Pada jam istirahat kantin sekolah sudah ramai dipenuhi siswa-siswi yang kehausan juga kelaparan. Mereka baru saja mengikuti acara class-meeting. Di sudut kantin, tampak dua siswa lagi asyik mengobrol. Tak peduli berada di hiruk-pikuk suara teriakan anak-anak lain yang memesan makanan. Sesekali kedua siswa itu malah asyik menggoda adik-adik kelasnya yang manis-manis lagi antri mengambil pesanan. Mereka tak lain dua sahabat Ganes dan Togar. Siswa kelas dua SMAN 2000.
“Tadi putar-putar cari kau, tak tahunya kau—.”
“Sstt! Gar, kalo ngomong pelan dikit kenapa sih, aku kan belon budek!” potong Ganes cepat. Mukanya tampak kesal. Togar cengengesan tanpa dosa. Suara anak asal Tarutung itu memang menggelegar di antara anak-anak yang lain. Rahang mukanya pun tampak bersegi.
“Eh, sori lah. Oh ya, kau udah ketemu Oji?” tanya Togar lagi.
“Belum. Nggak tau ke mana si Pesek itu. Eh, mau es, Gar?” Ganes menawarinya.
“Mau kali. Sebenarnya inilah yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Aku haus betul!” jawab Togar bersemangat dengan aksen Sumatera Utara yang cukup kental. Ganes berteriak memesan dua gelas es jeruk. Togar adalah salah satu sahabat Ganes yang paling akrab. Bahkan kalau lagi mau berantem Togar yang akan maju membela duluan. Meski kadang belum tahu duduk persoalannya. “Katanya minggu kemaren, dia mau datang ke rumah kau, Nes?” sambung Togar lagi.
“Janji doang. Nggak nongol dianya,” sungut Ganes kesal.
“Oji memang tuyul. Kalau lagi dicari tak muncul-muncul. Tapi kalau tidak, sampai bosan kita melihat idung peseknya itu!” Togar menimpali.
Shrrfpt! Shrooop!
Bunyi gelas-gelas kosong yang masih disedot pakai pipet. Es jeruk yang segar itu telah amblas ke dalam perut. Beberapa pasang mata menoleh ke arah Togar dan Ganes. Mereka tetep cuek bebek tak peduli.
“Gar, inget nggak. Waktu kita mendaki Kerinci tempo hari. Inget?” tanya Ganes tiba-tiba. Togar tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu. Dahinya berkerut bagai jeruk purut. Mulutnya masih asyik menyedot pipet di gelas.
“Hmm, ya, ya, inget kali!. Waktu kau terpeleset. Kau jatuh bergulingan. Hidung dan muka kau luka lecet-lecet. Jidat kau pun benjol. Ah, emang lucu kalilah kau saat itu. Hahaha!” Togar tertawa lepas. Mulutnya yang lebar makin menganga. Bahkan sampai gigi gerahamnya terlihat. Beberapa siswa di dalam kantin itu menoleh lagi ke arahnya. Mereka sebenarnya merasa terusik. Sepertinya suara Togar sudah masuk kategori polusi suara.
“Bukan yang itu, Kampret! Aku kan pesen. Kalo ngomong coba kurangi aksen berkau-kaunya itu. Kebanyakan tau!” tukas Ganes kesal. Habis lain ditanya, lain dijawab. Tawa Togar hilang seketika.
Dengan raut memelas ia berkata, “Jangan begitulah kau. Itukan sudah bawaanku sejak lahir. Jadi mengertilah kau sedikit,” jawab Togar tanpa dosa. Selain ”S” yang dilafalkan ”Z”, suara yang menggelegar, Togar juga banyak “berkau-kaunya” kalau sedang bicara. Tak peduli bicara dengan Kepala Sekolah sekali pun.
