Waktu seperti berhenti di Maluku atau di Maluku waktu memilih berhenti. Sama saja. Yang jelas saat anak-anak di pulau Jawa sudah berpindah jauh menjelajahi luasnya ilmu, anak-anak Maluku yang aku ajarkan masih berkutat dengan bagaimana caranya membaca. Padahal sudah jenjang kelas tiga bahkan ada juga yang lebih dari itu. Anak-anak itu bisa melafalkan huruf dari A sampai Z bahkan bisa dengan riang menyanyikannya. Namun jika diminta untuk menunjukkannya mereka tidak tahu bagaimana bentuk dari huruf A itu sendiri. Sebenarnya tak semua, ada juga yang bisa membaca. Namun masalah berikutnya yang hampir semua sama adalah anak-anak itu tidak mampu menjelaskan apa makna juga maksud dari setiap kalimat yang sudah mereka baca. Saat catatan mereka aku periksah, anak-anak itu bahkan menulis tanpa tahu mana bagian depan dan bagian belakang buku. Saat aku perintahkan, mereka ternyata akan menulis pada bagian buku mana saja yang sekiranya tangan mereka buka.
Tentusatu tahun masa pengabdian itu ingin aku maksimalkan. Malam hari, kubuat kelas tambahan bagi anak-anak yang belum lancar membaca. Novita adalah salah satunya. Hari itu kelas tambahan malam berlokasi di rumah Eda murid perempuan satu kelas dengan Ujud, Fadli dan Novita. Walau sebenarnya tidak termasuk murid yang aku wajibkan, Ujud dan Fadli yang tak bisa jika harus berjauhan dengan Novita memilih untuk selalu hadir mengikuti kelas tambahan itu setiap malamnya.
Aktivitas belajar kami masih berlangsung saat terdengar bunyi tiang listrik yang tiba-tiba dipukul dengan keras jug berulang, diikuti teriakan “Lari-lari!” Malam gelap berkawan listrik yang padam, hanya kalimat itu yang aku dengar jelas.