Sesunyi Denting yang Memekik Lirih

Utep Sutiana
Chapter #2

Titik Jeda

... mengingkarimu adalah kesalahan

menafikanmu selayaknya kemelut yang tak bisa kuurai

Apa yang harus kulakukan?

bila permintaan maaf dianggap melulu

sebuah pembelaan diri

... Ah!!! 

Sedari tadi Pekik merasa bahwa dirinya sedang melupakan sesuatu. Perihal itu apa, sama sekali ia belum bisa menemukan jawabannya. Pikirannya sedang dilanda kekalutan. Berkas-berkas yang harusnya sore ini sudah selesai, beberapa lembarnya tercecer entah ke mana. Pekik panik, ia tak mungkin mengetik ulang berkas yang sudah jadi itu dengan isi yang ia takutkan tidak sesuai seperti ketikan sebelumnya. Ini sangat menguras otaknya untuk mengingat.

Sedari tadi ia tidak ke mana-mana kecuali menerima telepon dari Sunyi, kekasihnya itu. Bahkan ia melupakan perihal apa yang dikatakan kekasihnya itu setelahnya. Fokusnya sedang tertuju pada presentasi penting esok harinya. Jadi, mustahil ia membawa sebagian lembar berkas itu keluar dari kamarnya.

Ia terus berusaha mengingat berkas itu ada di mana hingga kemudian ia menyadari sudah melupakan sesuatu.

"Ahhh!!!" Pekik memekik hebat. Ia baru ingat bahwa berkas itu ia letakkan di samping ponsel di ruang tengah. Ia segera gegas dan mendapatkan berkas itu ada di sana, sekaligus ia terkejut setelah melihat ponsel karena teringat percakapannya dengan Sunyi tadi.

"Ah!!!" Pekik kembali memekik. Ia harus segera menelepon Sunyi dan minta maaf atas kealfaannya. Ia telah mengingkari janji temu yang tadi sudah ia sepakati.

Sore ini. Di tempat biasa. Lalu ... ia melupakannya karena konsentrasinya tidak kepada janji temu itu.

Pekik menggeser layar ponsel itu dengan gusar. Berharap ia menemukan kontak Sunyi dengan segera. Jarinya dengan cepat langsung mengusap layar. Nomor telepon Sunyi Azahra. Tidak tersambung. Jaringan di luar sana sepertinya mati. Ia berniat meminta maaf kepada Sunyi karena ia tidak bisa datang dan terlalu terlambat memberitahukannya. Di sana, Sunyi pasti akan marah, tetapi Pekik merasa tidak ada salahnya ia meminta maaf meski setelahnya makian atau umpatan akan ia terima. Kesalahan ada pada dirinya. Ia hanya bisa pasrah saja.

"Ahhh!!!" Pekik memekik lagi. Semakin gusar. Ia tak mungkin langsung pergi menit itu juga, karena bagaimanapun, pergi menemui Sunyi membutuhkan satu jam perjalanan dengan kecepatan laju mobil 120 km/jam itupun dalam keadaan lengang, bila macet, bisa sampai dua jam. Jika ia melakukannya, itu sama saja sia-sia. Terlambat atau tidak datang sama sekali hasilnya akan sama saja: Sunyi akan tetap marah.

Pekik menyadari kesalahannya. Berulang kali ia coba menghubungi ponsel Sunyi. Hasilnya tetap sama. Tak terhubung. Pekik yakin ponsel Sunyi di luar jangkauan, atau yang lebih parah lagi kehabisan daya. Pekik hanya bisa pasrah. Di luar rasa lelahnya karena mengurusi berkas-berkas presentasi itu, ia merasa bersalah karena abai atas janjinya sendiri itu.

Sebenarnya akhir-akhir ini, Pekik merasa jengah atas perlakuan Sunyi yang sedikit keterlaluan. Ia sedang butuh waktu untuk menyelesaikan urusannya yang dikejar tenggang. Namun Sunyi seolah tak memahami keadaannya itu. Berulang kali ia menelepon untuk sesuatu hal yang sebenarnya masih bisa dibicarakan kapan-kapan ketika suasana dirinya sedang santai. Ketika panggilan ditolak, Sunyi akan meneror Pekik dengan teror chatt kemarahan yang menumpuk di WA-nya. Ini sama saja. Pekik tetap terganggu dengan teror itu.

Pekik tak bisa marah terhadap Sunyi. Bagaimanapun Pekik terlalu mencintai Sunyi. Meski sikap posesif Sunyi kian menjadi belakangan ini, Pekik lebih memilih mengalah dengan meminta maaf meski dirinya merasa tidak salah. Ini ia lakukan untuk menghindari perdebatan tak berujung seperti kali terakhir mereka bersitegang.

Lihat selengkapnya