Ganes sedikit mendengus tak terima, “Bukan mengerti lagi. Tapi sampe bos—,”
“Hey! Dicariin kemana-mana, nggak tahunya pada nyungsep di sini, ya?!” Suara cempreng itu memotong kata-kata Ganes. Itu Dona, si Gadis Tomboy, teman sekelas mereka. Gadis itu tergesa mendekat. Wajahnya terlihat cukup serius.
“Aku pinjam Gokil bentar, Gar!” Tanpa menunggu jawaban siapa pun, Dona sudah menarik Ganes ke luar kantin.
“Ada apaan sih, Boy? Serius amat?” tanya Ganes terpaksa harus tergopoh-gopoh mengikutinya. Dona diam saja. Wajahnya masih terlihat kesal.
“Eh! Eh! Ada apa ini, Boy?! Buru-buru kali kau rupanya?” tanya Togar ikut bingung.
“Bentar aja, Gar!” sahut si Tomboy singkat.
“Boleh, tapi Ganes harus bayar ini dul—,”
“Maaf, Gar. Kali ini kau yang bayar, ya!” potong Ganes setengah berteriak.
“Eh! Eh! Kukira?—Gokil kali kau, Nes!” Togar memakinya. Dikira mau ditraktir tak tahunya malah terbalik. Dia yang harus bayar.
Dona masih memaksa Ganes untuk mengikutinya. Mereka ke bawah pohon cherry dekat ruang kelas II.3. Dengan tidak sabar Ganes bertanya, “Ada apa sih, Boy. Pake nyepiin segala?!” Wajah Ganes tampak penasaran. Dona tersenyum menyeringai.
“Nah, kan, nggak ngerasa kalo punya salah! Kenapa kau nggak datang-datang ke rumah Rara? Awas kalo mau mainin Rara, ya. Dia itu sepupuku!” cecar Dona membuat Ganes kelabakan.
“Eh, entar dulu. Siapa yang mau mainin. Malam minggu kemaren, aku emang nungguin si Oji yang mau mulangin sleeping bag. Jadi aku nggak sempat datang ke Rara!” jawab Ganes berusaha membela diri.
“Kenapa nggak nelpon?” tanya Donna lagi dengan sengit.
“Telpon rumah lagi rusak!”
“Aah! Alesan aja! Telpon umum kan banyak! Terus minggu-minggu sebelumnya? Ke mana? Atau—kau emang udah bosan, ya? Kalo iya, ngomong aja baik-baik. Jangan bikin Rara sedih!” tukas Dona bersungut-sungut. Ganes terdiam sesaat. Memang sudah tiga minggu ia tak mengunjungi Rara. Menelpon pun tidak. Sepertinya ia kelewat asyik dengan urusannya sendiri. Berkumpul dengan teman-teman Wanacala saja. Terkesan abai dan lupa. Pada hal ada hati yang harus diberi perhatian. Hati Rara Saraswati, pacarnya.
“Nah kan, diem, kalo udah ketahuan salah. Bengong sendiri. Kau kan tahu, Nes. Rara butuh dikunjungi. Ditelpon. Dikabari. Dia punya rindu yang harus kau hargai. Aku paham, kalo kau lagi sibuk dengan persiapan ke Lawu. Tapi bukan begitu juga caranya. Nongol kek, bentar ke rumahnya. Kau salah, Nes, kalo bisa menjangkau gunung-gunung yang jauh di luar sana, tapi Rara yang satu kota aja, kau cuekin. Seharusnya kau yang lebih ngerti ketimbang aku!” kata Dona panjang lebar. Napasnya terlihat memburu. Tampaknya ia benar-benar kesal dengan sikap Ganes baru-baru ini.
“Ampun, Boy. Udah, deh. Udah! Iya, aku ngaku salah. Entar sore aku ke rumahnya. Jangan pojokin terus, dong!” ujar Ganes sembari mengatupkan telapak tangan ke hadapan Dona. Memohon maaf. Begitu diberondong peluru kata-kata dari moncong mulut Dona. Tapi semua yang dikatakan Dona tadi memang benar.
