Setelah 1999

Pintu Belakang
Chapter #3

Indonesia

Sore, kuning matahari musim panas. Berkawan suara ombak. Gulungan itu bergantian datang dan pergi menyapa mengecup bibir pantai. Suaranya terkadang terdengar seperti rintihan Beruang atau Babi hutan yang sedang meronta-ronta menahan sakit di penghujung nafas menuju kematian. Seperti yang hampir setiap hari sepulang jam sekolah, kami duduk memanggang Tuna. Persis hari lalu, dua nelayan berkulit hitam legam baru saja sampai. Dengan sedikit berlari, kami ikut membantu mendorong perahu agar naik lebih jauh menuju garis pantai. Tak hanya Tuna, dua nelayan itu juga mendapatkan berbagai jenis Ikan Pelagis laut dalam. Di desa mereka, di Maluku, membantu nelayan mendorong perahu, setiap orang akan mendapatkan beberapa ekor Ikan sebagai ganjaran.

Memanggang Tuna adalah aktivitas anak-anak itu yang menurutku sudah menjelma menjadi rutinitas. Hampir tiap hari tiga anak manusia itu selalu melakukan itu, entah mengapa mereka selalu mengajak aku pergi bersama. Untuk ketiganya, dariku tak akan pernah ada penolakan. Setiap kali anak-anak itu mengajakku pergi, bibirku seperti melupakan bagaimana caranya mengucapkan kata tidak.

Lokasi pantai tempat kami biasa menghabiskan waktu memang tak jauh. Masih termasuk area pemukiman warga. Asalkan jam sekolah telah usai, anak-anak itu pasti akan langsung pergi ke pantai. Sering kali mereka pergi tanpa lebih dulu mengganti seragam. Bukan rumah, selepas dari sekolah, pantailah yang sering kali menjadi tujuan ketiganya. Menunggu nelayan pulang, membantu mendorong perahu, setelahnya mendapatkan Tuna segar yang akan saling sapa penuh keramahan dengan api panggangan yang berbahan bakar kayu-kayu yang hanyut terbawa arus pantai.

#####

Waktu itu tempatku bertugas belum memiliki jaringan telepon. Sebenarnya ada namun masih begitu malu-malu. Di sana hanya ada satu telepon umum. Siapa lagi kalau bukan Ko Ahong, orang yang menyediakan layanan telepon umum.

Setelah memberikan koin rupiah pada Ko Ahong, satu-persatu penduduk desa kecil dengan sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai nelayan dengan terkadang bertani itu harus berdiri, mereka mengantre menunggu giliran agar bisa menempelkan alat yang bisa mengeluarkan suara itu pada daun telinga. Selain di tempat Ko Ahong hanya lokasi yang lebih tinggi di ujung kanan desa yang sudah terjangkau jaringan, jaringan yang malu-malu, begitu sulit dalam kemunculan namun begitu muda dalam kepergian.

Orang-orang biasa menyebutnya GSM. Pendekkan kata dari Geser Sedikit Mati. Susah ketemunya, lebih dari sekedar mudah hilangnya. Jangankan beranjak, cukup dengan memindahkan tangan dari kiri ke kanan, maka selesai sudah. Jaringan hilang. Untuk mendapatkannya, pencaharian harus selalu kembali dimulai dari awal. Lucunya orang-orang desa itu sering kali memindahkan telepon dari telinga satu ke telinga lainnya. Mereka seperti tak bisa tenang menelepon dengan menggunakan satu daun telinga. Tak perlu ditanya berapa kali pembicaraan terputus untuk berapa kali telepon harus disambung ulang setelah sebelumnya kembali mencari jaringan yang begitu tak muda untuk didapatkan. Saat melakukan itu, mencari jaringan telepon yang malu-malu, tangan yang memegang telepon mereka angkat, turunkan, kiri kanan untuk kemudian kiri lagi yang tak lama kembali berpindah lagi ke kanan. Dan begitu seterusnya sampai sinyal bersedia kembali datang menyapa.

