukuran sedang yang sengaja ia seting untuk menarik perhatian anak-anak.
Akuarium itu berisi banyak macam ikan. Juga terdapat tumbuhan akuatik sehingga akuarium itu terlihat sangat hidup. Akuarium yang terletak di pojok ruangan berjejer dengan meja yang penuh toples di atasnya. Toples yang berisi ikan cupang berbagai corak.
"Namamu siapa?" Tanya Rena.
"Odi," anak itu menjawab dengan pelan.
"Audy," sahut perempuan semampai yang datang bersama Audy, membenarkan.
"Sini, duduk." Rena mendudukkan Audy di kursi kecil dekat mejanya.
Desi, perawatnya memberikan sesuatu berbentuk ikan dan berwarna kuning. Dengan lihai, Rena bermain peran dengan ikan tersebut dan mengatakan hendak mencium Audy. Tampaklah Audy mulai nyaman dan sesekali tertawa.
"Daaaaaan ikan ini mau mencium lengan Audy,"