Dona masih memelototkan matanya yang indah. “Bener, ya?! Awas kalo boong! Aku jitak!” ancam Dona meyakinkan. Kemudian senyumnya menyeringai. Merasa geli melihat mimik Ganes kelabakan begitu.
“Iya, deh. Suer! Suer!” jawab Ganes serius. Jemarinya membentuk simbol victory. Dona juga salah satu teman baik Ganes. Dia cerewet, tomboy, tapi baik hati. Lebih sering dipanggil Boy oleh kawan-kawannya di Wanacala, ekskul pecinta alam SMAN 2000 Palembang. Dona juga yang mempertemukan Ganes dengan sepupunya, Rara. Anak SMAN 555. Sewaktu Wanacala mengadakan persami (perkemahan sabtu-minggu) tahun kemarin.
Pada liburan semester ganjil tahun ini, Wanacala akan mengadakan pendakian ke Gunung Lawu, 3.265 MDPL di Jawa Tengah. Ganes ditunjuk organisasinya sebagai ketua perjalanan. Membuatnya menjadi sosok paling sibuk dibanding yang lain. Bahkan terkesan melupakan Rara.
Sepeninggal Dona, Ganes masih merenung di bawah pohon cherry. Perasaan bersalah membludak di dadanya. Sore nanti, ia berencana menemui Rara. Jika tidak ingin pertempuran dua hati itu akan semakin panas. Ganes baru beranjak, ketika ia mendengar gelegar suara Togar memanggilnya dari kejauhan.
Sore yang temaram. Dengan jantung berdebar dan rasa bersalah, Ganes memasuki pintu gerbang rumah Rara. Rumah besar dengan cat biru muda. Di depanya ada taman bunga yang cukup apik. Rara dan mamanya memang rajin merawat taman bunga itu. Di tengah taman ada kolam kecil yang berisi sembilan ekor ikan Koi. Ikan-ikan itu tampak riang mondar-mandir di kejernihan air kolam. Sesaat Ganes memerhatikan mereka. Selanjutnya melangkah menuju teras rumah.
“Assalamualaikum!” Salam Ganes sembari mengetuk daun pintu. Hening sesaat.
“Waalaikumsalam!” Ada sahutan dari dalam. Disusul suara langkah mendekat. Jantung Ganes berdegub kencang. Daun pintu perlahan terkuak.
“Eh, Ganes. Ke mana aja, kok lama nggak ke sini?” Wanita itu mengagetkan Ganes. Buru-buru Ganes menyalaminya. Tante Mia tampak ramah menyapa. Ganes masih kelihatan gugup.
“Iya, Te. Mmm—Rara ada, Te?” tanya Ganes dengan sopan. Mama Rara tersenyum. Senyum dan wajahnya masih terlihat cantik meski di usianya yang paruh baya. Dan kecantikan itu menurun pada Rara, anak pertamanya.
Tante Mia mengangguk. “Duduk dulu, ya. Tante panggil sebentar!” sahutnya seraya mempersilahkan Ganes masuk dan duduk. Ganes mengangguk. Wanita itu masuk ke ruang tengah. Hening. Tak sampai dua menit, Tante Mia sudah kembali lagi. Sembari membawa nampan berisi minuman segar.
“Tunggu sebentar, ya. Rara tadi ketiduran. Silakan diminum airnya, Nes. Sebentar lagi Rara datang, kok!” ujar Tante Mia memberitahukan. Ganes mengangguk sambil tersenyum. Tak berapa lama Tante Mia pamit ke belakang. Ganes kembali duduk termenung.
Ruang tamu rumah keluarga Rara penuh dengan barang-barang antik. Koleksi papanya Rara. Di dindingnya terpajang foto keluarga. Ukurannya cukup besar. Dengan pigura ukiran yang indah. Ganes menatap foto wajah Rara. Dengan kebaya itu Rara tampak semakin cantik dan anggun. Perlahan Ganes menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung mempersiapkan argumen saat ketemu Rara nanti. Selagi asyik berpikir, mendadak ia dikejutkan oleh suara cempreng anak kecil.
