"Mungkin… Lidahku adalah perih
Hatiku adalah batu, Nyata kau rasa,
Namun… Jauh dalam sanubari,
Batin ini, Rindu tak terhingga
Sayang tak terkira, Adalah sungguh bagimu!"
Bait-bait gombal itu tertulis rapi di secarik kertas warna pink yang berbau harum semerbak. Mata gadis itu memancarkan kekesalan.
“Amit-amit, deh!” pekik Dimie sambil meremas kertas warna pink yang tak berdosa itu. Entah sudah berapa kali ia bersikap seperti itu. Riska, sahabatnya hanya bisa menggeleng-geleng melihatnya.
“Jangan gitu dong, Mie. Nggak baik kelewat benci ama orang yang menyukaimu!” Riska menasehati.
“Iya, tapi Egy udah kelewatan! Aku kan udah ngomong. Aku nggak suka, ama orang yang nggak gentle. Ngomong langsung dia nggak berani. Tapi hampir tiap hari ngirim puisi picisan kayak ini!” tukas Dimie masih terlihat kesal. Riska tersenyum melihatnya.
Kedua gadis ini sudah bersahabat sejak SMP, hingga SMA. Mereka sama-sama siswi kelas dua. Ceritanya Dimie lagi ditaksir berat oleh Egy, anak sispala sekolah mereka, SMAN 501. Sayang Dimie tak menanggapi cinta Egy. Tapi Egy tetap nekat, dan terus maju berjuang untuk mendapatkan cinta Dimie. Sayangnya, Egy belum punya keberanian untuk menemui, apa lagi untuk ngomong langsung ke Dimie. Tapi hampir tiap hari dia mengirim puisi-puisi cinta ke Dimie. Kurir Egy pun banyak. Doi tak segan-segan membuka dompet untuk mentraktir para kurir yang harus menyampaikan pesan cintanya.
Siang itu, sepulang sekolah Dimie kembali dapat kiriman puisi Egy. Kali ini malah sohibnya Riska yang jadi kurir. Dimie benar-benar kesal dibuatnya.
“Kamu gimana sih, Ris! Kan udah tahu kalo aku nggak suka. Tapi kenapa mau-maunya aja dijadiin comblang si Egy!” protes Dimie dengan mulut cemberut cucut.
“Habis—Egy melas banget, Mie. Nggak tega ngeliatnya,” jawab Riska pelan. Sambil memainkan tali tasnya.
“Alaa! Pasti karena udah makan suapannya kan?!” tepis Dimie tak percaya.
“Ya—dua-duanya, sih!” jawab Riska kalem. Sembari senyum meringis.
“Dasar matrek!” tukas Dimie sewot. Riska nyaris ngakak disebut begitu. Mereka berdua jalan beriringan menuju ke timur parkiran sekolah. Di situ mobil Riska diparkirkan.
Setelah keduanya masuk ke mobil Riska kembali berkata, “Mie, menurutku, si Egy nggak jelek-jelek amat. Tergolong borjou lagi. Kenapa kamu antipati banget sih, ama doi?” Mendengar perkataan Riska, Dimie menghela napas. Lalu menatap Riska yang sedang menyetir.
“Jangan mandang ganteng atau borjou-nya, Ris. Tapi liat kelakuannya, dong. Rada norkin dan begajulan gitu!” ujar Dimie serius.
“Tapi kalo diterima, siapa tau doi jadi insyaf,” sahut Riska tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
“Sudah ah, Ris! Nggak usah nasehatin aku soal ini!” potong Dimie cepat.
“Tapi tetangga gue—,”
“Duh, cape, deh! Ngomong yang lain aja, ah!” potong Dimie kesal. Akhirnya Riska diam saja. Sedan warna biru gelap itu melaju perlahan membelah jalan raya Sudirman.
Di tengah taman kota, pemuda itu duduk melamun sendirian. Rautnya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu. Sesekali tangannya mengambil batu kerikil di dekatnya. Lalu—plung! Ia melempar kerikil itu ke kolam di hadapannya. Tampak bulatan-bulatan riak air di permukaannya. Tak lama sosok itu berdiri. Berjalan mendekati motornya yang terparkir, tak jauh dari tempatnya duduk tadi. Selanjutnya ia sudah melesat melajukan motor Tigernya. Meninggalkan taman kota. Sosok itu tak lain si Egy. Dia berniat mengunjungi sobatnya yang gokil. Siapa lagi kalau bukan Ganes.
