Setelah 1999

Pintu Belakang
Chapter #7

Anak Bidan Desa

Walau terkadang lambat, dalam berlalu waktu memang lebih sering terasa cepat. Lewat empat bulan sudah aku tinggal di desa Rutah Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah. Tak banyak yang berubah, aktivitas dalam hari-hari bersama murid-murid sekolah dasar itu masih sama saja. Jika tidak di hutan, di mana lagi, cari kami di pantai.

Musim panas memasuki ujungnya. Sebentar lagi langkah, akan sulit memanggang Tuna. Bersamaan dengan pamitnya musim panas, laut yang biasanya tenang menjadi memberontak dalam amarah. Amarah dengan emosi yang meluap-luap.

Seperti yang selalu, tiga anak itu masih membicarakan hal-hal yang tak penting. Hal-hal yang tak pernah layak untuk diingat. Sebenarnya dari awal, sebelum memulai, apa yang akan ketiganya bicarakan memang sudah sama sekali jauh dari apa yang berkualitas untuk dibicarakan. Jangan tanya tugas sekolah, bukanlah Ujud, Fadli dan Novita jika membicarakan hal semacam itu. Sebagai guru terkadang aku dibuat bingung. Di lain sisi aku tahu ketiganya adalah anak sekolah dasar yang memang masih waktunya untuk bermain dengan belajar yang harus diatur sedemikian rupa agar momen itu tetap menjadi keadaan yang menyenangkan.

Lama bercerita-------hal-hal yang tak jelas arah tujuan juga maksudnya, tercapailah satu kesepakatan. “Besok katong pigi mangael,” kata Fadli. Anak-anak akhirnya sepakat untuk bertemu lagi jam delapan malam di bibir pantai.

Hampir dua jam, kegiatan memancing yang sebenarnya belum usai terpaksa mereka sudahi. Karena ukuran perahu yang tak terlalu besar, aku memilih menunggu di bibir pantai. Dari daratan pak haji begitu mara. Bukan karena mereka bermain kejar mengejar di ranting pohon. Selain malam hari, karena sering aku marahi, ketiga anak manusia itu bertekat untuk tak lagi kembali melakukan hal berbahaya semacam itu.

Pak haji marah sebab perahunya mereka pakai tanpa izin. Mendekati daratan, aku tahu anak-anak itu sengaja berusaha menampakkan wajah melas masing-masing. Wajah yang aku percaya sudah mereka sepakati. Tampilan muka yang sudah mereka latih sejak pak haji berteriak dari bibir pantai. Teriakan yang semakin lama semakin keras terdengar. Semua perlengkapan sudah laki-laki paruh baya itu siapkan. Pulang menjelang subuh, malam itu pak haji akan pergi memancing Tuna meski di laut ombak sedang tidak begitu senang untuk diajak berkawan.

Beberapa Ikan karang mereka berikan. Aku tahu adalah modus anak-anak itu untuk merendahkan kemarahan pak haji. Tiga anak manusia itu adalah makhluk cerdas yang sedang memanfaatkan kecerdasan dalam kesalahan.

“Lain Kali kalo mau pake parahu itu bilang dolo!”[1] begitu kata pak Haji dengan tidak lagi naik pitam. Tentu saja. Di tangannya, pak haji yang juga guru mengaji desa itu sudah memegang beberapa Ikan karang. Sunggu tindakan yang pintar, berselimut kelicikan. Seperti mencuri yang mungkin bisa menjadi sebuah kebaikan jika hasil pencurian dibagikan pada mereka yang membutuhkan.

#####

Pagi yang masuk gerbang bulan baru. Masih waktu hujan untuk menyapa permukaan tanah. Saat hal itu terjadi, laut menjadi tak rama. Ombak mara, gulungan itu menampakkan diri dengan nyata. Bersamaan dengan itu, banyak penduduk desa terlebih anak-anak jatuh sakit. Serangan jenis-jenis penyakit desa yang didominasi gatal-gatal seperti sudah menjadi musiman bersamaan dengan musim hujan turun. Bukan itu masalah pentingnya. Yang menjadi masalah adalah bidan desa yang tak pernah ada. Puskesmas desa yang lama tidak ditempati mulai rapu, ruwet tak terurus.

#######

Membabi buta, ribuan bahkan jutaan butir hujan datang menghantam bumi. Pagi itu hujan datang dengan lebatnya. Tanaman menari bahagia menyambut makanannya. Manusia petani bersorak ria di samping manusia nelayan yang menderita. Akibat jembatan yang putus banyak murid desa tetangga yang tidak bisa pergi ke sekolah. Memaksakan kehendak bisa berujung mati hanyut terbawa arus sungai yang meluap penuh dengan kemarahan yang maksimal. Semua hal menjadi baik atau buruk sesuai bagaimana harap masing-masing makhluk bumi. Hidup menghemat sekuat tenaga agar tak habis rupiah. Setidaknya rupiah tak habis sebelum ombak berhenti mara dan laut kembali menyapa, bersedia untuk kembali dipakai sebagai tempat mencari nafkah.

#####

Hujan masih turun. Ujung pemberhentiannya masih entah berada di mana. Keluar dari mobil putih. Benda itu menarik perhatian banyak anak untuk mendekat. Ujud, Novita dan Fadli termasuk di dalamnya. Tiga anak manusia yang hari itu sedang berlarian di antara hujan, tergabung dalam kelompok manusia parno yang baru pertama kali melihat mobil sebagus itu. keluarga itu turun dari mobil dan berlari cepat menghindari hujan. Bidan desa baru saja tiba. Suaminya memakai seragam tentara. Bukan hanya mobil, pakaian bercorak itu jauh lebih kuat daya tariknya atas perhatian Novita. Anak gadis bidan yang baru saja sampai itu memiliki kulit putih khas kulit wanita Jawa.

Lihat selengkapnya