“Ee, Bang Ganes! Kok, lama nggak main ke sini. Udah sombong, ya?” Ternyata Kiki. Adik lelakinya Rara yang masih TK. Anaknya pintar sekaligus lucu. Paling suka ngajak main Monopoli pada hal belum mengerti sama sekali. Selain itu dia juga suka coklat!
“Main monopoli, yuk, Bang?” rengeknya. Waduh! Ganes meringis.
“Kapan-kapan aja, ya, Abang masih ada urusan sama Mbak Rara!” tolak Ganes halus.
“Boong, ah. Bang Ganes udah sombong aja,” tepis Kiki dengan wajah polosnya. Rautnya mendadak cemberut.
“Eh, nggak, lho! Abang masih sibuk. Tapi sekarang udah nggak. Makanya datang lagi ke sini,” jawab Ganes tersenyum.
“Oo, gitu. Pada hal Mbak Rara sering nungguin. Abangnya aja nggak datang!” kata Kiki polos dan jujur. Ganes terkesiap mendengar celoleh Kiki.
“Beneran gitu?” tanya Ganes penasaran.
“Bener, lho! Tapi—coklatnya mana?!” ujar Kiki menirukan gaya sebuah iklan di TV era 90-an. Anak itu menengadahkan tangan. Untung Ganes tidak lupa coklat kesukaan Kiki. Dia membuka tas dan memberikan dua batang coklat padanya
“Hore! Makasih ya, Bang. Abang baek, deh!” pekiknya gembira seraya hendak berlari ke ruang tengah.
“Eh— Ki, entar dulu. Panggilin Mbak Rara dulu, dong,” bisik Ganes pelan.
“Oke!” jawab Kiki cepat. Dia berlari ke ruang tengah. Mungkin juga langsung ke kamar Rara.
”Mbak! Mbak! Ada Bang Ganes nyariin, tuh!” terdengar suara Kiki teriak, dibarengi suara gedoran di pintu. Terdengar hingga ke ruang tamu tempat Ganes duduk menunggu. Dasar anak-anak! Gerutu Ganes merasa tak enak hati. Memang sepertinya Rara sengaja mengulur-ulur waktu untuk menemuinya. Lebih dari sepuluh menit sejak Kiki berteriak tadi, Rara belum muncul juga. Perasaan hati Ganes makin kacau. Dia termenung dengan hati gelisah.
“Pake nyuapin Kiki segala. Mau cari apa kemari? Sleeping bag? Karabiner? Ransel? Di sini nggak ada alat-alat begituan. Kamu nggak salah alamat?!” Suara ketus itu membuat Ganes terlonjak kaget. Rara tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Wajahnya terlihat cemberut kesal.
“Kok gitu amat, Ra?” jawab Ganes merasa tidak enak.
“Alat-alat begituan emang nggak ada. Cari aja ke tempat lain!” tukas Rara tak menggubris perkataan Ganes. Dia malah seperti hendak pergi meninggalkan Ganes. Buru-buru Ganes menghalangi. Tangannya setengah terkembang. Belum sempat Ganes berkata...
“Rara tuh, kesal tau!” sentaknya agak tinggi. Lalu duduk di sofa. Ganes diam saja mengikuti. Duduk di seberang meja. Suasana jadi hening membisu. “Rara kesal,” ulangnya lirih. Matanya tampak redup tapi tidak menangis. Ganes tertunduk sebentar. Lalu menghela napas.
“Oke, Ra, aku ngaku salah. Salah banget. Tapi beri kesempatan buat jelasin semuanya. Buat memperbaikinya, ya,” sahut Ganes pelan. Rara diam membisu. Mata itu mulai terlihat mendung. Cukup lama mereka saling diam membisu.