#######

Tak hanya orang dewasa, walau tidak memiliki telepon, di dekat puncak, Ujud Fadli dan Novita juga banyak anak lain, entah bagaimana mengatakannya, anak-anak itu senang dan akan selalu berlari riang menyaksikan orang-orang yang datang mencari dan menemukan jaringan telepon sebelum menekan tombol panggilan. Selain telepon umum berbayar, hanya lokasi yang cukup tinggi di belakang pasar malam desa itu, satu-satunya tempat yang terjangkau sinyal. Penduduk desa yang memiliki telepon tak habis dihitung jari.

Sekedar ingin melihat bagaimana bisa dua orang berjauhan dapat berbicara dengan benda yang tidak dimengerti, adalah alasan kenapa ketiganya hampir selalu berada di sana khususnya saat malam, seusai mandi yang sering kali tidak. Setelah sorenya memanggang Tuna di pasir pantai.

“Katong[1] mau cari tahu mengapa bisa orang batelpon ibu guru.” Begitu yang mereka bersih tahu padaku. Di rasuki penasaran, ketiganya menanyakan cara kerja benda komunikasi itu pada guru agama. Penjelasan yang didapatkan dari laki-laki berjanggut itu sama sekali tidak memuaskan hati. Aku yang mengetahui mereka menanyakan hal itu pada guru agama dibuat bingung keheranan sekaligus sedikit merasa lucu. Bagaimana bisa hal semacam itu ditanyakan pada guru agama bukan guru IPA. Di desa itu, seseorang yang paham akan agama, dianggap mengetahui segala, juga adalah orang yang tinggi atas penghargaan sosial atas masyarakatnya. Hal itu diyakini banyak penduduk desa tak terkecuali itu adalah tiga anak muridku Ujud, Fadli dan Novita. Lagi pula di sekolah memang hanya guru agama itu yang sering terlihat batang hidungnya. Daripada guru IPA, absen kehadiran tiga anak itu jauh lebih banyak terisi.

Guru agama itu adalah Pak Yaser. Laki-laki paru baya yang waktu itu menjemputku di pelabuhan. Sejak awal mengenal pak Yaser aku tahu guru agama yang sekaligus adalah guru mengaji di rumahnya itu adalah orang yang berdedikasi tinggi terhadap tugas dan apa yang sudah Tuhan percayakan atas dirinya. Sekalipun hanya seorang tenaga honorer yang dibayar tak lebih dari 200.000 rupiah perbualan (tahun 2000). Pak Yaser selalu datang dan pulang dari sekolah sesuai jam kerjanya. Dari pak Yaser aku belajar banyak hal khususnya tentang mengucap syukur dan kesederhanaan hidup. Dua hal yang selalu beliau tunjukan dalam menjalani hari-harinya di sekolah.

Pernah sekali pak Yaser mengajak aku berkunjung ke rumah beliau. Rumah pak Yaser tidak terlalu besar, di dalamnya berisikan istri dan dua anak yang sudah beranjak dewasa. Sebenarnya guru agama itu memiliki tiga anak namun anak tertua Pak Yaser sudah menikah dan perempuan itu memilih tinggal bersama suaminya. Di rumahnya, Pak Yaser mengajakku makan Papeda, makanan khas timur, terbuat dari Sagu mentah yang hanya dipanaskan dengan air yang mendidih. Pertama kali melihat, benda itu terlihat seperti lem yang aku paksa masuk menerobos lorong tenggorokan. Kearifan lokal yang luar biasa. Nantinya dari Novita aku tahu tahun 2013 pak Yaser telah meninggal dunia. 

###########

Kubiarkan anak-anak itu menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri. Entah mengapa dalam bagian jaringan telepon ini, aku sama sekali bukanlah manusia yang mereka anggap pantas untuk mendapatkan jawaban.

Tak mau menyerah begitu saja, perpustakaan kecil milik sekolah, di dalamannya terisi sedikit buku. Seperti daun Pisang layu yang sebentar lagi akan menemui ajalnya, semua buku bacaan itu kusam kusut, warna sampul dan isinya menguning. Lembar demi lembar buku-buku itu telah atau sedang menjadi santapan pesta Rayap. Aku percaya sisanya hanya menunggu waktu untuk bernasib sama-----berakhir bahagia di dalam pencernaan kutu pemakan kertas.

Lihat selengkapnya