Tak sampai satu jam, Egy sudah sampai ke rumah Ganes yang berada di kawasan Jalan Basuki Rahmat. Saat memasuki gerbang halaman. Ia melihat sobatnya itu lagi asyik dengan koleksi bonsainya. Kedatangannya disambut ramah oleh Ganes. Keduanya lalu duduk-duduk di bangku halaman rumah. Persis di bawah pohon jambu air. Egy curhat tentang perasaannya ke Dimie pada Ganes. Ganes tampak manggut-manggut mendengarkan. Sudah mirip dukun pada pasiennya.
“Naksir cewek, tuh! Nggak musti ngirim puisi. Ngirim bunga atau kirim yang lain-lainnya, Gy,” ucap Ganes serius. Mendengar itu Egy mengerutkan dahi.
“ Lalu apa? Duit?!” tanya Egy sambil menjentikkan jempol dan telunjuk.
“Woo! Itu sih, relatif! Dia matre apa nggak. Pendekatannya musti langsung. Lewat perbuatan dan perhatian, Itu! Lagian kau badung banget kalo di sekolah. Kurangi, dong. Bila perlu harus ganti kulit!” Ganes mengkritik Egy. Kalau bukan Ganes yang ngomong, mungkin sudah ditonjoknya. Egy terkenal sebagai murid yang nakal di sekolah. Suka berantem, membolos dan berbagai tindakan minus lainnya. Ia keren di gunung, tapi tidak di sekolah. Soal bikin keributan, Egy jagonya. Tapi soal hati dan perasaan, dia mati kutu.
“Ganti kulit gimana?” tanya Egy bingung. Ganes membenahi posisi duduknya.
“Maksudku begini, kau harus ubah gaya. Selain harus berani ngomong langsung, kalo kau emang suka dia. Cinta ke dia. Tapi kau juga harus mengubah tingkah minus dan penampilanmu. Nggak perlu mentereng, yang pasti cocok dan sesuai. Inget! Harus sungguh-sungguh!” ucap Ganes serius. Mendengar itu Egy terdiam. Keningnya berkerut bagai jeruk purut.
“Tapi—apa kata gank-ku nanti, Nes. Kalo aku mendadak alim? Habis dah!” jawab Egy bingung. Merasa serba salah.
“Ya—terserah juga, sih. Sekarang pilih sendiri, mau pacaran ama Dimie atau ama gank-mu itu? Lagian apa untungnya sih, jadi badung gitu. Banyak yang benci, Gy!” Egy tersenyum kecut mendengar perkataan Ganes barusan. Sudah berapa kali dia dikritik Ganes.
“Gimana kalo aku udah berubah, tapi masih ditolaknya juga?” tanya Egy polos. Ganes terlihat berpikir sejenak.
“Ya, terima aja. Mungkin doi emang bukan jodohmu. Dan kau juga harus berjiwa besar. Tunjukkan bahwa kau bukan lelaki cengeng. Bukan pengecut. Apa kali kalo sampai tambah begajulan. Itu cuma bikin harga dirimu jatuh di matanya. Juga di mata orang-orang. Cari yang lain dong, Gy! Cari yang bisa menerima cinta tulusmu itu. Kau musti tegar. Setegar batu karang, Man!” ujar Ganes bak penyair kawakan. Egy tampak bungkam. Lalu mengangguk seakan mengerti.
Seminggu, dua minggu, Egy tak lagi mengirimkan puisi, atau sekedar pesan cinta ke Dimie. Pada awalnya Dimie merasa senang dan tenang. Tapi lama kelamaan, diam-diam ia merasa ada sesuatu yang hilang. Biasanya, sepulang sekolah dia selalu membaca puisi-puisi rayuan Egy. Meski setelahnya marah-marah, dilanjutkan dengan meremas-remas kertas tak berdosa itu. Tapi sekarang Egy benar-benar tak mengirimkan apa-apa atau pesan lewat siapa pun.
Di sekolah juga Egy mulai berubah. Terlihat lebih kalem dan bersikap manis. Mengurangi kebandelannya. Tak bikin ribut atau ngebolos lagi. Pakaiannya juga udah terlihat lebih rapi. Perubahan itu tak hanya membuat bingung Dimie, tapi para guru dan teman-teman sekolahnya juga. Apa lagi bagi ganknya. Mereka tampak gelisah karena salah satu pentolan mereka berubah alim. Bahkan, ada yang mengira Egy kesambet jin penunggu pohon asem di lapangan sekolah.
Perubahan Egy pun cukup menarik perhatian Riska. Di kantin sekolah ia menemui Dimie.
“Mie, bener nggak kataku tempo hari. Doi bener-bener berubah!” kata Riska dengan wajah cerah.
“Paling cuma sebentar aja, Ris. Bentar lagi juga balik ke sifat aslinya,” tukas Dimie masih tak percaya.
“Kalo beneran, gimana, hayo?” tanya Riska serius.
“Bodo, ah! Nggak ada hubungannya juga denganku!” tepis Dimie tak peduli.