“Dulu—kalo mau mendaki, atau kegiatan apa aja. Kamu pasti ngasih tahu. Kok, sekarang nggak? Rencana Lawu aja, Dona yang ngasih tahu. Jangan kan datang, nelpon aja kamu nggak, Nes. Kenapa?” ungkap Rara pelan. Ganes makin terdiam. Dia sadar semua memang salahnya.
“Aku minta maap, Ra. Nggak sempat ngasih tahu. Iya, aku sok sibuk ngurus persiapan ke Lawu. Tapi percayalah, aku tetap—dan selalu sayang kamu, kok. Nggak ada niat di otakku buat ngelupain. Apa lagi ninggalin. Percayalah!” ungkap Ganes dengan mimik serius. Rara masih diam membisu. Tanpa reaksi sama sekali. Dia menunduk sembari memainkan jemari tangannya yang lentik.
“Please?” Ganes memohon. Wajah cantik itu terangkat. Mata bundar dengan bulu mata lentik itu melotot indah.
“Come on?” pinta Ganes memelas. Bibir itu tersenyum tipis. Lalu Rara mengangguk pelan. Kegugupan Ganes hilang seketika. Tanpa sadar dia menggenggam erat tangan Rara.
“Makasih ya, Ra. Nah, begitu dong, senyum,” rayu Ganes lagi.
“Enak aja, Jelek!” kata Rara sambil mencubit bahu Ganes dengan gemas. Ganes kelabakan menghindar.
“Aduuh! Eh, ada Mama tuh!” kata Ganes menunjuk ke arah ruang tengah. Rara kaget kemudian celingukan kesana-kemari.
“Dasar tukang boong! Tapi—jangan senang dulu ya, ada syaratnya!” ujar Rara membuang muka.
“Syarat? Syarat apaan?” Ganes belum mengerti.
“Syarat untuk berdamai!” terang Rara serius.
“Boleh. Coba apa? Coklat? Tart? Buku, atau kuaci?” tanya Ganes meringis.
“Ih, norak amat. Bukan itu semua!” tepis Rara. “Kan mau ke Lawu, bawain Rara Edelweiss ya, setangkai!” Tampang Rara tampak serius saat mengatakannya. Ganes melongo bloon.
“Kok itu, sih, Ra? Yang lain aja, ah! Aku nggak bisa sembarangan bawa!” tawar Ganes tak percaya dengan syarat yang diajukan Rara.
“Pokoknya—Rara nggak mau tahu. Pulangnya mesti bawain. Cuma setangkaaai aja, kok!” ucapnya ngotot.
“Aduh, Ra—yang laen aja ya, please?” kata Ganes mencoba menawar. Memohon pengertian Rara. Tapi percuma Rara masih tetap ngotot dengan persyaratannya itu.
“No way! Kalo nggak mau. Pulangnya nggak usah temuin Rara lagi!” Ancamnya mantap. Ganes mendengus. Tapi mengingat mereka baru saja berbaikan, terpaksa Ganes mengiyakannya.
“Iya, deh! Iya!” jawab Ganes lunglai. Rara tersenyum puas mendengarnya. Mendadak senyum manis Rara berasa jelek di mata Ganes saat itu.
Hari pemberangkatan pun tiba. Tim pendakian Lawu dilepas oleh rekan-rekan Wanacala. Tim itu beranggotakan lima orang. Mereka adalah Ganes, Togar, Adi, Abon dan Beben. Dari sekretariat Wanacala di sekolah, mereka langsung berangkat menuju terminal bus antar kota. Tujuan mereka Kota Solo, terus nanti akan dilanjutkan ke Karang Anyar. Saat menuju loket, mereka diantar oleh mobil Dona. Sampai di loket mereka segera registrasi tiket. Selanjutnya duduk-duduk di ruang tunggu loket. Berbaur dengan para penumpang lain. Di sudut loket, tampak Ganes dan Rara duduk berdampingan.
