Ada dua kemungkinan jika sudah berada di dalam sana: pengalaman baru, atau seperti dulu. Kelamnya masa lalu membuat seseorang sulit untuk melupakan. Masa lalu yang menyakitkan akan menjadi bayang-bayang hitam selama mereka hidup, terus mengikuti ke mana pun mereka pergi—tak bisa di hindari. Sama halnya dengan dia—Soya, si gadis cantik yang memiliki keterlibatan dengan kelamnya masa lalu. Soya memutuskan untuk pindah ke luar kota, dan mencoba menikmati kehidupan barunya.
Soya baru saja pindah seminggu setelah kelulusan Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Soya meminta kepada Ibunya untuk pindah ke Bandung, dengan alasan ingin sekolah di tempat yang berbeda. Kebetulan ayah tirinya juga kerja di Bandung. Jadi, Soya pelan-pelan bisa melupakan segala sesuatu yang telah terjadi padanya di jakarta. Tapi, satu hal yang tidak bisa Soya lupakan. Yaitu, tragedi kematian ayah kandungnya sendiri.
Hari pertama MOS akan segera dimulai. Soya merapikan nametag yang semalam ia buat dengan kertas karton berwarna biru, dengan foto semasa SMP menempel disebelah kanan namanya ditulis. Sekolah dengan nuansa alam—Soya berpikir, Banyak sekali tanaman di sini. Bangunannya juga modern. Beda dengan sekolahku dulu, hanya tempat dengan sekumpulan orang-orang yang tidak beradab. Ia mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Mungkin kali ini akan berbeda. Soya tersenyum.
Soya memasuki barisan setelah mendengar arahan dari seorang laki-laki bernama David—yang mungkin kakak kelasnya. Tampan, batin Soya. Aku tak pernah melihat lelaki setampan dia. Soya terus memperhatikannya. Tak sadar, ada seseorang yang memperhatikannya diam-diam, dengan tatapan menyorot tajam, seperti elang yang menemukan mangsanya. Perempuan itu berdecih, memutar bola matanya, tak suka.
"Oke, sekarang kita akan berkeliling terlebih dahulu, untuk lebih mengenal lingkungan sekolah. Setelah itu, kalian harus meminta tanda tangan para senior, maksimal lima, untuk bisa lolos dari sesi ini," ucap David menggunakan mic. "selanjutnya, ada pertanyaan? Kalau tidak ada, saya sudahi pembicaraannya."
Seseorang mengangkat tangan. "Saya mau bertanya, Kak!" teriaknya.
"Oh, ya, silahkan. Sebutkan nama, lalu ajukan pertanyaannya."
"Nama saya Rai Reigantara, saya ingin bertanya, maksud dari Mengenal Senior itu apa ya, Kak?"
"Oke. Terima kasih untuk Rai atas pertanyaannya. Mengenal Senior adalah masa disaat kalian, akan tahu sifat masing-masing para senior di sini. Semua orang punya sifat berbeda-beda. Ada yang baik, buruk, dan semua itu sudah kami pikirkan secara matang. Misalkan jika ada senior yang berbuat tidak baik pada kalian, maka mohon untuk mengadukan hal ini pada saya. Saya tidak akan membiarkan kalian merasa tidak nyaman. Jadi, maksud dari sesi ini adalah ingin menyatukan kalian dengan senior kalian nanti. Saya tidak ingin suatu hal yang tidak baik terjadi. Jadi, kami membiarkan para senior, untuk memerintah kalian, dengan dalih memberikan tanda tangan mereka." David mengatur nafasnya, terlihat dari raut wajah, bahwa ia bersedih.
"Tahun lalu, ada seorang dari kami yang dikeluarkan dari sekolah ini, karena telah memukuli peserta MOS, sampai dibawa ke UGD. Tadinya MOS akan ditiadakan, tapi karena anggota OSIS banyak yang protes, jadi saya tetap melangsungkan MOS. Dan ini adalah MOS yang terakhir di sekolah ini." Hening, tak ada yang berbicara, sebagian dari senior di depan menundukkan kepala, ada juga yang mengalihkan dirinya.
"Oke, oke ... semuanya langsung ikut arahan dari ketua masing-masing, ya. Kita mulai kegiatan MOS dengan mengucapkan doa, sesuai agamanya masing-masing. Berdoa dimulai," ucap laki-laki di samping David.
Semua orang menundukkan kepalanya, suasana terasa dingin, angin berhembusan dengan lembut, awan-awan terlihat sudah mulai gelap. Soya mendongakkan kepalanya saat mendengar perintah dari ketua barisannya untuk segera berjalan. Soya mengikuti yang lain dari belakang, mereka memasuki sebuah kelas yang letaknya di lantai dua, mereka disuruh untuk duduk di atas lantai. Soya tak kenal siapa pun di sini. Rasanya ingin berkenalan, tapi takut jika orang yang diajak berkenalan tidak mau dengannya. Lagi pula, banyak peserta yang tidak berpasangan dengan ... temannya? Memikirkan tentang teman, kapan Soya bisa mendapatkan teman yang benar-benar ingin berteman dengannya? Selama ini, hanya ada satu teman yang selalu menemaninya, mendengarkan semua keluh kesahnya. Tapi ternyata, teman itu hanya memanfaatkannya, hanya demi sebuah ... pertemanan.
Lagi, dan lagi. Hati Soya terasa panas.