Setelah 1999

Pintu Belakang
Chapter #2

Sahabat Pantai

Ujud, Fadli dan Novita bersekolah pada bangunan yang sama. Tentu saja. Tak ada pilihan lain. Di desa itu hanya ada satu bangunan sekolah. Banyaknya jumlah pelajar yang juga datang dari desa tetangga, kepala sekolah bahkan harus melakukan kebijakan membagi waktu belajar menjadi pagi dan siang. Bergantian setiap satu minggu sekali.

#######

Menunaikan janji hari kemarin, malam itu kuajak ketiganya pergi menonton layar tancap. Lebih tepatnya saat hari masih begitu pagi ketiga anak itu bahkan sudah mengajakku untuk pergi ke sana padahal film baru akan diputar saat malam hari.

Berada di ruang terbuka, kondisi layar tancap malam itu cukup ramai. Mungkin juga sebab malam Minggu. Ya, layar tancap hanya ada setiap malam Sabtu dan Minggu saja. Agar bisa menonton setiap orang harus memberikan koin rupiah pada laki-laki berkulit putih bermata kecil dengan pandangan yang tajam. Orang-orang desa memanggilnya Ko Ahong, ada juga yang memanggil singkat dengan Koko beberapa orang bahkan terkadang memanggil laki-laki berkaca mata itu hanya dengan sebutan pendek Ko saja tanpa Ahong di belakangnya.

Malam itu kami menonton film kolosal “Angling Darma.” Ternyata memang hanya film lawas itu yang diputarkan setiap minggunya. Pantas saja ramai. Orang-orang yang penasaran tentu akan datang sabang malam untuk menyaksikan setiap kelanjutan kisah malam kemarin. Mereka bahkan sengaja untuk menyisihkan seribu rupiah agar bisa dua kali menonton dalam seminggu. Sebab satu kali menonton, Ko Ahong menarik ongkos lima ratus perak. Malam itu, untuk empat orang, dengan pecahan uang logam kubayarkan dua ribu rupiah yang diterima langsung oleh tangan Ko Ahong.

Setiap kali film selesai dan penduduk desa akan pulang. Sebab rumah yang jauh, datang dari desa tetangga, anak-anak akan berkumpul menjadi satu dan kemudian bersama-sama lari sekuat tenaga menerobos gelap malam. Ada jarak yang membagi lokasi layar tancap dan desa mereka. Jalanan yang sepi hanya berisikan barisan semak-semak belukar yang kosong tanpa pemukiman. Entah apa yang anak-anak itu takutkan aku pun tidak begitu mengerti. Pernah aku mendengar kisah mistis yang memang sudah beredar luas di provinsi Maluku, tentang adanya manusia pengguna ilmu hitam yang mereka sebut Suangi, namun sampai saat ini kebenarannya tidak pernah aku temui sampai akhirnya kisah itu bahkan sudah difilmkan ke layar lebar. Lucunya setiap kali datang Sabtu dan Minggu malam, mereka pasti selalu datang, membayar pada Ko Ahong untuk menonton layar tancap, setelahnya kembali lagi pulang dengan berlari bersama rasa takut. Begitu setiap pekannya. Kecintaan anak-anak itu pada Prabu Angling Darma meluluh lantakan rasa takut mereka pada Suanggi.

Lihat selengkapnya