“Jangan marah lagi, ya. Doain kami kami selamat, dari pergi hingga pulang nanti,” kata Ganes pelan sambil menggenggam erat tangan Rara. Rara tersenyum.
”He-eh. Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa shalat. Berdoa—dan jangan lupa juga sama janji kamu kemarin,” katanya pelan. Ada nada sedih dalam ucapannya. Ganes menatap mata bundar dengan bulu mata lentik yang mulai mendung itu. Cukup lama. Rara balas menatap. Keduanya membisu. Tak lama Rara menundukkan wajah.
“Udah ya, jangan sedih gitu. Kan bukan yang pertama, aku berangkat mendaki,” ucap Ganes menenangkan. Ketika ia hendak melepas genggamannya, Rara menahannya. Ia masih ingin jemarinya berada dalam genggaman tangan Ganes. Seakan tak mau dilepaskan. Ganes membiarkannya tindakan itu. Gadis itu masih bungkam. Menarik napas beberapa kali, lalu berusaha untuk tersenyum. Namun sudut dan cembungan kelopak matanya memerah. Seperti sedang berusaha menahan tangis. Ujung hidungnya yang bangir pun tampak memerah. Ganes meremas pelan tangan Rara.
“Ra—aku harap senyummu ini, selalu buatku—selamanya. Tak akan pernah berubah,” ucap Ganes pelan. Setengah berbisik. Kedua lesung pipi di wajah Rara kian tergambar jelas.
“Iya, bisa—asal kamu nggak macem-macem. Apa lagi sampai kecantol cewek sana. Awas kalo pulangnya temen-temen bawa gosip!” ujar Rara mengerling nakal. Ganes nyengir mendengarnya. Lalu mengangguk pasti. “Rara juga mau minta maap. Kemarin sempat ngomong kasar ke kamu. Maapin, ya,” sambung Rara lagi.
”Nggak apa-apa. Kalo aku salah, kamu berhak untuk marah. Dengan begitu, aku jadi tahu seberapa besar perhatianmu!” jawab Ganes sambil nyengir kuda.
“Ih! Enak aja. Dasar!” tukas Rara seraya mencubit gemas perut Ganes. Ganes menggelijang kesakitan sekalian kegelian. Kedua pasangan remaja itu seakan tak menyadari kehadiran Dona.
“Ehm!“ Kedua remaja itu kaget, mendengar suara batuk yang disengaja itu.
“Nah—gitu, dong. Kan enak liatnya kalo akuran begitu.” ucap Dona tertawa sembari menggoda. Mereka berdua ikut tertawa jengah.
“Na, makasih, ya!” ujar Ganes.
“Apanya yang makasih?” tanya Dona belum mengerti.
“Ceramah kemarin!” terang Ganes tertawa kecil.
“Enak aja ceramah. Maki-maki kali!” tukas Dona cepat. Ganes tertawa mendengarnya. Rara yang tidak tahu apa-apa jadi kebingungan.
“Ceramah apaan, Na? Nes? Kasih tahu, dong!” rengeknya penasaran.
“Nanti aja, Ra. Di rumah!” jawab Dona masih tersenyum. Namun sayang waktunya telah tiba. Sudah terdengar panggilan bagi para penumpang untuk segera masuk ke dalam bus. Busnya sudah siap berangkat.
Sebelum menaiki bus. Remaja-remaja itu saling berjabat tangan ala pecinta alam. Tim Wanacala tampak terlihat gagah dengan seragam biru gelap Wanacala. Dengan syal organisasi warna merah di leher. Setelahnya satu persatu para penumpang masuk ke dalam bus. Rara memandangi punggung Ganes saat remaja itu menaiki tangga bus.
“Nes!” panggil Rara. Ganes menoleh. “Hati-hati, ya!” tambahnya lagi. Ganes mengangguk seraya melambaikan tangan. Mencium telapak tangannya lalu meniupnya ke arah Rara. Simbol ciuman jarak jauh.