Sepulang dari sekolah, selesai makan siang, Ujud dan Fadli langsung pergi ke rumah Novita. Sesuai janji yang sudah terucap di kelas, siang hari itu kami akan membantu anak itu memindahkan barang-barang. Novita dan keluarganya akan pinda rumah. Rumah keluarga. Di Maluku orang-orang biasa menyebutnya rumah tua. Sebutan untuk rumah bujang. Rumah di mana dulu semua anggota keluarga tinggal. Semua keluarga kandung ibu Novita berjumlah delapan orang. Mereka tinggal bersama sebelum akhirnya tumbuh dewasa, menikah untuk kemudian keluar dan mendirikan rumah masing-masing. Rumah bujang adalah tujuan mereka----Novita dan keluarganya akan pinda. Tentu saja, selain bangunan tua itu, tidak ada lagi tempat lain yang mereka punya, tempat yang sekiranya bisa untuk ditinggali. Dari tempat yang lama, jarak rumah itu------rumah tua ibu Novita tidak terlalu jauh. mereka hanya perlu berjalan kaki saja untuk memindahkan barang.
Novita juga ibu dan adik perempuannya akan tinggal di rumah tua. Setidaknya begitulah harapan yang ada. Harapan yang tak pernah tercipta dalam kenyataan. Di sana, di rumah tua. Kakak laki-laki ibu Novita, yang belum lama menikah, bersama istrinya sedang bermukim. Bukanlah sebuah masalah. Mereka bisa tinggal bersama. Begitu adanya jika laki-laki itu mau berbagi. Kenyataannya paman Novita sama sekali tak ingin berbagi ruang.
######
Seperti seorang bayi yang kelaparan, kulihat nafas anak itu seperti sudah berada diujung hidung, di gendonganku adik Novita seperti selangkah lagi menuju gerbang kematian. Sebagai seorang perempuan aku tahu bayi perpuan kecil di gendonganku itu berharap bisa segera diberikan botol susu. Minuman yang tak kunjung datang. Sibuk dengan urusannya, Ibu Novita terus menangis. Tentu saja, jika bukan di sana, di bangunan tua itu, lantas di mana lagi mereka tinggal. Tak seorang diri. Wanita itu----ibu Novita datang bersama dua orang anak-----Novita dan adik perempuannya. Dua manusia yang belum genap 11 dan 4 tahun.
#######
“Kasiang katong sadiki jua.”[1] Terus menangis, merintih mengharapkan belas kasihan, menjelaskan ia punya dua anak, anak-anak kecil yang membutuhkan tempat tinggal. “Katong mau tinggal di mana?” kata ibu muda itu dengan menatap wajah anak-anaknya. Di gendonganku Nuy terus menangis. Ibu Novita meraung dan merintih tanpa henti, memiliki dua anak, secara tegas keadaan memang memaksanya untuk terus mencoba lagi dan lagi mengemis dan menangis, mengharapkan akan datangnya sedikit belas kasihan dari laki-laki tua berkumis hitam panjang, paman Novita. Ibu Novita berharap bisa diizinkan tinggal di rumah tua.
Terus menangis dan mengemis untuk meminta sedikit rasa belas kasihan. Wanita muda dengan dua anak itu menunduk, memegang kaki laki-laki berkumis yang Novita panggil paman. Tidak berhenti mengeluarkan suara tangisan yang semakin lama menjadi semakin bergemuruh. Suara tangisan ibu Novita beraroma akan kesedihan yang dalam.
Menurutku tak ada lagi rasa kemanusiaan akan rasa peduli. Sedikit saja peduli. Laki-laki berkumis tebal tidak mau mempermuliakan adik perempuan dan dua ponakan kecilnya.
Ibu Novita terus menangis meronta-ronta, berlutut, memegang kaki adik laki-lakinya itu. Hati nurani laki-laki yang Novita panggil paman itu seperti sudah mati. Semua tangisan ibu Novita-----adik perempuan kandung hanya berujung balasan bentakan kaki penuh bertenaga tanpa ampun. Bentakan kaki tanpa perasaan, bentakan kaki yang membuat wanita muda dengan dua anak itu tersungkur jatuh. Tetap saja tidak berhenti, ibu Novita terus mengemis dengan suara tangisan yang masih tetap bahkan semakin bergemuruh, terdengar semakin aktif dan bertambah semakin keras. Kejadian itu menjadi tontonan banyak orang. Meski perlahan, kulihat ada tetes air yang keluar dari kelopak mata Novita. Ia yang masihlah anak-anak. Hanya bisa untuk terus terdiam tanpa berkata.
Seperti tak bisa berhenti mengeluarkan air mata, tanganku masih mengendong Nury adik perempuan Novita berumur 4 tahun, wanita yang Novita panggil ibu itu, terus memeluk dan mencium ubun-ubun kepalanya. Ibu Novita berulang-ulang melakukannya. walau hanya untuk sekedar sesaat saja wanita itu tidak ingin melepaskan tubuh anaknya.
Bingung dengan apa yang sedang terjadi, hanya bisa tetap diam, aku tahu Novita tak bisa untuk bertanya apa pun kepada ibunya. Wanita itu masih saja tak berhenti mencium ubun-ubun kepala Novita. Tak jauh dari Novita berdiri Ujud dan Fadli.
#######
Suasana sudah lebih tenang, kuajak Novita pergi ke pantai. Di atas pasir putih, tempat di mana mereka selalu pergi. Duduk melihat gulungan ombak, banyak kata terucap. Aku, juga Ujud dan Fadli mencoba menghibur Novita.
#######