Mas, barusan Bang Abrar nelepon. Dia nanyain kondisiku, dan sekali lagi minta maaf karena belum bisa mendampingiku. Dari alisnya yang berkerut sepanjang telepon, aku tahu dia begitu khawatir.
Bang Abrar janji akan datang ke Jakarta awal bulan depan. Entah bagaimana caranya, tapi dia berencana lewat jalur darat jika penerbangan masih ditutup. Membayangkan abangku satu-satunya itu harus berada di jalan, di kapal, dan kembali ke jalan selama berhari-hari membuat pikiranku kalut. Aku takut apa yang terjadi padamu juga terjadi padanya, Mas.
Kecelakaan seperti sebuah teror yang tak bisa lepas dari hidupku. Bapak dan Ibu pergi karena kecelakaan pesawat. Kamu juga pergi karena kecelakaan mobil. Aku tidak akan sanggup bila kecelakaan lain kembali merenggut orang yang kukenal.
Aku masih ingat seperti apa rasanya mendengar kabar jatuhnya pesawat Bapak dan Ibu, harus menerima tak ada jasad yang bisa kami kebumikan, harus ikhlas hanya mengirimkan salah ghaib alih-alih menyolati jenazah kedua orang tuaku. Saat itu ada Bang Abrar dan kamu yang bergantian merangkul dan menyeka air mataku. Aku juga masih ingat saat itu kamu berjanji akan selalu menemaniku. Janji yang kemudian kamu genapi setahun setelah kepergian Bapak dan Ibu. Tapi kenapa sekarang kamu juga pergi?
Kabar kecelakaanmu mengguncangku lebih dari yang kualami saat kepergian Bapak dan Ibu. Saat Bapak dan Ibu pergi masih ada kamu, masih ada Bang Abrar. Sekarang, tak ada siapa pun. Bang Abrar tinggal jauh di ujung negeri, tengah mengabdi pada negara dan membangun rumah tangganya. Kamu yang olehnya dititipi aku justru pergi lebih jauh lagi.