Terlihat jelas di antara puluhan siswa yang berlarian, seorang cewek mengusap rambutnya ke belakang karena menghalangi pandangan. Dia satu-satunya siswa yang berjalan santai meski bel masuk telah berbunyi.
“Gue potong lu kalau nggak nurut,” gumam Eriz setelah mengusap rambut ke belakang melewati jidat. Percuma lama-lama memakai catokan biar rambutnya rapi dan lurus kalau ujung-ujungnya dibuat berantakan oleh angin.
Eriz berhenti saat angin berembus lebih keras. Napasnya tertiup keras dari mulut. Di tasnya mungkin ada topi tapi ia terlalu malas merogoh tas yang isinya ada berbagai macam benda. Sedangkan ikat rambutnya dipastikan sedang terjebak di dasar tas. Eriz memasukkan semua benda dalam satu wadah karena tasnya hanya punya satu saku kecil. Saku tersembunyi dalam tas itu memakai resleting dan dijadikan pengganti dompet.
“Kayaknya lu butuh ini.” Cowok berwajah kalem mengulurkan ikat rambut merah muda yang biasanya didapat dengan uang dua ribu rupiah.
Eriz meliriknya sebentar sebelum menerima ikat rambut itu. Angin datang dari belakang dan membuat wajahnya nyaris tertutupi seluruhnya oleh rambut. Sedikit lagi pasti mirip sadako.
“Siswa pindahan, ya?”
“Iya.” Eriz memakai ikat rambut itu cepat-cepat. “Terima kasih,” ucapnya kemudian.
“Nama gue Hasbar. Salam kenal.” Cowok itu memperkenalkan diri tapi tidak mengulurkan tangan untuk dijabat.
“Eriz,” jawab Eriz seadanya.
“Btw, gue ada di kelas XI IPA 3 kalau lu mau mengembalikannya.”
Ah. Tentu saja ikat rambut itu harus dikembalikan. Eriz nyaris lupa kalau ia hanya dipinjamkan.
“XI IPA 3. Gue pasti ingat,” ucap Eriz sambil tersenyum tipis.
“Sampai nanti dan selamat datang.” Hasbar berbalik.
Eriz memperhatikan punggung cowok itu menjauh dari hadapannya dengan raut wajah yang perlahan berubah. Senyumnya pudar kemudian tersisa wajah tanpa ekspresi. Ia melangkah lagi, memperhatikan gedung-gedung di sekitar lapangan.
Perpustakaan dan kantor guru berdekatan. Kelas IPS satu-satunya ruangan yang dekat dari gerbang depan. Ada lorong kecil yang luasnya sekitar satu meter di antara laboratorium dan aula.
Eriz mengambil tantangan dengan berbolok ke dalam lorong. Tidak seperti bayangannya, lorong itu cukup aman dilalui karena cahaya matahari bisa masuk. Kayaknya tidak pernah ada gosip horor di area itu. Panjangnya mungkin sekitar tiga meter setengah. Semenit cukup untuk tiba di ujungnya. Sayang sekali, ia sempat membayangkan tempat itu dijadikan lokasi penyergapan.
Eriz lalu mendapati lapangan basket yang sekitarnya dipasangi ring.
Setelah berjalan ke sudut lapangan, ia mendapati gedung IPA yang ramai kayak pasar. Semua siswa sibuk dengan urusan masing-masing. Eriz kira hari pertamanya di sekolah itu akan mengundang perhatian yang lain. Siswa baru harusnya begitu, kan?
Eriz melanjutkan perjalanannya sambil memperhatikan tulisan di dekat pintu kelas. XI IPA 3. Ia berhenti ketika menemukan tulisan itu. Ini dia kelas yang dicarinya.
Siswa di dalam duduk tenang. Eriz mengetuk pintu dua kali. Guru yang dikenalnya dengan nama Pak Unai merespons cepat. Ia disuruh masuk dan langsung berdiri di depan.
“Perkenalkan dirimu.”
Eriz berdehem dulu dan menghiasi bibirnya dengan senyum seadanya. “Nama saya Erizia, pindahan dari SMA Aryatama. Salam kenal. Terima kasih,” ucapnya lalu menoleh pada Pak Unai.
Guru senior itu mengusap ubannya dengan kedua tangan di sisi kiri dan kanan kepalanya. Gaya khas Pak Unai yang kadang jadi olok-olokan siswa. Yang duduk di barisan belakang malah terkekeh-kekeh melihat itu. Saat Pak Unai keluar nanti, siswa itu akan langsung memperagakannya.
“Ada yang mau bertanya?” tanya Pak Unai.
“Masih jomlo?” Suara sumbang yang entah siapa pemiliknya. Eriz tidak bisa menemukan orang yang menanyakan itu. Pertanyaan basi yang bahkan muncul hampir di setiap film dan sinetron remaja.
Belum sempat Eriz menjawab, yang lain ketawa lebar-lebar, membuat pagi semakin berisik. Eriz tersenyum tapi kaki kanannya mengetuk-ngetuk lantai, ingin segera duduk dan memasang penutup telinga.
“Silakan duduk, Erizia.”
Eriz menghela napas lalu mencari-cari kursi kosong. Seorang siswi mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Duduk sini,” serunya. Eriz langsung menuju ke sana tanpa ragu sedikitpun.
“Temi,” ucap cewek di samping Eriz. Perkenalan singkat yang dibalas sama singkatnya.
“Oke.” Eriz menanggapi sambil mengeluarkan buku dan pulpen dari tas. “Gue lupa bawa pulpen,” gumamnya.