"Tha, dilanjut ya?" Ibu memberiku apron hitam yang tadi digunakan. Tumis kangkung masakannya masih di atas kompor. Dan acara memasak berarti dilanjutkan olehku.
Di tanganku masih tercengkeram benda pipih berwana hitam yang ku jadikan sebagai alat untuk mencarinya.
Ibu mengikat tali apron di pinggangku lalu ke luar entah ingin melakukan apa? Keriuhan di kepala tak membuatku mendengar perkataannya dengan jelas.
Semalam aku tidak terpejam sedikitpun kecuali setelah subuh. Mengingat ucapan Winda kemarin bahwa mahluk itu sedang berada di rumah, adalah petaka besar yang ternyata membuat hatiku berharap lebih.
Masih dengan pertanyaan yang menggantung di ujung benak, masih juga dengan suara riuh tumis kangkung di atas wajan panas. Aku mengetik nama itu, lagi. Entah untuk ke seratus kalinya atau bahkan sudah jutaan kali sejak bertahun-tahun yang lalu? Kemudian mengklik search, dan seperti biasa akan muncul berbagai rupa manusia dengan nama yang sama. Dalam tingkatan ini kebingungan akan terus memenuhiku. Wajah mana yang ternyata adalah wajahnya?
Kadang aku sempat berpikir, apakah dia benar-benar menggunakan sosial media untuk membagikan kisahnya? Atau dia adalah mahluk anti sosial yang akan menyimpan rapat-rapat cerita hidupnya dari dunia luar? Sebab, sejak bertahun-tahun yang lalu semesta tidak mengijinkanku untuk sekali saja menemukannya. Atau aku sudah menemukannya tapi tidak mengenalinya? Itu kemungkinan terbesar.
Hingga pada suatu detik, dimana kompor telah kumatikan, dan apron telah ku lepaskan. Mata ini, menemukan sebuah beranda asing yang selama ini tidak pernah terlihat. Jika tadi aku mengatakan kotak pencarianku selalu memunculkan wajah yang sama, kali ini tidak. Ada satu wajah berbeda yang menciptakan satu rasa berbeda di hatiku. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi ini nyata! Seperti menemukan kucing kesayangan yang selama ini tersesat, sekilas terlihat tidak berbeda dengan kucing lain yang pernah ditemui, tapi sebenarnya berbeda. Namun karena sudah terlalu lama tak bersua jadi sulit untuk dikenali dan membedakannya. Namun ternyata itu memang dia. Iya itu dia!
Keyakinanku semakin diperkuat, dengan sebuah komentar dari sepupunya. Iya, mereka tidak akan berbicara seakrab itu jika tidak memiliki hubungan dekat kan? Berarti tebakanku benar? Setelah 9 tahun Tuhan?
Berburu dengan waktu, aku mengklik profil itu. Melihatnya lebih banyak lagi, meskipun ini konyol, karena ini hanya foto. Hanya bayangan. Tapi bukankah bayangan sama persis seperti aslinya?
Tidak heran kenapa Winda sebegitu hebohnya kemarin. Sebagai perempuan yang punya sisi normal, wajahnya sangat beresiko jika dipandangi dalam waktu yang lama. Ini bahkan di foto, bagaimana aslinya? Apa aku akan seheboh Winda juga? Ini saja yang hanya gambar aku tidak lagi heboh, tapi histeris, berguncang, meledak-ledak dan entah apa lagi? Bukan, bukan perkara wajahnya yang di atas rata-rata itu, tapi cerita tentangnya yang sudah lama ku tulis dalam buku rahasiaku. Rasanya lega, karena telah menemukan tokoh utama kisah itu.
"Jadi ini orang yang merampas ice creamku?"
Kalimat yang ku tulis di pesan. Mungkin dia akan bingung, tapi itu yang ku inginkan, dia bingung dan bertanya, dan kita mengobrol. Membayangkannya saja aku sudah senang luar biasa.
"Maksudnya?"
Dia membalas cukup cepat, di luar dugaan karena aku orang asing di matanya. Tapi bukankah ini permulaan yang bagus? Hey Metha sadar! Memang siapa juga yang terima jika dikatakan perampas?
"Enggak inget?"
Aku memancingnya lagi, memancing ingatan yang aku sendiri tidak yakin akan dengan mudahnya timbul di kepalanya yang mungkin tidak pernah memberiku tempat selama ini?
"Inget apa?"
"Di bawah pohon akasia. Ice cream rasa vanila."
"Maaf aku tidak ingat."
Lalu apa? Apa aku akan memaksanya untuk ingat? Atau membiarkannya mati penasaran karena menebak-menebak? Meksi aku tahu itu pekerjaan paling menyebalkan sebagai manusia. Menebak menjadi pekerjaan yang tidak pernah ku sukai, seperti sekarang ini. Apakah dia benar lupa atau tidak mau membahasnya saja padahal ingat? Eh tapi untuk apa dibahas? Bukankah itu tidak penting?
"Nggak apa-apa. Itu kejadian lama. Tidak usah diingat."
Tidak ada yang tidak apa-apa. Semesta juga pasti tahu, hati manusia kerap kali patah jika apa yang dia harapkan ternyata tak sama dengan kenyataan.