Setangkai Edelweiss

Ganezh
Chapter #3

Neeess... Pulaaang!

Suara cekikikan terdengar dari ruang tengah. Rupanya Anis dengan beberapa teman-temannya sudah sampai di rumah. Terdengar cukup ramai. Pada hal mereka cuma berempat, termasuk Anis. Tak dapat dibayangkan kalau mereka berkumpul satu kelas. Bisa kalah riuh rendahnya pasar pagi. Ganes yang lagi asyik tidur-tidur ayam terlonjak kaget. Gila, para penyihir lagi rapat di sini. Bisa hancur ketenangan rumah ini! Rutuknya terasa terganggu. Dia berusaha cuek, namun keramaian Anis dan teman-temannya makin menjadi-jadi. Entah apa saja yang mereka obrolkan. Kalau cuma berdiskusi tentang pelajaran kok, ramainya mirip perdebatan di pasar loak. Tak tahan lagi Ganes keluar kamar.

 “Sori ya, Nenek-Nenek Sihir. Mohon bicara dan ketawanya agak diperkecil sedikit. Banyak orang sakit, sih!” Mendengar teguran Ganes, seketika tawa mereka berhenti. Menatap Ganes dengan perasaan tak enak.

 “Banyak yang sakit?” tanya Anya berbisik pada Anis. Anis cemberut melihat kehadiran abangnya itu. Tapi Ganes cuek. Tetap pasang muka serius.

 “Emang--lagi ada yang sakit ya, Nis?” tanya Fara pelan. Anis baru hendak menjawab.

 “Iya, banyak. Di rumah sakit!” potong Ganes cepat sambil membalikkan badan. Masuk ke kamarnya lagi. Teman-teman Anis melongo bloon.

 “Alaa, nggak usah diambil hati. Abangku lagi kumat gokilnya,” jawab Anis tersenyum. Tak lama berselang, suara-suara mereka kembali terdengar. Mengkilik-kilik gendang telinga Ganes kembali. Sompret! Benar-benar nggak ngerti disindir. Mending keluar ketimbang mendengar suara-suara para penyihir rapat. Rutuk Ganes menyerah. Ia bergegas keluar kamar. Menuju ke halaman belakang rumahnya. Tak lama ia sudah sibuk dengan bonsai-bonsainya.

 

“Gokiiil!” Anis teriak memanggilnya.

“Yo-ah!” jawab Ganes dari belakang rumah. Dia masih asyik memangkas ranting-ranting bonsai. Saat ini ia lagi belajar membonsai tanaman. Apa pun dibuatnya bonsai. Termasuk perdu cabe rawit! Anis memburunya ke belakang.

“Ada apa, Nek? Rapatnya udah kelar?” tanya Ganes tanpa melihat ke arah adiknya.

“Malam minggu nanti, kamu ada acara nggak?” tanya Anis serius. Ganes mengerutkan dahi. Lalu menatap Anis.

“Kalo ada kenapa, kalo nggak kenapa?” Ganes balik tanya.

“Nggak kenapa-kenapa, mmm—Anis minta ditemenin,” ujar Anis serius.

“Minta ditemenin ke mana? Manjaan banget!” protes Ganes cepat.

“Kamu pasti mau! Ke acara makan-makan,” jawab Anis sambil mengerlingkan mata.

“Makan-makan? Di mana?” tanya Ganes dengan raut berbinar.

“Ke pesta ulang tahun Anya. Standing party lho, Nes!” Anis memberitahu dengan penuh semangat.

Standing party Anya? Anya temen kamu yang cempreng itu? Ogah!” jawab Ganes seketika. Anis melongo mendengarnya. Ini termasuk kejadian langka, kalau Ganes menolak undangan makan. Dia kan paling doyan diundang ke acara makan-makan.

“Aaah, Ganes! Pestanya kan malem. Anis takut kalo pergi sendirian,” rengek Anis pasang muka memelas. Ganes diam sesaat.

“Ngapain juga malem-malem ngadain pesta. Suruh ganti siang hari, aja,” jawab Ganes seenaknya sambil terus melanjutkan kegiatannya. Dasar Gokil!

“Ih, emangnya kita siapa. Mau ngerubah acara orang! Temenin, ya. Please!” Wajah Anis makin memelas. Ganes berhenti sejenak. Dia tampak terdiam. Imajinasinya segera melukis sebuah suasana pesta. Ia sedang berada di tengah-tengah pesta kerumunan para nenek sihir yang centil. Bersuara cempreng, dan mampu bikin sakit gendang telinga. Lebih-lebih ketika mereka tertawa cekikikan. Ganes bergidik membayangkannya.

“Ogah, ah!” jawabnya pasti. Ia meneruskan aktivitasnya kembali.

“Uuuh!” dengus Anis kesal. Buru-buru dia berlalu. Menuju ke kamarnya. Gokil jelek! Percuma aja punya abang. Tapi nggak bisa diandalin adiknya sendiri. Coba kalo temen-temenya yang minta bantuan cepet banget. Awas aja kalo nanti minta bantuanku. Bakal kubalas juga. Gokil jelek! Rutuk Anis dari dalam hati.

 

Dua hari Anis tak menegur Ganes. Sayangnya, Ganes tetap terlihat cuek. Tak merasa terganggu dengan aksi diam adiknya yang semata wayang itu. Akhirnya, Anis sendiri yang nyerah. Dia kembali mencoba merayu Ganes. Ia masuk ke kamar Ganes.

Please dong, Nes. Nanti kalo mau, Anis beliin kaset Kitaro baru, deh,” rayu Anis mencoba menyuapnya dengan kaset favorit abangnya itu. Sayang, Ganes tetap menolak. Anis kelihatan semakin sedih. Sebenarnya Ganes merasa kasihan. Tapi kalau mengingat bakal berada di kerumunan pesta para nenek sihir, no way! Tolak hatinya.

“Bukannya apa-apa, Nis. Kan percuma kalo aku anterin. Tapi baru dua menit di sana, eh, buru-buru aku ajak pulang. Nanti kamu sendiri yang kecewa. Gimana kalo minta ditemenin Ibu?” Tiba-tiba muncul usul gokilnya. Mendengar itu Anis cemberut-cucut dan pergi meninggalkannya. Ganes cuma angkat bahu melihatnya. Tapi tak lama kemudian, Ibu masuk kamar.

“Ada apa sih, Nes. Kamu nggak mau menemani adikmu ke pesta Anya?” tanya Ibu pelan. Penuh selidik. Ganes agak kebingungan juga menjawabnya.

“Bukannya apa-apa, Bu. Kalo nemenin ke pasar, beli buku, nonton atau apa aja sih, nggak apa-apa. Ini ke pesta Anya. Pestanya para ABG yang lagi doyan-doyannya ngegosip, nyerocos. Pokoknya nyempreng banget gitu,” terang Ganes serius.

“Ganes—anak-anak seusia mereka memang lagi seru-serunya. Masa-masa keakuan menjelang pubertas itu normal. Mereka masih ingin menujukkan, apa yang mereka bisa banggakan. Maklumin aja. Nanti kalo udah tiba waktunya, mereka akan berubah sendiri. Dulu kamu juga begitu kan? Malah—sekarang aja, kamu masih suka kayak mereka. Udah, pokoknya nanti kamu temenin Anis. Lagian, nggak mungkin yang hadir di pesta itu semuanya ABG. Pasti ada kakaknya. Saudaranya, atau tamu-tamu lain yang seusia kamu. Iya kan?” Nasehat Ibu panjang lebar. Ganes hanya bisa diam mendengarkan.

Lihat selengkapnya