Bangun pagi selama enam hari seminggu. Kuajarkan mereka walau sehari saja jangan pernah mau terlambat pergi ke sekolah.
“Assalamualaikum” Setelah membersihkan diri, dipakaikan seragam berwarna bendera nasional Indonesia berkawan bedak muka putih cerah tak teratur yang sudah dioleskan pada bagian kanan dan kiri pipi. Menurutku bedak itu selalu terkesan berantakan. Mencium tangan, uang recehan 500 kuning, kadang berwarna perak berlogo Bunga Melati selalu anak-anak sekolah dasar itu dapatkan. Adalah rupiah jajan. Setelahnya langkah kaki mereka arahkan menuju sekolah. Sekolah dasar. Penuh kegembiraan terkadang anak-anak itu pergi dengan sedikit melompat-lompat dalam perjalanan.
500 cukup untuk membeli beberapa makanan. Dengan 500 perak, satu potong es dengan perasa manis yang tidak sehat, 250 rupiah sisanya, anak-anak itu bisa mendapatkan pisang goreng lengkap sambal. 100 rupiah persatu pisang goreng panas yang baru diangkat dari penggorengan. Dua makanan itu akan menganjal sebelum jam sekolah bubar pukul 12:00.
Dapat membawa 500 perak ke sekolah sebagai uang jajan adalah sebuah berkat Tuhan yang besar. Setidaknya bagi Novita memang begitulah adanya. 500 perak berlogo Melati itu termasuk benda langkah untuk bisa Novita dapatkan setiap hari.
Kalau tidak salah hari itu adalah Selasa, aku bertugas seperti biasa. Adalah hari ke empat aku bertugas di sekolah. Bel berbunyi, bertanda jam belajar memasuki waktu istirahatnya. Setelahnya hal yang akan selalu terjadi adalah, anak-anak berlarian keluar kelas dengan cepat, kantin adalah tujuan mereka. Tentu saja, saat jam istirahat semua anak-anak itu akan berbelanja. Setidaknya semua kecuali Novita. Sengaja keluar paling akhir sebab terlebih dulu merapikan buku-buku yang aku pakai untuk mengajar, dibuat keheranan dengan salah satu anak yang tetap duduk di kursinya seperti sedang tidak terjadi apa-apa. Sebab Senin kemarin baru saja menyuruh satu persatu murid di kelasku untuk memperkenalkan nama, tahu itu adalah Novita. “Novita tidak keluar untuk jajan?” Tanyaku.
“Seng ibu guru beta bawa bakal.[1]” Tagan Novita kemudian membuka tasnya hendak mengambil sesuatu. “Bekal,” pikiranku seketika tertuju pada kotak makan berwarna, di dalamnya terisi nasi, sayur juga telur atau sejenisnya. Bahan-bahan makanan yang memang biasanya selalu dibawa anak-anak SD sebagai bekal. Tak lama tangan kecil Novita mengeluarkan sebungkus Mi Instan. Mataku tiba-tiba dibuat terperangah, benda itu seakan ingin keluar dari tempatnya. “Novita mau makan Mi mentah?” Tanyaku penasaran. Bagaimana bisa seorang ibu menyediakan Mi Instan mentah sebagai bekal anaknya.
“Seng [2]ibu guru,” Tangan Novita kemudian memutar-mutar seutas karet gelang yang melingkar pada bagian atas. Apa itu sudah direbus sebelum ia bawa ke sekolah. Pikirku menerka dengan penasaran yang semakin bergejolak atas diri sendiri yang kian liar menerka-nerka sebenarnya apa yang sedang terjadi, apa yang sedang anak itu lakukan.
“Ini nasi deng kalapa[3] paru ibu guru.” Jawab Novita sebelum aku bertanya. Novita memberih tahu apa isi dari bungkus Mi Instan dengan penutup karet gelang.
Penasaran, aku mendekati Novita. Anak itu mulai menumpahkan sedikit demi sedikit isi dari bungkus Mi Instan pada telapak tangannya untuk kemudian mendarat ke dalam rahang-rahang gigi. Benar saja terlihat jelas parutan kelapa bercampur baur bahagia tanpa berselisih di antara butir-butir nasi yang anak itu masukkan ke dalam mulutnya.