Sesat Club

Nu
Chapter #1

OSIS VS SESAT

Konon, terjadi pertikaian antara klub SESAT dan pengurus OSIS. Kegiatan belajar terganggu, banyak rumor menyebar, tidak tahu mana benar, mana salah. Wakil kepala sekolah turun tangan setelah dua guru mundur dari tugas mendamaikan dua kubu. SESAT dan OSIS menjadikan sekolah arena persaingan. Saling melempar kesalahan, saling mencari kesalahan, saling membenarkan tindakan. Ada yang bilang itu perebutan kekuasaan. OSIS yang mengatur sekolah dengan rancangan peraturan, siswa baru harus berurusan dengan mereka dulu sebelum jadi bagian dari sekolah ini. Sedangkan klub SESAT dengan tegas menolak kehadiran OSIS dan membuat peraturannya sendiri, mengokohkan kehebatannya dengan jumlah anggota terbanyak di antara klub lain.

Tidak terbantahkan. Setengah dari siswa sekolah ini adalah anggotanya. SESAT adalah sebuah klub raksasa dalam sekolah. OSIS kalah jumlah tapi kuat dalam dukungan. Guru-guru dan staf lain mengakuinya secara resmi sedangkan SESAT?

Heh ….

Wakil Kepala Sekolah diminta adil, tidak berat sebelah dalam menyelesaikan sengketa kekuasaan itu. Sekali terbukti ada perlakuan khusus, pemberontakan dimulai. Klub SESAT harus mengancam karena lawan adalah bentukan pihak sekolah.

Misteri lainnya adalah kepala sekolah. Tidak dijelaskan kenapa beliau bungkam. Rumor meluas. Katanya ada benang merah yang menghubungkan beliau dengan ketua klub SESAT. Klub SESAT harusnya buka suara agar kedudukannya semakin kuat tapi seluruh anggota tidak punya jawaban. Mungkin ketuanya yang punya, tapi siapa ketua klub SESAT?

Sejak klub itu terbentuk, belum ada yang tahu siapa ketua yang asli. Untuk menutupi ketidakjelasan identitas ketua, ternyata sudah dibentuk petinggi-petinggi. Murid terpilih itu adalah Azka, Kifa, Temi dan Rifan.”

OSIS meradang. Tahun ini, atas usulan wakil ketua, Sadya, mereka dirumorkan berencana menerbitkan peraturan sepihak, melarang orang terdekat anggota klub SESAT masuk organisasi OSIS. Katanya lagi, ini demi menjaga keamanan OSIS dari penyusup.

Namun, pertahanan yang baru terbentuk itu tidak sanggup menghalangi serangan terdahulu. OSIS sudah kebobolan sejak lama. Siapa pelakunya? Belum terungkap sampai sekarang.

“Bagaimana lu bisa tahu?”

Sekhan cengengesan atas pertanyaan Rina yang sudah digadang-gadang akan muncul setelah ceritanya berakhir. Perlu kejelasan dari mana asal cerita itu, perlu bukti agar orang-orang tidak lari dan memilih tidak percaya. Cerita tanpa sumber, apa bedanya dengan mengarang ala anak SD?

“Emak gue sudah jadi ibu kantin selama Sembilan belas tahun. Saksi hidup seluruh drama sekolah kita mungkin banyak. Tsapi percaya sama gue, enggak ada yang mau bercerita sebebas emak gue.”

“Emak lu pemberani. Nggak ada yang menghalangi kebebasannya. Gue salut.”

Pemberani adalah orang yang mempertaruhkan hidup demi kebenaran. Sekhan menerapkan definisi itu ke mana pun takdir menuntun langkahnya. Jika emaknya adalah pemberani, aspek menilai benar tidaknya perilaku seseorang sudah rusak.

“Beliau bercerita bukan karena ingin tapi keceplosan. Kalian tanya apa pin kartu atmnya juga pasti diberitahu.” Sekhan berucap tanpa berniat menjatuhkan emaknya. Sebab fakta perlu diungkap agar tidak ada kesalahpahaman yang berujung ketidakpercayaan.

“Kejujuran yang alami.” Pujian berikutnya masih tertuju pada emak Sekhan. Rina masih terjebak, belum paham.

Sekhan bersedekap sambil memikirkan pujian barusan, apakah pantas itu disebut kejujuran sedangkan mulut emaknya memang sulit dikontrol. Kelalaian mungkin pantas untuk menggambarkannya.

“Seorang pengurus OSIS enggak pantas bercerita tanpa memihak pada organisasinya.”

Sekhan dan lima cewek―pendengar setianya menoleh bersamaan. Sadya berdiri dengan raut tidak mengenakkan, pait kayak pare. Dialah si cewek keras kepala, kalah debat bukan gayanya. Rambut panjang yang digerai dianggapnya ketidakteraturan. Sebuah alasan yang dipaksakan agar tidak ada yang berkomentar kenapa ia selalu mengingat rambutnya dengan gaya yang sama tiap hari, hanya diikat tinggi-tinggi. Prinsipnya yang paling terkenal adalah tidak belajar sama dengan perilaku zalim pada masa depan.

Itu sedikit gambaran mengenai Sadya, si wakil ketua OSIS yang cuma numpang tenar dari pendukung JR, pasangannya dalam pemilihan Ketua OSIS. Oh, coba ada yang berani bilang begitu di hadapannya langsung, orang itu bisa menyaksikan ada manusia yang menangis tapi air matanya bukan air. Tapi paku … mungkin.

“Lu kurang paham karena enggak mendengarkan dengan baik. Saat gue bilang pelaku saat menyebut anggota klub SESAT yang berhasil menerobos OSIS, maka yang kuanggap korban adalah OSIS. Korban pantas dibela. Jaaaadi, sudah jelas kalau gue sebenarnya berpihak pada organisasi kesayangan lu.” Rasanya Sekhan ingin menambahkan senyuman lebar di akhir kalimatnya tapi apa daya, muka Sadya terlalu kaku untuk menerima kebaikan hatinya itu. Jadilah yang ia suguhkan senyum tipis.

“Kita mau rapat setelah bel pulang dibunyikan,” ucap Sadya lalu mengarahkan matanya pada lima cewek di sekitar Sekhan. Lima detik, entah apa maksud dari tatapannya itu tapi yang pasti, itu tidak termasuk dalam tahap-tahap bersikap ramah.

“Oke. Akan gue pastikan bel itu nggak berbunyi biar kita batal rapat.”

Lima cewek tadi menahan senyum. Muka Sadya tetap kaku kayak habis kesetrum.

Wakil Ketua OSIS panutan tidak pernah disematkan pada Sadya. Perbedaan mencolok antara dirinya dan manusia normal lain ada dalam keseriusannya dalam menjalani hidup. Ia suka rela melepaskan diri dari kumpulan penganut garis keras jam kosong di sekolah.

Jika seorang panutan jadi role model siswa lain, Sadya yang begini? Tidak ada yang berminat menirunya.

Lihat selengkapnya